Waiver Perjanjian TRIPS dan Akses Kesehatan
Pandemi Covid-19 hanya bisa ditangani bersama, tetapi hingga kini akses vaksin Covid-19 belum setara. Waiver Perjanjian Trade-Related Aspect on Intellectual Property Rights menjadi upaya untuk menyetarakan akses vaksin.
”Medicine is a social science and politics is nothing else but medicine on a large scale” - Rudolf Carl Virchow - Pendiri Social Medicine
Pembahasan Waiver terhadap Perjanjian Trade-Related Aspect on Intellectual Property Rights (TRIPS) tidak terlepas dari ketidakadilan arsitektur kesehatan global. Perjanjian TRIPS menjadi puncak ketidakadilan tersebut.
Arsitektur kerja sama kesehatan global sangat berperan dalam menghambat akses atas produk kesehatan. Hambatan tersebut mempunyai satu tujuan besar: menjamin sentralisasi keuntungan atas produk kesehatan kepada industri farmasi di negara berpenghasilan tinggi.
Kerja sama kesehatan global, yang melibatkan banyak aktor, tidak selalu mengambil keputusan berdasarkan best clinical/public health evidence. Penolakan Indonesia untuk melakukan sharing strain virus influenza (H5N1) di tahun 2007 kepada WHO karena permasalahan akses terhadap vaksin yang dihasilkan dari sharing tersebut, misalnya, memperlihatkan permasalahan ini.
Dalam konteks Covid-19, dorongan aktor kesehatan mendorong Universitas Oxford membatalkan janji untuk membuat vaksinnya bersifat open-license. Lisensi eksklusif akhirnya diberikan kepada AstraZeneca. Walaupun vaksin Oxford/AstraZeneca dijual dengan harga at cost, ketiadaan suplai vaksin tersebut di Asia Tenggara (melalui jalur pembelian bilateral sebagaimana dilaporkan oleh harian The Jakarta Post) menjadi bukti bahwa politik berperan besar dalam menjamin akses terhadap produk kesehatan.
Baca juga: Menanti Keputusan WTO atas TRIPS Waiver
Ketidakrataan distribusi vaksin Covid-19 juga terkait erat dengan faktor politik-ekonomi. Negara yang mampu memberi subsidi besar bagi penelitian serta mampu melakukan kontrak pembelian di awal (Advance Purchase Agreement) menjadi negara yang mengontrol distribusi vaksin. Manufaktur yang mampu memproduksi dan memiliki monopoli melalui kekayaan intelektual (KI) akan mendahulukan negara yang telah membayar di depan atau pembeli dengan harga tertinggi.
Selain itu, terbatasnya lisensi dari manufaktur untuk menambah tempat produksi membuat jumlah vaksin terbatas dan sulit diakses oleh negara berpenghasilan menengah dan rendah. Lisensi ini berperan penting dalam kaitan dengan kontrol terhadap jumlah produksi, harga, dan akses.
Terbatasnya lisensi dari manufaktur untuk menambah tempat produksi membuat jumlah vaksin terbatas dan sulit diakses oleh negara berpenghasilan menengah dan rendah.
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghabreyesus menyatakan bahwa kita dapat menghentikan penyebaran Covid-19 segera. Dunia telah mempunyai alat (vaksin) untuk menghentikan penyebaran virus. Tedros mengarahkan kecaman terhadap keserakahan yang menginginkan kontrol terhadap produksi dan harga yang membuat drama penyanderaan oleh virus berkepanjangan.
Tedros merupakan supporter utama dari Waiver Perjanjian TRIPS dan mendukung upaya peningkatan produksi vaksin, baik melalui transfer teknologi secara sukarela (voluntary licensing) maupun melalui penghilangan perlindungan kekayaan intelektual sementara. Pemberitaan bahwa beberapa negara juga telah memberikan lampu hijau untuk pemberian booster vaksin diperkirakan oleh Tedros akan membuat akses negara berkembang terhadap vaksin semakin sulit.
Waiver WTO
Kekurangpahaman banyak orang dalam mengartikan Waiver diawali atas ketidakmengertian terhadap institusi WTO. Waiver bukanlah bagian dari Perjanjian TRIPS. Pembahasan mengenai pengabaian kewajiban hukum dalam suatu perjanjian untuk suatu waktu tertentu (waiver) dalam kondisi kedaruratan diatur dalam Article IX Marrakesh Agreement on the Establishment of the WTO. Oleh sebab itu, seluruh perjanjian yang berada di bawah WTO, termasuk Perjanjian TRIPS, adalah subyek dari Waiver.
Permintaan dan pemberian Waiver dalam WTO bukan sesuatu yang langka. Laporan tahunan WTO selalu mencantumkan jumlah Waiver berdasarkan Pasal IX Marrakesh Agreement yang diberikan setiap tahun kepada anggota. Di tahun 2020, tercatat empat Waiver baru diberikan, dan 11 multiyear waiver masih berjalan.
Namun, politik kesehatan global menghambat proses Waiver Perjanjian TRIPS. Beberapa anggota WTO berupaya menghambat upaya penyelesaian proses Waiver Perjanjian TRIPS dengan berbagai alasan.
Pentingnya Waiver
Hubungan KI dan akses terhadap kesehatan telah menjadi bagian debat politik kesehatan global pra-WTO. Perlindungan KI terhadap produk farmasi pada awalnya bukanlah norma standar internasional, mengingat kaitan produk farmasi dengan kesehatan publik. Namun, upaya perluasan kriteria paten terhadap produk farmasi mendapat traksi cukup kuat dalam Putaran Uruguay, termasuk dorongan dari industri farmasi besar, yang akhirnya menghasilkan Perjanjian TRIPS di bawah WTO.
Di dalam Perjanjian TRIPS, perlindungan minimal terhadap produk farmasi bukan hanya hadir melalui instrumen paten. Perlindungan terhadap test-data (data pre-clinical dan clinical trials) atas produk farmasi juga menjadi subyek perlindungan rahasia dagang. Padahal, data tersebut bernilai penting sebagai pembanding untuk percepatan pembuatan produk generik.
Perjanjian TRIPS mengatur mengenai fleskibilitas relaksasi paten dalam Artikel 31 (Compulsory Licensing). Namun, argumen utama pro-Waiver dalam mendorong relaksasi yang lebih besar melalui Waiver, didasarkan fleksibilitas dalam Artikel 31 tidak dibuat untuk mengatasi pandemi sebesar Covid-19.
Perjanjian TRIPS mengatur mengenai fleskibilitas relaksasi paten dalam Artikel 31 (Compulsory Licensing).
Aplikasi Artikel 31 yang bersifat product by product, case by case, dan country by country memperlambat proses intervensi atas Covid-19. Prosedur yang panjang dan berulang-ulang juga dipenuhi dengan tekanan politik dari industri farmasi dan mitra dagang.
Selain itu, Artikel 31 juga hanya terbatas pada paten, yang tidak dapat menjangkau seluruh intervensi pada tahap pencegahan, pengurungan, dan pengobatan. Beberapa bagian dari diagnostik kit, misalnya, dilindungi oleh hak cipta, sedangkan test-data dari terapeutik dan vaksin dilindungi oleh rahasia dagang.
Artikel 31(f) juga menciptakan disinsentif bagi perusahaan farmasi di negara dengan penduduk kecil untuk melakukan lisensi wajib. Kewajiban hasil produksi Compulsory Licensinguntuk predominantly for the supply of the domestic market (atau 51 persen), memastikan bahwa produksi di negara penduduk kecil tidak akan mencapai tingkat efisiensi produksi yang diinginkan. Jika produk hasil lisensi wajib akan diekspor melebihi angka tersebut, perusahaan dan negara importir harus melalui prosedur lain yang juga tidak mudah (laporan Medicine Sans Frontier atas penggunaan Artikel 31bis oleh Apotex.inc Kanada tahun 2007).
Baca juga: Batas Kepemilikan Intelektual
Hubungan KI dengan akses kesehatan yang menciptakan ketidakmerataan (inequity) akses terhadap produk seperti vaksin dan terapeutik dan kelangkaan produk seperti alat diagnostik dan personal protective equipment (PPE), serta limitasi Artikel 31 menjadi alasan utama negara berkembang mendorong proposal Waiver Perjanjian TRIPS di WTO.
Waiver ditujukan untuk menciptakan kebebasan beroperasi, bagi negara, industri, akademisi, peneliti, dan pihak swasta, dalam menggunakan prior-patented technology, know-how, dan test-data, tanpa harus takut terhadap gugatan pemegang paten dan tekanan mitra dagang. Kerja sama antarnegara berkembang dalam sharing data juga akan menjadi kunci peningkatan produksi generik dan menekan manufaktur vaksin untuk meningkatkan voluntary licensing untuk peningkatan akses dan penurunan harga di negara berpenghasilan rendah dan rendah.
Tentangan Waiver
Tentangan Waiver didasarkan pada dua hal utama, inovasi produk farmasi memerlukan insentif dan lisensi sukarela adalah jalan terbaik untuk transfer teknologi.
Anggota WTO yang pro-Waiver tidak menegasikan pentingnya insentif bagi inovasi produk farmasi. Namun, monopoli KI bukanlah satu-satunya insentif, terutama dalam masa pandemi. Manufaktur vaksin telah menerima subsidi publik dan jaminan pembelian yang menghilangkan risiko penelitian.
Dalam konteks lisensi sukarela sebagai jalur utama transfer teknologi, justru ketiadaan lisensi sukarelalah yang mendorong diperlukannya Waiver pada saat ini. WHO mencatat bahwa dari lebih 4 miliar dosis vaksin yang telah disuntikkan, negara berpendapatan menengah dan rendah hanya menerima sekitar 20 persen vaksin, walaupun jumlah penduduknya melebihi negara berpendatan tinggi.
Baca juga: Dinamika Global Vaksin Covid-19
Penolakan Waiver juga kerap dialaskan pada asumsi bahwa hambatan utama produksi bukanlah KI, melainkan ketidaan suplai bahan baku dan bahan pendukung. Ketiadaan suplai bahan baku dan bahan pendukung pada prinsipnya juga bersifat artifisial karena hanya dikuasai oleh beberapa industri saja. Dengan adanya Waiver, diharapkan manufaktur kompetitor bahan baku dan bahan pendukung juga dapat bermunculan seiring dengan hadirnya manufaktur vaksin baru di negara berkembang.
Secara keseluruhan, posisi Indonesia dalam mendukung proposal Waiver didasarkan pada upaya menggapai kesetaraan akses atas vaksin, terapeutik dan produk farmasi bagi negara berkembang. Posisi ini juga sejalan dengan kebijakan luar negeri yang berpihak kepada perjuangan negara berkembang dalam mengkoreksi struktur kesehatan global yang tidak seimbang. Selain itu, posisi Indonesia dalam mendorong proposal Waiver juga sebagai bentuk nyata implementasi bahwa produk farmasai serta pengetahuan atas proses produksinya, dalam masa krisis, merupakan global public goods.
Daniel Ardiles Simanjuntak, Diplomat, Negosiator Indonesia untuk TRIPS Waiver (Oktober 2020-Juli 2021)