Bintang Tanatimur adalah bagian sejarah perkembangan yang seru itu. Ia adalah contoh parabelia masa kini yang bisa bebas melompat dari kertas menuju ke mana saja : ke batu kali, balok kayu, kulkas dan dinding kosong.
Oleh
AGUS DERMAWAN T
·6 menit baca
Beberapa waktu lalu seorang sahabat mengirimkan foto-foto lukisan lewat whatsapp. Saya mengatakan bahwa banyak lukisan yang keren di situ. Saya meyakini deretan lukisan itu adalah karya seniman Institut Seni Indonesia. Karena pilihan tema dan eksplorasi mediumnya mengindikasikan kreasi orang dewasa. Tapi keyakinan saya terpatah ketika ia menjawab bahwa semua itu adalah karya anaknya, Bintang Tanatimur. Lelaki kategori usia parabelia (di bawah 17 tahun), lantaran ia lahir pada 18 Agustus 2005.
Alhasil nama Bintang - yang juga pandai bermain musik - terus saya perhatikan. Sampai beberapa bulan lalu kala ia diberitakan memanjat-manjat stager di kampungnya di Yogyakarta untuk membuat mural (lukisan dinding) dengan tema filosofis : Urip iku urup, yang artinya, hidup itu (harus) menyala. Selarik ungkapan penyemangat yang berkonteks dengan situasi masyarakat Indonesia yang “hidupnya sedang redup” lantaran dilanda Covid-19.
Berangkat dari perhatian itu saya mengharap agar Bintang (bersama rekan-rekan remaja yang membantunya) terus menghampiri dan menggambari dinding tak bertuan di sekujur kampung.
Berkonteks dengan itu saya deg-degan ketika pada medio Agustus lalu aparat berbagai kota mendadak alergi terhadap mural dan grafiti (coretan tulisan di tembok). Sejumlah mural dan grafiti di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Depok, Karawang mendadak dihapus oleh petugas keamanan. Termasuk yang bermuatan keluh-kesah : “Tuhan Aku Lapar”. Alasannya : mural dan grafiti bisa ditafsirkan sebagai kritik atas pemerintah. Dan bahkan dianggap mencederai simbol negara.
Namun perasaan kawatir itu hilang ketika terfahami bahwa tema mural dan grafiti ciptaan Bintang tidak berkait dengan keluh-kesah dan protes sosial politik. Karena muralnya lebih berpretensi “nguri-nguri kabudayan” (menaburi kebudayaan) sambil “ngurip-uripi pikiran” (menghidupkan dunia pemikiran). Sebuah niat seni yang mungkin diajarkan Ibunya, Rina Kurniyati yang pelukis kaca, dan ayahnya, Mikke Susanto, penulis buku dan pengajar di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Atau mungkin ia pungut dari bacaan di kitab dan gawainya.
Sosok Bintang, cipta mural dan grafiti serta sikap reaktif aparat pemerintah, segera mengingatkan saya kepada beberapa hal. Yang semuanya berhubungan dengan keniscayaan.
Pertama : mural dan grafiti adalah ekspresi khas kaum muda, terutama parabelia. Di seluruh dunia fenomena yang tak bisa dielak ini selalu bertumbuhan, yang kemudian dalam wacana seni rupa modern disebut sebagai street art.
Kedua : mural jalanan dan grafiti muncul karena naluri estetik seseorang mendesak untuk mengisi ruang atau bidang kosong yang “mendadak” hadir di depan matanya. Ketiga : mural jalanan dan grafiti lahir lantaran dorongan naluri seseorang untuk mengatakan dan menyatakan sesuatu lewat bidang yang kebetulan kosong, tersebab bidang lain sudah tertutup.
Jadi, secara prinsip kelahiran mural dan grafiti adalah sah dan tidak menyimpan salah. Andai pun ada yang dianggap keliru, bisa dipastikan karena faktor ekstrinsik yang berkait dengan “kepemilikan dinding”, atau konten yang (oleh sepihak) dianggap “keterlaluan miring”.
Lalu, beruntut dengan ihwal keniscayaan di atas, orang boleh teringat sejarah yang digubah oleh Ali Sadikin.
Bang Ali agaknya pernah mendengar kalimat : “Hanya pemerintah cupet dan rapuh yang takut kepada kritik jalanan."
Mural dan Grafiti Era Bang Ali
Ali Sadikin atau Bang Ali, Gubernur DKI Jakarta era 1966-1977 pernah mengeja fenomena mural dan grafiti dengan apik dan bijak. Ketika tahu dinding-dinding di tepian jalan Jakarta selalu dicoret-coret remaja jail, ia segera menyediakan wadahnya.
Para muralis yang gatal-tangan dipersilakan mengisi dinding kosong di pelosok Jakarta dengan gambar-gambar yang beringsut di atas koridor estetis dan etis. Sementara para pembuat grafiti disediakan dinding khusus di lima wilayah Jakarta. Di dinding lebar itulah mereka bebas menuturkan dan meneriakkan kultus, rasa cinta, sampai rasa sakit hati. Termasuk aspirasi, pujian atau kritik atas pemerintah, pejabat, dan aparatnya.
Dalam dua pekan sekali Bang Ali meninjau tembok-tembok demokrasi itu. Ia mencatat, membaca, mendokumentasi, dan memahami. “Biarkan remaja tumbuh bebas. Hamparkan di hadapannya langit lepas...” katanya.
Bang Ali agaknya pernah mendengar kalimat : “Hanya pemerintah cupet dan rapuh yang takut kepada kritik jalanan.“ Satu ungkapan yang di kemudian hari diuar-uarkan muralis Brazil ternama, Eduardo Kobra.
Lalu mural dan grafiti bagai menemukan momentum untuk diperhatikan. Bertolak dari iklim ciptaan Bang Ali inilah seni rupa parabelia juga menemukan atmosfir untuk tumbuh. Ini sekelumit sejarahnya.
Pada tahun 1969 pelukis Tino Sidin membuat acara “Gemar Menggambar” di TVRI Yogyakarta. Acara ini (ternyata) sangat digemari parabelia, yang kemudian menstimulasi minat banyak orang untuk membentuk perkumpulan melukis. Kegairahan ini semakin terbangkit ketika Menteri Daoed Joesoef memindahkan “Gemar Menggambar” ke TVRI Pusat, Jakarta, pada 1979. Maka lahirlah ratusan sanggar seni lukis di berbagai kota kecil dan besar di seluruh Indonesia.
Pertumbuhan sanggar itu dengan sontak menyadarkan berbagai panitia untuk mengadakan lomba seni lukis parabelia. Antar sanggar pun lantas diajak bersaing, dan pelukis parabelia didorong untuk saling bertanding.
Tercatat benar, betapa pada 1980-1995 hampir setiap minggu ada lomba seni rupa parabelia di berbagai kota. Ada panitia yang menggeret ratusan remaja untuk berjejer melukis di atas kanvas 1.000 meter. Ada panitia yang setiap enam bulan mengadakan lomba lukis on the spot dengan 800 peserta dalam sekali jalan.
Berbagai perusahaan membuat seremoni pelepasan produk dengan lomba melukis. Karena ajakan kompetisi ini disiarkan lewat iklan koran nasional, sanggar seni parabelia di mana saja ingin terlibat. Itu sebabnya, ketika ada lomba besar di Jakarta, Surabaya atau Bali, peserta dari berbagai kota tampak menghadiri.
Pada kurun itu UNESCO rutin bikin kompetisi lukisan parabelia bagi 160 negara anggotanya. Puluhan finalis di setiap negara lantas dikirim ke UNESCO Pusat di Paris untuk ditandingkan dengan finalis dari negara lain. Harus dicatat, peserta Indonesia adalah yang terbanyak dari seluruh dunia. Dalam setiap tahun tak kurang dari 6.000 (enam ribu) lukisan yang didaftarkan. Saya yang selama 8 tahun jadi juri itu, selalu puyeng menghadapi.
Begitu meriah dan produktifnya parabelia Indonesia, sampai Johana Sunarti, isteri Jenderal AH Nasution, membuat “bank lukisan parabelia” di Jakarta. Ratusan lukisan yang bermutu dikumpulkan, dan disiapkan bagi siapa saja yang ingin mengaplikasi dalam bentuk kalender, kartu ucapan, ilustrasi prangko, gambar sampul buku tulis dan sebagainya.
Setelah Sanggar Surut
Memasuki tahun 2000 keberadaan sanggar surut, dan kegiatan lomba juga ikut jauh menurun. Tapi kegairahan pelukis parabelia terlihat tak pernah kendur. Mereka selalu berkarya dalam komunitas kecil atau bahkan individual. Mereka mencipta di kamarnya dengan bimbingan Ayah, Ibu, keluarga dan kolega, yang ilmunya diambil dari segala arah, termasuk dari situs-situs seni media sosial.
Mereka melukis segala hal yang melintas dalam kehidupannya dan yang menampang di televisi, laptop dan gawainya. Segala persoalan pun ditangkap. Dari kejenakaan Minions, aksi Captain America, kekuatan Gatotkaca sampai komik Jepang manga. Dari deforestasi yang keterlaluan sampai koruptor yang keenakan. Dari pejabat yang mulia sampai aparat buta sejarah tapi garang dan ngawur di mana-mana. Sementara keindahan perdu dan bunga, dihayati di sela-sela lakon computer game.
Dengan referensi nan kaya itu mereka mencipta. Karya-karya itu kemudian - tanpa keramaian - dikirim ke aneka kompetisi internasional oleh sekolah, orangtua, atau institusi yang mengajaknya. Hasilnya “gila” : sekitar 40 medali internasional berhasil direnggut dalam setiap tahun, sejak 2002. Medali itu datang dari Amerika Serikat, Belanda, Prancis, China, Jepang, Slovenia, Ceko, Thailand, Austria.....
Bintang Tanatimur adalah bagian dari sejarah perkembangan yang seru itu. Ia adalah contoh parabelia masa kini yang dengan pengetahuannya bisa bebas melompat dari kertas menuju ke mana saja : ke batu kali, balok kayu, kulkas, termasuk ke dinding kosong di kampungnya. Maka, melihat reputasi Bintang dan segenap parabelia pantarannya, siapa pun wajib mengapresiasi dan mendorongnya sampai ke langit tinggi! Bukan malah mencurigai. *
Agus Dermawan T. Kritikus. Penghibur Seni Rupa Indonesia.