Bupati atau pejabat lain seharusnya jujur. Pejabat kurang cerdas dapat belajar, kurang cakap bisa dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki. Jika begini, sulit kepala daerah untuk jera korupsi.
Oleh
Redaksi Kompas
·3 menit baca
”Bupati atau pemimpin apa saja, ya seharusnya jujur.” Demikian diutarakan Saryono (53), rakyat kecil yang bekerja sebagai tukang becak di Alun-alun Banjarnegara.
Harapan Saryono itu terungkap dalam laporan harian ini, Senin (6/9/2021), setelah tiga hari lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, Budhi Sarwono dan orang kepercayaannya, Kedy Afandi, sebagai tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa tahun 2017-2018. Budhi diduga menerima kompensasi dari proyek infrastruktur sebesar Rp 2,1 miliar. Budhi membantah telah melakukan tindak pidana korupsi.
Selain Bupati Banjarnegara, seminggu terakhir publik di negeri ini juga disodori kabar penangkapan Bupati Probolinggo, Jawa Timur, Puput Tantriana Sari, bersama suaminya, yang juga bekas Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin. Hasan kini adalah anggota DPR. Keduanya diduga melakukan korupsi terkait penyalahgunaan kekuasaan dan jual beli jabatan. Bersama keduanya, KPK menetapkan 17 aparatur sipil negara (ASN) di Probolinggo sebagai tersangka pula (Kompas, 31/8-4/9 2021).
Budhi, Puput, dan Hasan adalah deretan nama kepala daerah atau bekas kepala daerah yang terjerat korupsi. Tahun ini saja, tercatat tak kurang dari sembilan kepala daerah atau bekas kepala daerah yang diseret KPK, belum termasuk yang diadili. Mereka, antara lain, Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Bupati Mamberamo Raya (Papua) Dorinus Dasinapa, Bupati nonaktif Bandung Barat (Jawa Barat) Aa Umbara Sutisna, dan Bupati nonaktif Bintan (Kepulauan Riau) Apri Sujadi.
Kepala daerah atau bekas kepala daerah adalah pejabat yang termasuk banyak terjerat korupsi. Data KPK menunjukkan, 143 gubernur/wali kota/bupati atau wakilnya, antara tahun 2004 dan 2020, ditangani KPK. Angka itu lebih rendah di- bandingkan dengan anggota DPR/DPRD (274 orang) dan 230 pejabat eselon I/II/III yang terjerat korupsi pada periode yang sama. Jika berdasarkan instansi, pemerintah provinsi/kota/kabupaten adalah yang terbanyak terjerat korupsi, sebanyak 561 kasus dari 1.123 kasus yang ditangani KPK sepanjang 2004-2020.
Dari jenis perkara, dari 1.122 kasus yang ditangani KPK selama 2004-2020, paling banyak terkait penyuapan, sebanyak 739 kasus, dan korupsi pengadaan barang/jasa (236 kasus). Dua jenis perkara korupsi inilah yang banyak menjerat kepala daerah selama ini. Dugaan korupsi jual beli jabatan yang menjerat Bupati Probolinggo atau dugaan korupsi menerima komisi dari proyek di daerah yang menimpa Bupati Banjarnegara tergolong penyuapan, juga adalah kasus yang memerosokkan kepala daerah atau bekas kepala daerah di masa lalu. Mereka dipenjara dan dipermalukan di depan publiknya sendiri.
Namun, pelajaran buruk dari pendahulu itu tak membuat kepala daerah lainnya belajar sehingga jera untuk korupsi. Paling tidak berpikir ulang sebelum melakukan tindak pidana. Biaya politik yang tinggi biasanya menjadi alasan kepala daerah yang terjerat korupsi. Jika sudah tahu biaya politik itu mahal, dan tak bisa mandiri, kenapa tetap mencalonkan diri?
Korupsi terjadi karena seseorang memiliki kesempatan dan tak jujur. Proklamator Mohammad Hatta pernah mengatakan, ”Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur sulit diperbaiki.” Jika begini, memang sulit untuk jera.