Poskolonialitas Islam Nusantara
Dari aspek poskolonial, Islam Nusantara adalah cara menghadirkan Islam dalam gambaran lebih toleran, kultural, beragam, dan etnografis. Ini berbeda dengan semangat Islam rezimis yang muncul pada akhir Orde Baru.

Didie SW
Agak terkejut penulis mendengar ceramah seorang guru besar yang memberikan gambaran stigmatif dan ”tricky” tentang Islam Nusantara.
Dalam satu bagian ceramahnya, mantan rektor sebuah perguruan tinggi di Aceh itu mengatakan, pengikut Islam Nusantara (IN) tak akan mendapatkan surga.
Tentu ceramah itu kesimpulan prematur dan ceroboh.
Pertama, gagasannya mengandung ”kesesatan logis”—memakai istilah Imam Al-Ghazali: tahafuth falasifah yang menyamakan konsepsi IN sebagai konsep eskatologis dalam logika teologi-skolastik. Padahal, konsep IN ialah basis pemikiran yang menghimpun sejumlah dinamika sejarah dan kebudayaan masyarakat Indonesia, bukan tawaran konsepsi teologi-statis per se.
Nahdlatul Ulama yang menjadikan IN sebagai tema utama dalam muktamar ke-33 pada 1-5 Agustus 2015 menjelaskan bahwa IN adalah tafsir distingtif Ahlussunnah wal Jamaah di bumi Nusantara yang telah berumur ratusan tahun (Moqsith, 2016). Jadi, dia bukan sebuah fabrikasi ”rumusan teologis” yang baru diolah dan siap saji.
Kedua, konsepsi IN menjadi cara pandang diakronis atas peradaban Islam yang tumbuh di Nusantara. Menolak konsepsi IN sama dengan setuju ahistorisisme Islam—khas pemikiran wahabi—yang menolak dialektika Islam dalam sejarah non-Arab.
Melihat IN harus terhindar dari cara pandang reductio ad absurdum sehingga tak terjerembab pada kesesatan konseptual.
Sisi antropologis
Bagi penulis, IN juga bisa didekati dari aspek antropologi-etnografis, yang memperlihatkan diorama Islam di wilayah kepulauan di Asia Tenggara ini dengan kultur besar Melayu. Realitas antropologis Islam ini salah satunya diklasifikasi Geertz (1976) dengan taksonomi sosial santri, priayi, dan abangan.
Melihat IN harus terhindar dari cara pandang reductio ad absurdum sehingga tak terjerembab pada kesesatan konseptual. Dari kacamata etnografis, sejarah IN ini adalah proses yang berjalan dalam dialektika positif dengan semangat untuk mematangkan sejarah masyarakat, lewat tradisi lisan, pepatah, sastra lokal, kitab-kitab Islam lokal, dan pengetahuan ekologikal.
Sejarah Islam Nusantara
Secara genealogis, penulis melihat konsep IN tak bisa dilepaskan dari sejarah pengislaman kerajaan Hindu pertama di Nusantara: Samudra Pasai (1267-1521), yang sejak awal dilakukan dengan jalur perdagangan, diikuti adaptasi sosial, agama, dan kebudayaan. Pola migrasinya pun tak langsung dari Timur Tengah, tetapi menyebar dari pantai Coromandel dan Malabar (Azra, 2004: 5-6).
Artinya, masih ada tambang ”Hindu” yang tak terganggu oleh konflik. Modal ini berperan transformatif, yang dimulai dari Aceh, kemudian menyebar ke seluruh Nusantara dengan perjumpaan yang saling menghargai dan memajukan.
Proses dialektika itu akhirnya memberikan situasi sejarah yang produktif. Perang dan aneksasi bukan jalan yang dilakukan dalam perluasan Islam.
Baca juga : Mewujudkan Islam yang Toleran
Hilirisasi itu kemudian berkembang melalui sosok yang sangat menonjol pada abad ke-17, Syekh Abdurrauf As-Singkili (1615-1693). Abdurrauf lalu menjadi Hakim Agung (Qadhi Malik Al-’Adil) di pemerintahan empat sultanah di Aceh.
Ia ulama besar pertama Nusantara dengan pengalaman pendidikan 19 tahun di Mekkah dan Madinah. Ia menguasai dengan sangat baik ilmu-ilmu eksoteris (tafsir, hadis, fikih, dan lain-lain) dan ilmu esoteris (tasawuf dan ilmu kalam) sehingga bisa menjadikan dua kutub ilmu itu ”berjumpa dengan harmonis” dibandingkan dengan ”berkonflik”, seperti pengalaman ulama sebelumnya (Faturrahman dalam Kristanto, 2000 : 460).
Salah satu peran penting Abrurrauf ialah mendamaikan konflik yang cukup tajam antara pengikut wahdat al-wujud yang dituduh sesat dan menyimpang dengan kelompok wahdat as-syuhud yang diwakili kelompok konservatif Nuruddin Ar-Raniri. Padahal, Abdurrauf juga pemikir yang mengembangkan tasawuf wujudiyah dalam langgam lebih ”Melayu”.

Didie SW
Demikian pula kekayaan pengetahuannya dalam melahirkan konsep khas Melayu, baik dalam tafsir (Tarjuman Mustafid) maupun fikih politik (Mir’at at-Thullab) yang menjadi legitimasi atas kekuasaan penguasa perempuan di Aceh saat itu. Abdurrauf memberikan ruang tafsir lebih optimistis tentang kepemimpinan perempuan saat itu di tengah pandangan yang serba suram dan kontradiktif, dan itu pertama dalam sejarah.
Poskolonialisme Islam
Konsep IN sendiri menjadi ruang representasi baru di tengah konsep yang masih didominasi wacana ”kolonial” harus serba Arab, seperti kampanye kaum radikal, dan konservatif. Ruang itu sebenarnya bukan konten baru, apalagi jika dilihat bahwa dalam khazanah IN, banyak kesuksesan identitas lokal mengidealisasi Islam di dalam masyarakat yang majemuk dan tidak berbahasa ibu Arab.
IN menjadi upaya peneguhan konsep yang digali umat Islam dan pemikir Muslim Indonesia dalam membentuk sendiri kosakata, bahasa, studi kesarjanaan, dan standar keilmiahan yang selama ini dikonstruksikan sosiolog/antropolog asing secara kolonial.
Meski, tak sedikit antropolog Barat kontemporer yang lebih poskolonial seperti Bowen (2003, 2012) yang mengonsepsi sisi kesetaraan dan keramahan Islam di Aceh atau Bruinessen (1990, 1998) yang melihat peran honocoroko dalam menjelaskan fikih di Jawa.
Dalam konteks poskolonial, IN adalah cara menolak mode of discourse Barat yang melihat dunia Islam sebagai the other world. Para cendekiawan saat ini mencoba membangun representasi dan perlawanan pada apa yang disebut sebagai Timur (the Orient) yang terspesialisasi, pejoratif, barbar, dan keras (Said dalam Aschroft et al, 1995 : 88).
Baca juga : Islam Nusantara Tidak Mengubah Esensi Ajaran Islam
Gerakan yang dilakukan Gus Dur melalui pribumisasi Islam sesungguhnya membangun pandangan poskolonial yang sesuai dengan strategi Islam Indonesia saat itu. Keinginannya agar Islam bisa tampil otentik tanpa melulu perlu kacamata Barat atau Arab: dua kutub yang sama dilematisnya dalam membangun identitas di Indonesia.
Dari aspek poskolonial juga, IN adalah cara menghadirkan Islam dalam gambaran lebih toleran, kultural, beragam, dan etnografis. Ini berbeda dengan semangat Islam rezimis yang mulai muncul pada akhir Orde Baru dan mengikuti tren Islam politik global (Hefner, 2001). Maka tak heran, ketika Islam baru ”dihidupkan” dalam konteks momentum elektoral, ia terseret pada politik rivalitas dan stigmatisasi musuh atau kafir.

Teuku Kemal Fasya
Gerakan Islam Nusantara harus dilakukan dengan cara otentik, melalui pendidikan pesantren, diniyah, dayah, dan madrasah. Ini juga untuk menghalau berkembangnya model pendidikan virtual dan instan yang jadi ciri kaum milenial saat ini. Gerakan Islam medsos/Youtube saat ini banyak menggerogoti keberagaman dan persatuan sebagai bangsa karena ada agenda ekstremisme global di sana.
Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh; Nahdliyin Aceh.