Jabatan sekretaris jenderal yang menjalankan roda organisasi sebaiknya diisi eksekutif berlatar belakang profesional dengan kemampuan manajemen mumpuni. Ia diberi imbalan layak sebagaimana bekerja di korporasi.
Oleh
FX Wibisono
·6 menit baca
Berita Kompas ”Gagal Vaksin karena NIK Dipakai Orang Lain” (Jumat, 6/8/2021) sangat memprihatinkan. Dalam pelaksanaan vaksinasi memang masih ditemukan pelbagai masalah, termasuk sulitnya pendaftaran online, tidak mendapat sertifikat vaksin, dan lain-lain.
Pemerintah telah memperkenalkan aplikasi Peduli Lindungi sebagai sarana masuk ke ruang publik dan urusan perjalanan. Sayangnya, proses mengunduh aplikasi Peduli Lindungi tidak mudah bagi mereka yang tidak terbiasa dengan teknologi digital atau yang sudah lanjut usia, terutama dalam hal mengisi data dan memindahkan 6 digit one time password (OTP). OTP dikirim melalui SMS 1199 dan hanya berlaku satu menit.
Di era digital ini, membangun sistem informasi yang baik, benar, dan terintegrasi merupakan tuntutan yang penting dan sangat mendesak. Memang betul data masing-masing penduduk harus dilindungi sehingga perlu kehati-hatian saat mengunduh aplikasi.
Namun, kita juga memiliki generasi yang menguasai bahasa komputer (coding), yang dapat membuat aplikasi Peduli Lindungi lebih mudah diunduh dan digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
FX Wibisono
Jl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
Prestasi Olahraga
Indonesia, negara dengan penduduk 276 juta atau nomor 4 dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat, prestasi olahraganya cenderung menurun. Padahal, sudah 76 tahun merdeka. Dengan sumber daya manusia sebesar itu, apa yang salah dalam pembinaan olahraga kita?
Dalam sepak bola, misalnya, olahraga paling populer di dunia, prestasi Indonesia sangat memprihatinkan. Bahkan, sekadar untuk Asia Tenggara. Padahal, tim nasional Indonesia pada era 1970-1980 pernah menjadi kesebelasan yang sangat disegani di Asia.
Untuk Asia Tenggara, Indonesia kesebelasan terkuat, sering menjuarai berbagai turnamen resmi tahunan di negara-negara di Asia Tenggara. Saingan terkuat waktu itu Thailand dan Myanmar.
Kita mengenal banyak pemain tim nasional yang legendaris pada era itu. Ada Iswadi Idris, Ronny Pattinasarani, Rully Nere, Simon Pasal, Ronny Pasla, Yudo Hadiyanto, Risdianto, Yuswardi, Junaedi Abdillah, dan beberapa nama lain sebagai tulang punggung tim nasional.
Cabang olahraga yang menjadi andalan Indonesia, yaitu bulu tangkis, akhir-akhir ini juga kurang berprestasi. Walaupun tradisi medali Olimpiade masih terjaga, seharusnya kita bisa lebih baik.
Tentu kita masih ingat Rudy Hartono dan kawan-kawan. Pada era tersebut, tim bulu tangkis putra Indonesia adalah kekuatan tanpa tandingan.
Julukan ”The Seven Magnificent” disematkan kepada Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat, Tjun Tjun, Johan Wahyudi, Christian Hadinata, dan Ade Chandra. Apabila mereka bertanding, dipastikan kemenangan di tangan, yang ditunggu hanya skor.
Pada era Iswadi Idris dan Rudy Hartono, pembinaan olahraga belum sebaik sekarang, baik dari sarana maupun prasarana. Namun, mereka menorehkan prestasi yang akan terus dikenang masyarakat.
Salah satu langkah perbaikan dan peningkatan prestasi adalah mengembalikan kepengurusan semua cabang olahraga kepada tangan-tangan yang tepat dan ahli. Yang sepenuh hati dan berdedikasi memberikan dirinya. Tidak berpikiran untuk mencari keuntungan dari jabatan.
Paling penting, jauhkan kepengurusan dari politisi ataupun pejabat pemerintah karena mereka mencari panggung belaka. Belum terbukti politisi dan pejabat pemerintah bisa menghasilkan prestasi yang diharapkan. Lebih sering terjadi kekisruhan karena kepentingan pribadi.
Jabatan sekretaris jenderal yang menjalankan roda organisasi sebaiknya diisi eksekutif berlatar belakang profesional dengan kemampuan manajemen mumpuni. Ia diberi imbalan layak sebagaimana bekerja di korporasi. Perekrutan dilakukan terbuka.
Berikan keleluasaan kepada pengurus bekerja sama dengan perusahaan sebagai sponsor pembinaan dengan skema saling menguntungkan. Penggunaan dana, baik dari pemerintah maupun sponsor, harus transparan. Pemerintah tidak perlu campur tangan berlebihan, yang penting pengurus bertanggung jawab membangun prestasi.
Kita merindukan sosok seperti Bob Hasan (atletik), Sudirman (bulu tangkis), dan TD Pardede (sepak bola). Masih belum terlambat untuk melakukan perbaikan asal ada kemauan dan komitmen.
Samesto Nitisastro
Praktisi SDM, Pesona Khayangan, Depok 16411
Pembatasan
Kita sedang menjalani pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Melihat foto di halaman pertama Kompas (Senin, 12/7/2021) halaman 10, saya hanya bisa berpesan, ”Sabar, harap menahan diri.”
Tampak dalam gambar, di depan pasar resmi yang sedang tutup karena PPKM, pedagang berjualan di atas sepeda motor. Ini harap tidak diteruskan karena memunculkan kerumunan dan penularan.
Kita tengah berusaha memutus rantai penularan virus penyebab Covid-19. Bantuan dari negara lain terus berdatangan, mosok kita malah melanggar aturan.
Kita semua memang menderita karena cobaan pandemi, tetapi bersabarlah. Cobaan ini harus kita lalui bersama.
Kita tunggu saja sampai PPKM berakhir. Kalau setelah dievaluasi penularan masih parah, jumlah penderita tidak menurun, tentunya pembatasan akan diperpanjang.
Mari berpartisipasi, mengendalikan penularan agar zona merah bisa menjadi oranye atau malah hijau.
Titi Supratignyo
Sotonen, Bendan Ngisor, Gajah Mungkur, Semarang
Kritik
Kritik adalah penilaian dengan landasan norma. Misalnya, seorang insinyur pertanian menilai cara bercocok tanam tertentu itu salah karena ia tahu cara yang benar (Prof Dr Ir Andi Hakim Nasution, saat itu Rektor IPB, dimuat di Kompas tahun 1980-an).
Penilaian atau evaluate (Inggris) adalah jenjang tertinggi intellectual thinking atau cara berpikir intelektual. Dari understanding, recalling, analisis, aplikasi, sintesis, dan terakhir evaluasi (Prof Dr Marsetio Donoseputro, mantan Rektor Unair, Dubes RI untuk UNESCO, dalam pertemuan pemimpin mahasiswa se-Jawa Bali, 1978, di Surabaya).
Mengacu pendapat kedua guru besar tersebut, dapat disimpulkan bahwa boleh mengkritik asal paham persoalan secara lengkap sehingga mampu melihat kesalahan dan menunjukkan kebenaran. Kritik hendaknya dilandasi nilai-nilai moral, norma, dan disampaikan dengan santun.
Dengan demikian, sangatlah tepat yang disampaikan Presiden Joko Widodo menyikapi kritik BEM UI. ”Universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa berekspresi. Tetapi, juga perlu diingat, kita mempunyai budaya tata krama dan kesopansantunan.”
Menurut Dony Kleden (Kompas, 8/7/2021), presiden tidak menyimpan ketidakberesan atau ketidakutuhan dalam memahami kritik.
Lambertus L Wajong
Rungkut, Surabaya
Lalat
Di rubrik Analisis Politik, J Kristiadi menulis aforisme ”Suara Rakyat Suara Tuhan” (Kompas, 2/9/2021). Ini senada dengan aforisme-aforisme lain, seperti ”Keselamatan rakyat hukum tertinggi” dan ”Manunggaling kawula Gusti”.
Penguasa berwatak Dasamuka memajalkan dengan tambahan klausa. ”Keselamatan rakyat hukum tertinggi, tetapi raja tidak terikat undang-undang”.
”Manunggaling kawula Gusti” diembel-embeli: ”tetapi rajalah yang tahu, apa itu kehendak rakyat.”
Kritik terhadap demokrasi yang mulai melenceng juga diteriakkan mahasiswa Amerika pada masa pemerintahan Presiden Lyndon B Johnson, paruh kedua dasawarsa 1960-an. Saat itu terjadi eskalasi pengiriman prajurit Amerika untuk menghadapi Vietkong. Pemerintah dan kebijakan Perang Vietnam-nya didukung oleh ”mayoritas bungkam” (the silent majority).
Para mahasiswa memekikkan semboyan: ”Sejuta lalat tak bisa salah” (A million flies cannot be wrong). Semboyan itu tidak dimajalkan, justru dipertajam dengan kalimat: ”Santaplah tinja!” (Eat shit!)
Berbeda dengan J Kristiadi dan para mahasiswa Amerika itu, Sancho Panza—pengikut setia Don Quixote—memilih ”sluman-slumun-slamet”.
Ia mengugemi pepatah: ”Mulut yang tertutup rapat tidak kemasukan lalat” (A shut mouth catches no flies).