Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada 2022 akan menjadi saat yang tepat bagi Indonesia untuk memimpin upaya pemilihan ekonomi dunia. Sebagai tuan rumah, Indonesia harus berani mengambil peran yang lebih besar.
Oleh
ADHI NUGROHO
·4 menit baca
Setelah sukses dengan Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia pada 2018, Indonesia kembali dipercaya menggelar hajatan kelas dunia. Tahun depan, Indonesia akan menjadi tuan rumah atau Presidensi Konferensi Tingkat Tinggi G-20.
Pertemuan yang bakal dihadiri oleh pemimpin 19 negara dan Uni Eropa itu akan mengangkat tema ”Recover Together, Recover Stronger”. Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk memimpin upaya pemulihan ekonomi dunia.
Tantangan terbesar perekonomian dunia saat ini terletak pada penanganan pandemi Covid-19. Kemunculan varian baru virus korona menyebabkan restriksi mobilitas terpaksa ditempuh sejumlah negara, termasuk Indonesia. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi yang mulai terakselerasi pada 2021, berpotensi kembali terdeselerasi pada tahun berikutnya.
Oleh karena itu, kesepakatan di antara negara G-20 yang menguasai 80 persen kekayaan dunia praktis menjadi tumpuan pemulihan. Tahun lalu, tatkala KTT G-20 diketuai Arab Saudi, para pemimpin negara anggota berkomitmen meratakan distribusi vaksin ke semua negara, khususnya negara berkembang dan miskin. Keberhasilan Indonesia mengamankan stok vaksin, paling tidak hingga saat ini, adalah salah satu buah yang kita petik dari traktat G-20.
Jika tahun lalu mendulang berkah, pertanyaannya, apa yang bisa kita berikan kepada dunia tahun depan? Menyoal vaksin, tampaknya posisi kita masih sama: tangan di bawah. Akan tetapi, sebagai negara yang bercita-cita menjadi lima besar ekonomi dunia pada 2045, kita harus berani mengambil peran yang lebih besar. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diangkat pada KTT G-20 tahun depan.
Pertama, lumbung sumber daya alam berkelanjutan. Tahun 2019, Uni Eropa menggugat sawit Indonesia lantaran proses produksinya dianggap tidak berwawasan lingkungan. Sekarang, anggapan itu telah berubah. Data Konferensi Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO) menunjukkan jumlah anggota petani sawit Indonesia yang tersertifikasi hijau meningkat hingga 167 persen sepanjang 2020.
Dalam situsnya, RSPO mengapresiasi Indonesia, produsen sawit nomor satu dunia, atas upaya memproduksi sawit yang lebih ramah lingkungan. Capaian itu bisa menjadi etalase cantik pada KTT G-20 untuk memperluas pasar ekspor sawit lokal. Sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi nasional dari sektor pertanian, mengingat harga minyak sawit dunia tengah berada di puncak tertinggi sejak 2012.
Selain sawit, komoditas yang menjadi buah bibir dunia adalah nikel. Pasalnya, Indonesia menguasai seperempat cadangan nikel dunia untuk memproduksi baterai mobil listrik hingga 30 tahun ke depan. Upaya memberi nilai tambah pada nikel juga menjadi fokus pemerintah dengan membentuk badan usaha Indonesia Battery Corporation pada 26 Maret 2021.
Isu perubahan iklim dan lingkungan memang selalu menjadi topik hangat tiap kali negara anggota G-20 bertemu. Melalui Sustainable Finance Working Group—kelompok kerja G-20 yang berfokus pada isu pembiayaan ekonomi hijau—pemerintah perlu mempertegas kesiapan Indonesia sebagai pemain utama dalam rantai pasok global baterai kendaraan ramah lingkungan.
Digitalisasi dan investasi
Kedua, ekonomi digital. Facebook dan Bain Company melaporkan jumlah konsumen digital di Asia Tenggara pada 2020 telah menembus 310 juta, angka yang semestinya baru dicapai pada 2024. Adapun jumlah konsumen digital Indonesia tumbuh paling tinggi, sekitar 40 persen dalam setahun. Menariknya, tambahan konsumen digital itu mayoritas berasal dari kota nonmetropolitan.
Data di atas membuktikan pandemi mengakselerasi inklusi digital. Kemajuan perusahaan rintisan lokal, antara lain merger Gojek-Tokopedia dan melantainya Bukalapak di bursa saham, telah menjadi katalis bagi pemulihan ekonomi. Cerita sukses ini tentu perlu dibagikan kepada dunia, melalui program Liga Inovasi Digital yang lahir dari KTT G-20 tahun ini di Italia.
Tahun depan, isu digitalisasi akan berfokus pada transfer data elektronik lintas negara. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menjadi angin segar bagi pengembangan ekonomi digital. Beleid itu telah menghapuskan restriksi transfer data lintas batas yang dapat berefek negatif bagi perekonomian.
Hanya, pengamanan data elektronik masih menjadi perkerjaan rumah yang harus dibenahi. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang tengah dibahas DPR bersama pemerintah, harus segera diketok palu. Di antara negara anggota G-20, hanya Indonesia yang belum memiliki regulasi terkait perlindungan data pribadi.
Terakhir, promosi kemudahan berinvestasi. Peringkat kemudahan berusaha Indonesia masih stagnan di posisi ke-73 dunia selama dua tahun terakhir. Tahun depan, pemerintah menargetkan kenaikan peringkat menuju posisi ke-40, dengan memosisikan UU Cipta Kerja sebagai senjata mengatasi hambatan berinvestasi.
Yang perlu menjadi catatan ialah harmonisasi kebijakan pusat dan daerah. Salah satunya soal pajak dan retribusi daerah yang dinilai belum ramah investor. Tingginya tarif pajak daerah menjadi kendala terbesar bagi investor asing saat ingin menanamkan modalnya. Menjelang KTT G-20 tahun depan, persoalan ini mesti segera diatasi.
(Adhi Nugroho, Analis di Bank Indonesia Kalimantan Selatan)