Yang mendesak adalah perbaikan secara radikal kondisi belajar, bekerja, dan berkarier di Tanah Air sendiri sehingga orang-orang terhebat di dunia terpikat dan kerasan bekerja di sini.
Oleh
Ariel Heryanto
·5 menit baca
Kompas
Ariel Heryanto
Banyak orang Indonesia yang hebat di pentas dunia. Greysia Polii dan Apriyani Rahayu meraih medali emas Olimpiade. Sutradara film Edwin meraih penghargaan Golden Leopard di Locarno Film Festival. Peneliti Carina Citra Dewi Joe dan Indra Rudiansyah ikut dalam tim pembuat vaksin AstraZeneca di Inggris.
Itu sekadar contoh mutakhir yang diulas media. Tak semua orang hebat diberi medali atau jadi berita utama. Daftarnya teramat panjang jika dilacak jauh ke masa lalu. Tapi sayang, tidak banyak lembaga hebat di tingkat global dalam berbagai bidang yang ditekuni orang-orang hebat itu.
Ketika tersiar berita tentang Carina dan Indra, Indonesia sedang menjadi pusat terparah pandemi Covid-19 sedunia. Tentu saja hal itu bukan salah Carina dan Indra. Sama juga bukan salah warga sebangsa yang pada bulan yang sama berbondong-bondong membeli paket wisata ke Amerika Serikat. Mereka melancong sambil mencari suntikan vaksin lain dari yang tersedia di negeri sendiri.
Tragisnya, pada waktu itu di negeri sendiri belum semua tenaga kesehatan divaksin. Sebagian dari mereka gugur sesudah disuntik dengan vaksin yang tersedia. Mereka gugur bersama hampir seribu rekan seprofesi. Berbagai ironi berlapis itu memilukan. Tapi, bukan salah individu mana pun.
Untuk mengatasinya dibutuhkan kerja sama berbagai pihak secara terlembaga yang berpuncak pada tanggung jawab negara. Namun, negara tidak berdaya jika para pejabatnya sendiri adalah sosok individu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan publik.
Contohnya, ada yang tampil secara vulgar dalam baliho raksasa di pusat kota. Dengan membajak prestasi Greysia dan Apriyani, sejumlah pejabat memasang wajah sendiri dalam ukuran besar di latar depan. Pada kasus lain, pejabat menyerobot jatah vaksinasi ketiga untuk tenaga kesehatan yang mempertaruhkan nyawa demi keselamatan publik.
Pasti ada politikus Indonesia yang berwawasan sebagai negarawan. Namun, apa daya mereka dalam pengapnya iklim politik kepartaian yang miskin wawasan? Pejabat yang melanggar hukum pun sulit dipidana. Bukan tak ada hakim, jaksa, atau polisi yang berdedikasi sebagai individu. Tapi, institusi hukum bersih, adil, independen, dan berwibawa tetap langka.
Seberapa banyak pun individu hebat tidak otomatis mengangkat harkat dan kesejahteraan bersama apabila tak ada organisasi yang rapi mengelola kekuatan mereka. Negara bisa saja dibebani utang berat dan ekonominya megap-megap. Tetapi, sebagian individu, pejabatnya kaya raya. Harta pribadi mereka tersebar di banyak benua.
Setiap tahun ribuan terpelajar Indonesia mendapat beasiswa negara untuk studi lanjut di berbagai kawasan dunia. Jumlahnya sudah puluhan ribu. Sesudah lulus dan pulang, yang melambung tinggi justru karier mereka secara individual. Bukan indeks prestasi lembaga pendidikan tinggi tempat mereka bekerja bersama.
Yang salah bukan para sarjana. Sebagai individu, mereka frustrasi. Keahlian mereka tersia-sia, entah karena birokrasi lembaga pendidikan tidak siap mengelola potensi hebat yang ada. Atau tidak berdaya menghadapi badai tekanan politik eksternal. Atau birokrasi yang ada menguntungkan individu pejabatnya. Maka, upaya perubahan lembaga akan ditolak resmi atau diboikot diam-diam.
Tanpa beasiswa, setiap tahun ada ribuan warga lain studi lanjut ke banyak negara. Mereka rela membayar mahal demi pendidikan berkualitas tinggi kelas dunia. Selain modal finansial, yang diboyong ke luar Indonesia juga modal intelektual yang memungkinkan mereka lolos seleksi masuk aneka universitas bergengsi di dunia. Eksodus massal berkelanjutan itu merugikan Indonesia.
Bukan hanya pemain bulu tangkis berbakat kelas dunia yang keluar dari Indonesia dan tersebar ke mancanegara. Ribuan profesional dari Indonesia juga bekerja sebagai tenaga ahli di berbagai kawasan dunia. Jika Indonesia kurang hebat di pentas dunia dalam berbagai bidang, penyebabnya bukan langkanya orang Indonesia yang hebat dan berkelas dunia.
Untuk mengatasi masalah itu, tidak cukup organisasi diaspora internasional. Tak cukup kampanye merayu kaum diaspora agar pulang dan mengabdi di negeri sendiri. Yang mendesak adalah perbaikan secara radikal kondisi belajar, bekerja, dan berkarier di Tanah Air sendiri sehingga orang-orang terhebat di dunia terpikat dan kerasan bekerja di sini.
Jika gagasan itu dianggap muluk, kita berharap lebih sederhana. Semoga pimpinan negara berani mengkaji ulang strategi dan kebijakan pembangunan. Misalnya untuk pendidikan, mana yang paling menguntungkan? Membiayai puluhan ribu beasiswa studi lanjut ke luar negeri? Atau memperkuat lembaga pendidikan dalam negeri, apabila perlu menggaji mahal tenaga pendidik terbaik sedunia, tak peduli negara asal mereka?
Memilih prioritas bukan berarti memilih satu dan menampik yang lain. Namun, menata strategi terbaik dari berbagai peluang dan pilihan. Mana lebih bijak: menghargai beberapa gelintir individu atlet hebat dengan banjir hadiah musiman? Atau memperkuat secara berlanjut berbagai lembaga olahraga agar menyiapkan lebih banyak calon juara dunia?
Semua yang terbahas di atas bukan melulu soal orang hebat di kelas atas dan menengah. Pekerja migran atau TKI sering disebut ”pahlawan devisa” karena besarnya dana yang mereka kirim pulang. Yang sering terabaikan publik adalah besarnya jasa TKI bagi pertumbuhan ekonomi di negara tempat kerja mereka. Jasa mereka lebih dibutuhkan dan bisa disumbangkan untuk negeri sendiri andaikan tersedia peluang sebanding.
Indonesia yang mengasuh jutaan TKI migran itu sejak lahir hingga dewasa. Pada usia produktif, hasil kerja mereka dipanen negara lain yang lebih makmur daripada Indonesia. Setelah mereka diperas nyaris habis, mereka dipulangkan. Indonesia yang merawat mereka sebagai manula.
Indonesia punya banyak orang hebat. Jutaan orang tersebar secara global. Secara individual, mereka dan negara yang ditinggalinya diuntungkan oleh globalisasi yang timpang. Ketimpangan itu semakin parah selama negara asal mereka abai. Adakah yang masih peduli?
Ariel Heryanto
Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia