17 Tahun Kasus Munir, September Masih Kelam
Tujuh belas tahun berlalu, pengungkapan kasus pembunuhan Munir tak kunjung tuntas. Pembunuhan Munir bukanlah tindak pidana biasa, melainkan terkait aktivitasnya sebagai pembela hak asasi manusia.
”Selamat jalan pahlawanku/ Pejuang yang dermawan / Kau pergi saat dibutuhkan saat dibutuhkan/ Keberanianmu mengilhami jutaan hati/ Kecerdasan dan kesederhanaanmu jadi impian/ Pergilah pergi dengan ceria sebab kau tak sia-sia/....” (Iwan Fals)
Penggalan bait lagu Iwan Fals itu akan selalu teringat ketika bulan September kembali tiba. Peringatan September hitam akan terus menjadi memori menyakitkan (memoria pasionis) bagi para pejuang hak asasi manusia yang memperingati wafatnya pembela HAM, Munir Said Thalib, pada 7 September. Apalagi sudah 17 tahun pengungkapan kasus Munir belum kunjung tuntas terselesaikan dan belum menghukum dalang pelaku pembunuhan.
Mengingat Munir di bulan September bukan hanya mengingat tentang sosok fisiknya, melainkan juga semangat dan nilai-nilai yang diperjuangkannya. Munir adalah nilai yang terus hidup. Munir adalah penerang seperti arti dari namanya ”yang menerangi”. Semangat, nilai, dan cita-citanya akan terus menerangi setiap lintasan jalan perjuangan kemanusiaan dan keadilan.
Menyuarakan suara terpendam
Satu bait Iwan Fals yang menempatkan Munir sebagai sosok yang sederhana dan dermawan bukanlah sebuah klise semata, melainkan sebuah kenyataan. Dengan menggunakan sepeda motor, Munir melangkah pasti memperjuangkan HAM. Walaupun sudah menjadi sosok yang dikenal publik, Munir tak segan untuk datang dan bertemu dengan mahasiswa dalam diskusi-diskusi kecil membicarakan soal-soal kebangsaan kita.
Baca juga: Kisah Munir, Ujian yang Belum Selesai
Munir sosok yang tak kenal lelah walau wajah fisiknya terkadang terlihat lelah karena kesibukan waktunya dalam memperjuangkan korban pelanggaran HAM. Munir hadir di tengah para buruh yang terimpit akibat kerasnya rezim Orde Baru.
Munir datang di tengah-tengah orangtua yang bersedih karena anaknya hilang dan tak kembali pada 1997/1998. Munir berteriak lantang di depan gedung Mahkamah Agung karena keadilan bagi korban tak kunjung datang.
Sungguh sulit dibayangkan, di tengah tekanan kerasnya rezim Orde Baru, Munir melangkah pasti menyuarakan suara-suara yang terpendam dan tak terdengar. Di tengah sebagian besar masyarakat bungkam karena takut akan kejamnya rezim saat itu, Munir seolah tak kenal rasa takut dan terus bergerak menuntut keadilan. Kasus Tanjung Priok, tragedi Talangsari; kekerasan di Aceh dan Papua, kasus Trisakti, kerusuhan Mei; tragedi Semanggi; dan masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM didampingi Munir hingga akhir hayatnya.
Dalam dinamika perjuangan HAM di Indonesia, jalan kehidupan Munir berperan besar dalam mendorong proses demokratisasi dan pemajuan HAM. Munir telah menjadi inspirasi bagi gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Mereka mungkin dapat membunuh fisiknya, tetapi mereka lupa bahwa mereka tidak akan dapat membunuh semangat perjuangannya yang akan selalu hidup dalam relung hati para pembela HAM.
Munir adalah voice of the voiceless yang selalu menyuarakan suara-suara terpendam dan tak terdengar.
Munir adalah voice of the voiceless yang selalu menyuarakan suara-suara terpendam dan tak terdengar. ”Kami sudah lelah dengan kekerasan,” itulah kata-kata Munir yang terus teringat hingga saat ini. Meski sudah 17 tahun setelah wafatnya Munir, penggalan kata tersebut tetap hidup sebagai semangat bagi para pejuang HAM dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.
Pembunuhan terhadap Munir merupakan bentuk pembunuhan kepada pembela HAM. Pembunuhan semacam itu sepantasnya tidak terjadi lagi di alam demokrasi ini. Sudah saatnya negara menjadikan suara-suara kritis para pembela HAM bukan lagi sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan demokrasi yang perlu terus hidup guna memajukan penegakan HAM dan demokrasi itu sendiri.
Baca juga: Menjernihkan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Pembela HAM pada hakikatnya memperjuangkan agar HAM sebagai prinsip dasar bernegara dapat dilindungi, dihormati, dan dimajukan. Dalam posisi demikian, pembela HAM sesungguhnya memiliki peran besar terpenuhinya tanggung jawab negara dalam melindungi dan memajukan HAM.
Upaya menjamin perlindungan pembela HAM dapat dilakukan negara dengan cara memperkuat jaminan perlindungan dan mekanisme proteksi para pembela HAM melalui revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu, kesungguhan negara dalam memastikan perlindungan pembela HAM juga dapat dilakukan dengan merubah dan menghapus pasal-pasal karet dalam KUHP dan UU ITE yang terkadang menjadi dasar hukum untuk melakukan kriminilasisi terhadap pembela HAM.
Pelanggaran HAM berat
Janji politik pemimpin negeri untuk menyelesaikan kasus Munir hingga saat ini hanya sebatas janji. Janji itu hanya enak didengar di telinga tetapi tidak terwujud dalam sebuah sikap dan tindakan nyata untuk memberikan keadilan bagi korban.
Proses penyelesaian kasus Munir baru sebatas mengadili dan menghukum para pelaku lapangan dan pelaku yang turut serta. Sementara pelaku yang menyuruh dan memerintahkan untuk melakukan pembunuhan masih belum terungkap dan masih menghirup udara bebas.
Berdasarkan laporan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF), pembunuhan Munir adalah pembunuhan yang terencana. Rencana itu terlihat dari cara, pemilihan jenis racun, tempat peristiwa, keterlibatan berbagai aktor yang di duga ikut serta, dan aksi-aksi teror yang terjadi sesudah kematian Munir.
Pembunuhan Munir merupakan bentuk permufakatan jahat yang melibatkan empat lapis pelaku; pelaku lapangan, pelaku yang mempermudah atau turut serta; aktor perencana, dan pengambil keputusan (inisiator). Pembunuhan itu di duga kuat berhubungan dengan aktivitas Munir dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia.
Lihat video: Munir, Pahlawan Orang-orang Hilang
Dalam perkembangan terbaru advokasi penyelesaian kasus Munir, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) sudah membuat legal opinion yang telah diserahkan kepada Komnas HAM pada September 2020 agar Komnas HAM segera menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Pembunuhan Munir bukan tindak pidana biasa (ordinary crimes), melainkan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes) atau pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights) atau bahkan dinilai sebagai kejahatan yang amat serius (the most serious crimes) seperti kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity).
Masyarakat, terutama keluarga korban, masih menunggu dan menanti hasil positif dari Komnas HAM terkait dengan status pelanggaran HAM berat kasus Munir. Berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dalam kasus kejahatan HAM berat tanggung jawab penyelidikan dan penyidikan diserahkan kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Dengan demikian, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu perkara sebagai pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM sebagai penyelidik sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UU No 26/2000.
17 tahun
Tujuh belas tahun kini telah berlalu. Tawa dan canda Munir kini tak terdengar lagi. Diskusi sore hari yang selalu dinantikan kawan-kawan pegiat HAM terhenti karena permufakatan jahat pembunuhan Munir telah membawanya ke alam yang lain. Alam yang tidak bisa lagi kita sentuh untuk menanyakan kepadanya mengapa bangsa ini terus melanggengkan impunitas, mengapa politik tak kunjung menjawab keadilan bagi korban, mengapa keluarga korban terus membawa payung hitam di depan istana, dan mengapa kekuasaan diam melihat ketidakdilan.
Baca juga: Ironi Impunitas di Negara Hukum
Cak, Diva (anak bungsu Munir) sekarang sudah dewasa dan sedang menempuh kuliah di tempat dirimu dulu menapaki jejak awal aktivis di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Cak, Alif (anak pertama Munir) sudah lulus kuliah dan kini menjadi pegiat HAM di Imparsial, tempat kamu terakhir bekerja bersama Kami. Mereka akan terus merindukanmu sama seperti kami yang terus mengenang dan merindukan suara-suaramu membicarakan kemanusiaan dan keadilan.
Cak, maafkan kami, September kali ini sepertinya masih terus kelam dan hitam Cak. Semoga September tahun depan atau mungkin tahun depannya lagi atau mungkin tahun selanjutnya akan menemui titik terang dalam penyelesaian kasus pembunuhanmu Cak. Semoga.
Al Araf, Dosen FH Universitas Brawijaya dan Peneliti Senior Imparsial