Daulat rakyat tak akan terwujud hanya karena ungkapan romantik-retorik semata. Kelengahan rakyat memilih pengelola kekuasaan negara akan berakibat rakyat menuai derita dan sengsara.
Oleh
J Kristiadi
·3 menit baca
Derajat kemuliaan suara rakyat dijunjung tinggi setara kuasa ilahiah. Mantranya, suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Suara rakyat yang disunggi sedemikian tinggi dipercayakan kepada para wakil rakyat dan penguasa negara yang lain. Rakyat mengganjar mereka martabat, kehormatan, dan otoritas politik agar kekuasaan dikelola guna mewujudkan kesejahteraan bersama. Rakyat mempertaruhkan nasib dan masa depannya kepada mereka. Pertanyaannya, mengapa praktik demokrasi di Indonesia semakin rapuh?
Beberapa bulan terakhir, eskalasi kritik terhadap praktik demokrasi kian melengking. Pemantiknya polemik penghapusan mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan ”404: Not Found” (Kompas, 18/8/2021). Kritik juga datang dari The Economist (21/8/2021), demokrasi semakin melemah di era Jokowi. Penilaian panjang lebar disampaikan LP3ES dalam buku Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi. Suara senada, Democratic Deconsolidation in Southeast Asia (Marcus Mietzner, 2021).
Suara miring masyarakat domestik dan internasional terhadap praktik daulat rakyat sangat absah karena virtue yang melekat dalam demokrasi; rakyat adalah pemegang kedaulatan, berhak mengoreksi praktik demokrasi yang melenceng dari cita-cita mulia. Nilai itu yang menjadikan demokrasi digandrungi banyak negara; rakyat leluasa memperbaiki kesalahannya sendiri, antara lain, melalui kebebasan bersuara, berpendapat, serta melakukan perdebatan terbuka guna membangun opini untuk menekan pengelola negara yang menyalahgunakan kekuasaan. Usia kritik lahir bersama kehadiran demokrasi itu sendiri.
Jawaban klasik pertanyaan di atas, melaksanakan daulat rakyat sangat memerlukan pengelola kekuasaan yang mempunyai kualitas kompetensi moral, kepemimpinan, pengetahuan, serta kemampuan manajerial prima.
Proses pemilihan calon penguasa sangat rumit; memerlukan kegigihan, keuletan, serta stamina untuk mendapatkan pemimpin yang mengabdi rakyat. Oleh sebab itu, daulat rakyat tak akan terwujud hanya karena ungkapan romantik-retorik semata. Kelengahan rakyat memilih pengelola kekuasaan negara akan berakibat rakyat menuai derita dan sengsara.
Sementara itu, penguasa juga amat pintar mencumbu rakyat dengan kata-kata muluk guna membius dan merenggut daulat rakyat. Misalnya, salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat, hukum tertinggi), oleh penguasa ditambah kata-kata princeps legibus solutus est (tetapi raja tidak terikat undang-undang). Jampi-jampi keselamatan rakyat dengan mudah ditaklukkan sabda penguasa.
Aforisme lainnya, manunggaling kawula-gusti, bersatunya rakyat dengan raja. Tetapi, karena raja merasa lebih hebat dan bermartabat dibandingkan rakyat, ungkapan itu dipelesetkan dengan menambah anak kalimat; ”tetapi rajalah yang tahu, apa itu kehendak rakyat”. Melalui silat kata, penguasa membegal kedaulatan rakyat. Aturan hanya berlaku bagi kawulo, bukan penguasa. Para petualang politik semakin leluasa mengobrak-abrik tatanan kekuasaan yang memuliakan manusia.
Praktik demokrasi kumuh dengan limbah yang diproduksi elite politik kemaruk kekuasaan; sehingga politik uang dan politik dinasti merajalela, politisasi birokrasi menjadi-jadi, korupsi mewabah. Praktik destruktif dirasa sebagai hal biasa karena pelaku sudah mati rasa.
Dalilnya, soko guru demokrasi universal adalah kesetaraan, partisipasi, dan representasi. Ketiganya merupakan elemen konstitutif; kehadiran dan pengejawantahannya absolut. Demokrasi juga memutlakkan penguatan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Mengingat setiap negara punya keunikan sendiri, praktik demokrasi wajib menyesuaikan diri dengan konteks sosial, adat istiadat, dan budaya setempat. Namun, ketiga prinsip itu tak boleh dikompromikan, apalagi disalahgunakan.
Kritik demokrasi yang membuncah harus dijadikan momentum menata ulang tatanan politik secara fundamental agar sesuai asas daulat rakyat. Penyelamatan demokrasi dimulai dari institusi yang paling rendah kadar kredibilitasnya di mata publik. Parpol selalu jadi pelanggan setia juara kelas bawah dalam peringkat tingkat kepercayaan, berlawanan secara diametral dengan gengsinya sebagai pilar demokrasi.
Maka, prioritas menyelamatkan demokrasi ialah mendorong parpol agar menemukan identitas jati dirinya sebagai penjaga gawang demokrasi yang tangguh, bukan sekadar perabot pemilik modal dan bandar politik yang membangun imperium kekuasaan.
Masyarakat sipil juga harus merawat dan memperkuat stamina agar punya daya tahan prima karena perjuangan merawat daulat amat panjang dan melelahkan. Dalam pertarungan kepentingan kekuasaan, suara rakyat pasti menang karena suara Tuhan selalu berjaya melawan kuasa durhaka. Rakyat Indonesia dilarang putus asa dan wajib terus gigih berjuang memperkuat institusi demokrasi sebagai sarana terwujudnya kesejahteraan rakyat.