Kecerobohan dan Kekalahan Amerika di Afghanistan
Diakui atau tidak, Amerika Serikat membuat Taliban kembali berkuasa di Afghanistan. Apa pun itu, Indonesia perlu aktif mendorong agar di bawah rezim baru, Afghanistan mau menjadi aktor penting dalam upaya perdamaian.
Joe Biden tak bisa menjilat ludahnya sendiri menyangkut ihwal penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan. Sementara permainan retorika dan sikap keras kepala mustahil menyembunyikan fakta.
Semula ia menjamin bahwa ”momen Saigon”, ketika helikopter militer AS kalang kabut melakukan evakuasi dari atap kedutaan besarnya di Vietnam pada 1975, tak terulang. Kacau balaunya evakuasi di bandara Kabul, yang kini telah memakan setidaknya 20 korban nyawa, justru jauh lebih buruk dan memalukan.
Pada 8 Juli 2021, Biden menjamin bahwa sangat kecil kemungkinan Pemerintah Afghanistan dukungan AS akan kalah oleh Taliban. Faktanya, pemerintahan itu tunggang-langgang hanya dalam sebelas hari. Presiden Ashraf Ghani lari, kantornya diduduki milisi Taliban sambil selfi.
Biden mengklaim AS telah kembali dalam kepemimpinan pentas global. Faktanya, bahkan para anggota NATO ramai-ramai mengecam keputusan unilateral AS yang dianggap sewenang-wenang mencampakkan mitra seperjuangan dan tanggung jawab kemanusiaan.
Baca juga : Amerika Pergi, Taliban Bergerak
Secara politis, Taliban kini punya kekuasaan jauh lebih besar ketimbang saat AS menginvasi Afghanistan. Secara ideologis, kemenangan ini memberi Taliban justifikasi. Secara militer, mereka mendapatkan peralatan canggih yang melimpah dengan cuma-cuma. Kelompok Islam garis keras di seluruh dunia, juga Rusia dan China, bertepuk tangan. AS dan sekutunya saling tuding melempar kesalahan.
Dari tempat pelariannya di UEA, tanpa berani menuding AS, mantan Presiden Ghani menyalahkan ”komunitas internasional”. Inggris dan anggota NATO lainnya menyalahkan AS, sementara Joe Biden menuding pemerintah dan angkatan bersenjata Afghanistan yang dianggap ”tak mau berjuang membela negerinya sendiri”.
Jika Taliban kini justru lebih kuat setelah AS menghabiskan 2,26 triliun dollar AS, lalu buat apa nyawa 2.500 tentara dan 4.000 kontraktor AS terbunuh? Di pihak Afghanistan, buat apa nyawa 70.000 petugas keamanan, (selain 51.000 milisi Taliban) dan 47.000 rakyat sipil yang telah tewas sebagai tumbal?
Ceroboh dan salah
Ashraf Ghani adalah lulusan Universitas Columbia, pernah mengajar di sejumlah kampus terbaik AS, berpengalaman kerja untuk PBB dan Bank Dunia serta mantan menteri keuangan. Di atas kertas, penulis buku Fixing Failed States: A Framework for Rebuilding a Fractured World (2008) beretnik Pashtun ini punya semua modal yang dikehendaki AS untuk membangun Afghanistan.
Sayang, di tengah 38 juta rakyatnya, kekuasaan Ghani hanya berputar-putar di dalam tembok istana. Ia gagal membangun relasi dengan daerah-daerah yang dikuasai para pentolan militer. Sementara 90 persen rakyat berpenghasilan kurang dari 2 dollar AS per hari, korupsi para pejabat pemerintahan Ghani merajalela.
Menurut Daron Acemoglu (Project Syndicate 20/8), pembangunan negara Afghanisan rancangan AS memang sudah gagal sejak awal. Kenapa?
Di tengah masyarakat heterogen yang bertumpu pada norma dan adat tradisional, pembangunan lembaga negara modern secara top down yang dijaga ketat oleh militer asing tak akan pernah menjadi bagian nyata rakyat. Semakin didesak, semakin warga Afghanistan menarik diri dan memandang dari kejauhan penuh curiga.
Di tengah masyarakat heterogen yang bertumpu pada norma dan adat tradisional, pembangunan lembaga negara modern secara top down yang dijaga ketat oleh militer asing tak akan pernah menjadi bagian nyata rakyat.
Lembaga dan aparat negara dilihat sebagai barang asing yang gagal mendapat dukungan. Tanpa legitimasi publik, birokrasi akhirnya hanya berfungsi mematuhi penguasa ketimbang melayani rakyat. Keterputusan hubungan dengan rakyat ini akhirnya membuka ruang praktik korupsi yang amat besar, terutama dalam bidang militer.
Angkatan bersenjata Afghanistan bukan tak punya kemauan membela negaranya seperti dituduhkan Biden. Lalu kenapa 300.000 anggota pasukan (termasuk 7.000-an personel angkatan udara) Afghanistan yang didukung pelatihan, dana melimpah, dan senjata supercanggih AS menyerah menghadapi 70.000 milisi Taliban?
Pemerintah AS sudah lama diperingatkan oleh SIGAR, USIP, dan lain-lain bahwa lebih dari separuh jumlah pasukan Afghanistan adalah ghost personnel, ada nama tapi tak ada orangnya. Daftar nama yang besar itu hanya akal-akalan pejabat dan pentolan militer untuk memanen gaji, buat memperkaya diri. Dalam versi BBC, jumlah riil tentara Afghanistan bahkan mungkin hanya 50.000! Monopoli pasokan kebutuhan pangkalan militer dan semacamnya juga ada di tangan pejabat dan kroni mereka.
Baca juga : Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan
Sementara gaji nyata para petugas keamanan yang aktif sangat rendah, malah kerap macet berbulan-bulan. Koordinasi antarwilayah sangat buruk, kiriman logistik tersendat. Di daerah terpencil yang rawan, pasukan justru kerap kekurangan amunisi. Sekitar 60 persen petugas itu juga tak bisa membaca. Bagaimana pasukan seperti itu punya kekuatan bertempur dan berjuang demi apa?
Pejabat di Washington DC bukan tak paham. Sejak 2011 bahkan ada kesepakatan antarlembaga AS untuk tak mengotak-atik perkara korupsi di Afghanistan. Para politisi lebih sibuk mencari fakta yang bisa dipamerkan sebagai bukti keberhasilan ketimbang melihat kenyataan.
Meski negara dirugikan, seperti dilaporkan Incercept, toh para kontraktor industri pertahanan AS yang bersekongkol dengan para politisi telah mengeruk keuntungan berlipat ganda selama dua dekade. Semua ini berkontribusi menggiring kegagalan dan kekalahan AS. ”Amerika punya jam, tapi Taliban menguasai waktu,” begitu kata orang-orang Taliban.
Masa depan Afghanistan
Enam setengah juta pengungsi kemungkinan perang saudara, kelaparan akibat kekeringan jadi momok warga Afghanistan. Secara de facto, Taliban kini adalah penguasa mereka. Amerikalah yang menggiringnya demikian. Proses ini berlangsung jauh sebelum pemerintah Ashraf Ghani menyerah.
Di masa Obama pada 2010, Abdul Ghani Baradah, seorang pendiri dan pemimpin politik Taliban, ditahan di penjara Pakistan atas permintaan CIA. Namun pada 2018 di bawah Trump, AS meminta Pakistan melepaskan Baradah.
Demi memuluskan rencana penarikan pasukan AS oleh Trump, kehadiran Baradah dibutuhkan sebagai wakil Taliban dalam perjanjian damai dengan AS. Itulah yang terjadi pada Februari 2020 di Doha. Ashraf Ghani bahkan tak dilibatkan dalam perjanjian ini.
Diakui atau tidak, AS yang membuat Taliban kembali berkuasa di Afghanistan.
Baru-baru ini, Direktur CIA bertemu secara rahasia dengan Baradah di Kabul. Diakui atau tidak, AS yang membuat Taliban kembali berkuasa di Afghanistan.
Taliban telah mendeklarasikan amnesti untuk semua orang. Mereka berjanji akan membentuk pemerintahan inklusif, menjamin kebebasan pers, dan hak-hak perempuan, termasuk dalam pendidikan dan pekerjaan. Namun, mayoritas pengamat dan aktivis skeptis. Semua itu dianggap sebagai retorika untuk menarik simpati buat melancarkan urusan.
Media Barat memang terus mereproduksi citra Taliban yang berwajah tunggal, bengis, tak punya pikiran dan perasaan, tanpa sejarah, tak punya masa lalu atau masa depan. Betapa pun, Taliban lahir dari rahim kemiskinan, penindasan, dan perang saudara yang berlarut.
Baca juga : Ratapan untuk Afghanistan
Kemiskinan telah membuka pintu bagi komunisme di Afghanistan yang berhasil menggulingkan dan membunuh Presiden Sardar Mohamed Daoud dan keluarganya dalam Revolusi berdarah April 1978. Ketika Partai Komunis secara brutal membantai para ulama dan pemuka Muslim, kelompok Mujahidin muncul untuk mendirikan negara Islam Afghanistan.
Rusia yang cemas melihat konfik Mujahidin lawan partai komunis segera melakukan invasi, 1979-1989. Satu juta warga sipil terbunuh, dua juta mengungsi. Perang saudara sesama Muslim pecah ketika Mujahidin merebut Kabul yang masih di bawah komunis hingga 1992.
Taliban yang berdiri pada 1994 lalu mengambil alih Kabul dan menggantung Presiden Najibullah pada 1996. Ketika berkuasa, Taliban adalah rezim yang penuh amarah dan dendam berjubah Islam. AS datang mengusir Taliban pada 2001 hingga 20 tahun kemudian.
Taliban berubah atau tidak, faktalah yang akan membuktikan. Taliban yang dahulu keji adalah produk sejarah. Ia bisa dan perlu diberi kesempatan berubah. Apalagi kini umur rata-rata penduduk Afghanistan adalah 18 tahun. Selain tak mengalami kekuasaan Taliban, mereka telah terbiasa menikmati iklim terbuka.
Jika Taliban tak berubah, generasi muda inilah musuh utamanya. Tapi bukankah generasi utama Taliban pun tak sama dengan mereka yang berkuasa 20 tahun silam?
Baca juga : Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia
Kemenangan Taliban dirayakan kelompok Islam radikal, termasuk di Indonesia. Kita perlu mengambil langkah taktis. Kita tidak perlu antipati menganggap Taliban mustahil berubah. Selain tak berdampak pada situasi Afghanistan, sikap itu justru bisa blunder menghadapi gerakan radikal di dalam negeri.
Ketimbang meributkan soal pengakuan terhadap Taliban, lewat diplomasi dan inisiatif dialog, Indonesia perlu aktif mendorong agar di bawah rezim baru, Afghanistan mau menjadi aktor penting dalam upaya perdamaian, regional maupun global. Kita punya kapasitas, reputasi, peluang, dan tanggung jawab strategis untuk ditunaikan.
Achmad Munjid
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM