Kita jelas tidak boleh gegabah dalam mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi. Namun, di sisi lain, tidak boleh kelewat santai dalam proses untuk menyamakan persepsi dalam proses pengesahan RUU tersebut.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pengesahan Undang-Undang Keamanan Data adalah langkah strategis terbaru dari China. Negara itu dengan tegas melindungi warganya, termasuk kepentingan China, dari berbagai pihak.
China jelas tidak mau sekadar menjadi pasar ketika warganya ditawari berbagai produk sebagai ekses dari penyalahgunaan data konsumen. Data konsumen China kebetulan sangat besar. Pengguna internet di China telah menembus angka 900 juta orang, hampir 20 persen dari pengguna internet dunia.
Dengan pasar yang begitu besar, selama beberapa dekade terakhir, berbagai perusahaan multinasional telah menggarap pasar China. Kini, perusahaan-perusahaan itu harus menyesuaikan diri dengan regulasi itu atau menghadapi sanksi dengan ancaman terberat seperti penutupan bisnis.
Pengesahan regulasi baru itu begitu terasa. Pengetatan pengiriman data lintas negara langsung ditanggapi oleh sejumlah perusahaan. Tesla, Ford, dan BMW adalah contoh dari perusahaan multinasional yang telah berkomitmen akan membuka pusat data di China. Pembangunan pusat data di tanah China, tentunya wujud investasi modal asing di China.
Beriringan dengan UU Perlindungan Data Pribadi, UU Keamanan Data China menjadi produk hukum terbaru China pada tahun 2021 ini. China sebelumnya juga begitu aktif merespons perkembangan zaman dengan menerbitkan berbagai regulasi. Baru tahun 2017 lalu, negara itu menerbitkan UU Keamanan Siber.
Gerak cepat dari China sangat kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi seolah tidak berujung. Secara bersamaan, kebocoran data terus terjadi. Kebocoran data, bahkan di minggu ini, diduga terjadi pada aplikasi e-HAC.
Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi seolah tidak berujung. Secara bersamaan, kebocoran data terus terjadi.
Dalam sistem pemerintahan kita, sayangnya tidak ada tenggat terhadap penyusunan sebuah regulasi. Ketika terjadi perbedaan pendapat terkait sesuatu hal dalam RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU itu tidak dapat pula disahkan secara parsial. Kerugian demi kerugian pun terjadi dari hari ke hari.
Walau demikian, tidak boleh ada pemaksaan terhadap perbedaan prinsip dalam penyusunan RUU Perlindungan Data. Apalagi, data tidak hanya dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi, tetapi juga dalam aktivitas politik, yang memuncak pada tahun 2024.
Dengan demikian, kita jelas tidak boleh gegabah dalam mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi. Namun, di sisi lain, tidak boleh kelewat santai dalam proses untuk menyamakan persepsi dalam proses pengesahan RUU tersebut.
Pembahasan secara maraton dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan masukan dari masyarakat sipil. Penyegaran terhadap isu ini dapat pula dilakukan dengan menengok regulasi di negara-negara dengan sistem pemerintahan yang serupa dengan di Indonesia.
Belajar dari China mungkin juga baik. Walau China, dengan sistem kekuasaan dan pemerintahannya yang berbeda dengan Indonesia, kerap mempunyai keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan Indonesia, bahkan dibandingkan dengan negara adidaya lainnya.