Barangkali ada banyak faktor lain yang mendorong kuat niat China memasuki Afghanistan. Namun intinya, seberapa banyak pun faktornya, setelah AS keluar, China memiliki banyak kepentingan tentang Afghanistan.
Oleh
Simon Saragih
·4 menit baca
Entah kenapa, Afghanistan yang land locked kerap terkena invasi. Setelah Uni Soviet menginvasi lalu keluar, AS masuk. Kini AS sudah keluar. Mulai kewalahan menaklukkan Afghanistan adalah alasan utama. Keluarnya Soviet dan AS tidak mengurangi niat masuk oleh kekuatan lain. China diduga kuat berniat masuk ke Afghanistan.
Pada 17 Agustus 2021, The Forbes menyajikan artikel yang ditulis oleh Ariel Chone. Isinya kurang lebih menyatakan bahwa sepeninggal AS, China berniat dukung Taliban lewat investasi pertambangan di Afghanistan.
Namun ada banyak lagi alasan kuat bagi China untuk masuk ke Afghanistan. Sebagai negara dengan kekuatan baru, secara alamiah China juga tidak menginginkan negara lain bercokol di dekatnya, apalagi di negara yang berbatasan langsung dengan China.
”Iran dan China pasti tidak suka AS ada di Afghanistan yang berbatasan dengan kedua negara. Mereka pasti mencoba menggagalkan kehadiran AS. Sebab jika pendudukan AS berhasil, itu akan melanggengkan keberadaan militer AS di perbatasan,” demikian dituliskan John Mearsheimer, pakar politik hubungan internasional terkenal AS dari University of Chicago, pada 4 November 2001 di The New York Times.
Tambahan pula, analogi Doktrin Monroe AS, yang melarang Eropa pada zamannya menguasai Benua Amerika sangat tepat untuk menjelaskan keinginan China perihal penguasaan Afghanistan ini. Doktrin ini merujuk pada peristiwa pada 1823 saat Presiden AS James Monroe dan Menlu AS John Quincy Adams memberi pesan kepada Kongres AS tentang dasar kebijakan luar negeri.
Sikap munafik jika AS dan sekutunya tidak rela menerima kekuatan China di kawasan sekitar China itu sendiri, seperti ketika AS leluasa menguasai Benua Amerika dan dinyatakan resmi lewat Doktrin Monroe. Demikian lebih kurang dituliskan Profesor Dr James R Holmes, spesialis China, dari US Naval War College pada 22 Juni 2012 di situs The Diplomat berjudul ”China’s Monroe Doctrine”.
Faktanya, China sudah ”memblokade” Laut China Selatan, ”menyisir” pantai Jepang di timur. ”Menguasai” Afghanistan untuk melengkapi itu adalah logika yang memiliki dasar serupa. Itu adalah agar asing (terutama AS) tak bisa menetralisasi kekuatan China, penguasa de facto regional.
Terkait hal ini, juga sudah dituliskan bahwa China telah memiliki doktrin serupa, disebut Doktrin Huaqing. Ini merujuk pada nama Laksamana Liu Huaqing, yang dijuluki sebagai Bapak ”Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China”. Misi Doktrin Huaqing disebut serupa dengan misi Doktroin Monroe seperti dituliskan di dalam tesis berjudul ”China and the South China Sea: The Emergence of the Huaqing Doctrine” oleh Luis A. Durani dari Virginia Polytechnic Institute and State University pada 6 November 2015.
Kepentingan ekonomi
Alasan lain bagi China memasuki Afghanistan adalah kepentingan ekonomi. Afghanistan memiliki kekayaan mineral yang dibutuhkan China. Hal ini bersambut dengan kebutuhan Afghanistan akan investasi asing.
Namun rasanya hanya negara dengan kas besar dan memiliki kepentingan geopolitik besar yang bisa memenuhi itu. Sebab memasuki Afghanistan dengan infrastruktur minim adalah sesuatu yang sulit. Hanya China yang memenuhi kategori ini, masuk dengan tidak melulu melihat sisi ekonomis.
Kepentingan ekonomi ini satu paket dengan program ”One Belt One Road” yang dicanangkan Presiden Xi Jinping pada 2013. Afghanistan dengan topografi sangat berat itu ada dalam koridor wilayah yang masuk kategori OBOR. Dengan langsung masuk ke Afghanistan, China tak perlu masuk lewat negara tetangga seperti Pakistan. Bahkan terkait program OBOR ini, Afghanistan sangat penting dimasuki China, seperti dituliskan pada 12 Mei 2017 oleh Arushi Kumar, peneliti di Carnegie India, New Delhi.
Memasuki Afghanistan untuk kepentingan fabrikasi sosial juga menjadi alasan lain yang tidak kalah penting bagi China. Ini ada kaitannya dengan relasi warga Xinjiang di China dan warga Afghanistan. Salah satunya adalah seperti yang didiskusikan lewat tanya jawab oleh Mercy A Kuo, Executive Vice President pada Pamir Consulting, dengan Dr Sean Roberts, profesor dari George Washington University dan penulis buku The War on the Uyghurs: China’s Internal Campaign Against a Muslim Minority.
Salah satu isu terkait ini adalah keberadaan pejuang Uyghur China yang bersembunyi di Afghanistan dan diduga bersekutu dengan Taliban. Kelompok ini belum pernah menjadi ancaman langsung bagi China dan Taliban telah menunjukkan aksi untuk meredam gerakan mereka ketika diminta demikian oleh Beijing pada 1990.
Meski demikian, ancaman besar untuk China tetap ada dari Afghanistan. Itu berpotensi datang dari pejuang non-Uyghur di Afghanistan yang bersimpati kepada Uyghur China jika sesama mereka di China mendapatkan perlakuan tidak adil. Serangan kepada para pekerja China di Pakistan pada awal Juli 2021 mungkin menjadi sinyal di masa datang yang menjadi perhatian terkait prahara ini. Atas alasan ini, China penting menyusun strategi, salah satunya dengan memasuki Afghanistan.
Barangkali ada banyak faktor lain yang secara bersamaan mendorong kuat niat China memasuki Afghanistan. Namun intinya, seberapa banyak pun faktornya, setelah AS keluar, China memiliki banyak kepentingan tentang Afghanistan. Demikian disimpulkan dalam diskusi pada 5 Agustus 2021 oleh Direktur Program Asia Janka Oertel dan peneliti Andrew Small, keduanya dari The European Council on Foreign Relations (ECFR).