Demokrasi dan Kapitalis Otoritarianisme
Kapitalisme negara menjadi fenomena baru, ketika BUMN menjadi pendorong pembangunan baru menuju tingkatan multinasional berhadapan dengan multinasional swasta.
“Salut kepada Duta Demokrasi” tulis sebuah poster 32 tahun lalu di tengah Lapangan Tiananmen menyambut kedatangan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) Mikhail Gorbachev, tanggal 15 Mei 1989.
Dua pekan kemudian, unjuk rasa pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen yang sudah berlangsung lebih dari satu bulan, ditumpas Tentara Pembebasan Rakyat (TPR), menjadi bagian dari sejarah kelam China modern yang menelan korban sampai ribuan orang di seluruh RRC.
Dalam kurun tiga dekade ini, tidak bisa dimungkiri unjuk rasa pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen telah memberikan inspirasi luas serta mendalam tentang demokrasi dan perjuangan rakyat melawan kekuasaan otoriter dan korup. Lima bulan kemudian, 9 November 1989, Tembok Berlin yang didirikan oleh kekuasaan kediktatoran Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur), rontok. Simbol pemisah komunisme dan kapitalisme terjungkal diikuti tumbangnya kekuatan komunisme di negara-negara Pakta Warsawa.
Unjuk rasa pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen sebenarnya mengacu pada upaya Gorbachev memperkenalkan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (reformasi), ke luar dari Doktrin Brezhnev yang menentukan berbagai kebijakan di Eropa Timur mengikuti kendali politik Moskwa. Secara tak langsung, Tiananmen menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan otoriter belasan tahun kemudian, dengan rontoknya Orde Baru di Indonesia, Gerakan Musim Semi di Mesir, Gerakan Payung Kuning di Hongkong, Gerakan Bunga Matahari di Taiwan, dan lainnya.
Dalam kunjungannya ke Beijing tahun 1989 itu, Gorbachev kepada para pemimpin China berbagi pengalaman menghadapi gelombang unjuk rasa yang sudah dimulai setahun sebelumnya, ketika kaum buruh pelabuhan Polandia di kota Gdańks melancarkan Gerakan Solidarność (Solidaritas) sebagai sebuah serikat perdagangan yang anti-birokrasi. Gorbachev dalam kunjungannya mengatakan, reformasi ekonomi tak akan berjalan kalau tak didukung transformasi radikal sistem politik.
Gorbachev dalam kunjungannya mengatakan, reformasi ekonomi tak akan berjalan kalau tak didukung transformasi radikal sistem politik.
Pidato Gorbachev di depan para apparatchik Partai Komunis China (PKC), dan tak pernah disiarkan oleh pemerintah China, menjelaskan kenapa Uni Soviet lama di bawahnya mengadakan pemilihan umum sebagai sesuatu yang langka bagi negara komunis. Langkah Moskwa ini diikuti oleh banyak negara sosialis lain dengan mengembangkan kemerdekaan berpendapat, perlindungan hak asasi, dan demokrasi.
Kekuatan sentrifugal
Praktik politik Gorbachev akhirnya membawa keruntuhan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Jerman Timur bubar. Uni Soviet lama, terpecah menjadi 15 negara yang berdaulat. Kekuasaan tangan besi harus tunduk pada kehendak rakyat, dan demokrasi menjadi prasyarat untuk dipatuhi bagi siapa saja yang ingin berkuasa.
Pertanyaannya kenapa demokrasi akhirnya membubarkan persatuan dan kesatuan Uni Soviet lama? Kenapa China sekuat tenaga ingin membunuh tumbuhnya demokrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989?
Bagi Sekjen PKC Xi Jinping yang juga menjabat sebagai presiden RRC, kekuatan sentrifugal globalisasi ke arah demokrasi menjadi perhatian khusus. Tanpa bosan, para diplomat dan akademisi China menekankan, dunia tak bisa dibalikkan ke arah suasana Perang Dingin.
Narasi Xi Jinping mengenai masalah ini pun ditekankan terus-menerus, terutama terkait etnik minoritas yang menikmati kebijakan pembangunan yang diterapkan Beijing. “Pembangunan memang menjadi prioritas utama kita dan menjadi dasar tercapainya keamanan yang berkesinambungan,” kata Xi dalam pidato internal. “Adalah salah kalau kita percaya bahwa dengan pembangunan semua persoalan bisa terselesaikan dengan sendirinya.”
Mengacu pada pengalaman Uni Soviet, Xi percaya yang terjadi malah sebaliknya. Menurut Xi, bubarnya PKUS disebabkan oleh korupsi politik, klenik ideologis, dan disloyalitas militer.
Tanpa disadari, Xi Jinping menekankan reposisi RRC untuk tetap setia kepada sosialisme berkarakteristik China, sekaligus membuktikan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat bisa berlangsung tanpa demokrasi. Ini yang selalu didengungkan sebagai sosialisme berkarakteristik China.
Xi sendiri tadinya diharapkan akan menjadi semacam “Gorbachev”-nya China. Tapi, selama delapan tahun terakhir ini, kekuasaannya makin mencekam, melihatkan ciri otoritarian, dan membungkam secara menyeluruh semua sumber kebebasan suara, berpendapat, menjadi individu kaya, dan sebagainya.
Rusia pasca Gorbachev pun membentuk jati dirinya sendiri melalui jalan berliku yang menyakitkan akibat kehilangan kedaulatan di 15 negara-negara Soviet lama, dan sering kali berdarah-darah menelan nyawa manusia. Sosok Presiden Vladimir Putin adalah bagian dari sebab akibat mencari jati diri Rusia yang sebenarnya meneguhkan kembali eksistensi kekuasaan Romanov sebagai kekuatan global dengan lingkup pengaruh luas di daratan Eropa dan Asia Tengah.
Otoritarianisme Putin muncul melalui kontemplasi panjang dan rumusan dasar pemikiran, melalui gagasan ideolog Kremlin Vladislav Surkov yang merumuskan Rusia di abad ke-21 harus membangun apa yang disebut suverennaya demokratiya (demokrasi kedaulatan). Apa yang dimaksud dengan demokrasi kedaulatan sendiri tidak jelas, intinya membentuk peran negara Rusia dan perekonomiannya dengan membebaskan diri dari ketergantungan pada negara-negara Barat.
China dan Rusia selalu menekankan hak setiap negara memilih sistem politiknya sendiri, termasuk preferensi politik otoriter dikemas dengan ekonomi kapitalis.
Keunikan identitas
Vladislav Surkov berpendapat, agar Rusia benar-benar berdaulat dan mampu membela kepentingannya sendiri di dunia, Rusia tidak boleh berada di bawah pengaruh perusahaan asing, investor asing, atau LSM asing. Para elite di negaranya harus menjadi bagian intrinsik Rusia yang akbar.
Dalam proses ini, Rusia harus mendapatkan kembali kendali strategis sumber dayanya yang paling berharga, minyak dan gas, yang sebelumnya diperoleh perusahaan-perusahaan asing dari saham perjanjian kemitraan ketika pada 1990-an Rusia membutuhkan mata uang asing bagi perekonomiannya.
Artinya, walaupun terjadi kekuatan sentripetal gelombang globalisasi, Rusia harus mempertahankan keunikan identitasnya dan kepentingan nasional di atas segala persoalan maupun kekhawatiran lain dalam pembangunannya.
Dalam konteks ini, baik Moskwa dan Beijing memandang upaya menyebarkan demokrasi dilihat sebagai upaya memperluas pengaruhnya di luar negeri dengan memasang rezim bersahabat menjadikan demokrasi sebagai daun ara.
China dan Rusia selalu menekankan hak setiap negara memilih sistem politiknya sendiri, termasuk preferensi politik otoriter dikemas dengan ekonomi kapitalis. Gagasan ini dikembangkan oleh Rusia melalui gaya pemikiran Surkov tentang hak menempuh jalannya sendiri menuju demokrasi tanpa campur tangan asing.
Di China, gagasan Xi Jinping dikemas dalam apa yang disebut renlei mingyun gongtongti (komunitas masa depan bersama bagi umat manusia), sebagai metastasi dari pemikiran dasar komunisme tentang sama rata sama rasa.
Bagi Indonesia, sulit menerima gagasan komunitas masa depan berkarakteristik China yang dimasukkan dalam komunike Mekanisme Kerja Sama Dialog Tingkat Tinggi Indonesia-China di Guiyang, Provinsi Guizhou, awal bulan lalu. Apa lagi melakukan konsolidasi solidaritas strategis untuk membangun komunitas masa depan bersama yang condong menjadi propaganda RRC dalam upaya menjadi kekuatan hegemoni dunia lewat proyek gigantik Satu Sabuk Satu Jalan (OBOR).
Ada beberapa alasan. Pertama, komunitas bersama yang disebut sosiolog Austria Otto Bauer tahun 1924 sebagai Schicksalsgemeinschaft, dibayangkan sebagai komunitas dengan nasib atau takdir yang berbagi sejarah, melalui proses penataan sosial yang sama menuju apa yang disebut komunitas “mnemonik”, komunitas yang dibentuk melalui memori kolektif bersama.
Jelas bahwa Indonesia dan China memiliki memori kolektif berbeda, termasuk di dalamnya pembekuan hubungan diplomatik setelah peristiwa berdarah 1965.
Kedua, meminjam analisis Karl Marx yang menyebutkan, sejarah dengan sendirinya ditransformasikan menjadi sejarah bagi dirinya sendiri, sebagai proses dari reproduksi sosial pada kondisi-kondisi khusus mencapai kepentingan kolektif tertentu.
Menurut Marx, kenyataan hubungan sosial dan ekonomi aktual kehidupan sehari-hari diciptakan sebagai imajiner sosial atas dasar ideologi hubungan sosial dengan bentangan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Baca juga : Konsolidasi Hadapi AS-Eropa, Beijing-Moskwa Perpanjang Perjanjian Kerja Sama
Kapitalisme negara
Akibatnya, timbul dilema di antara negara-negara yang sedang membangun tentang pilihan pembangunan di bidang ekonomi dan demokrasi atau otoriter di bidang sosial-politik. Celakanya, kapitalisme ternyata tak hanya jadi kekuatan inti negara-negara demokratis, tapi juga menjadi sukma penting dalam negara-negara otoritarian.
Kapitalisme negara menjadi fenomena baru, ketika BUMN menjadi pendorong pembangunan baru menuju tingkatan multinasional berhadapan dengan multinasional swasta.
Persaingan di China berubah menjadi monopoli. Mengikuti rumusan ekonom Austria, Joseph Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism and Democracy (1942), kapitalisme dikutuk oleh logikanya sendiri. Sistem kapitalis bergantung pada suksesi kesinambungan para pengusaha yang mencopot perusahaan-perusahaan mapan— proses yang disebut Schumpeter “penghancuran kreatif.”
Namun, akhirnya Schumpeter melihat, inovator kemarin menjadi monopolis hari ini dan belajar menggunakan tuas kekuasaan mencegah inovasi lebih lanjut. Pertumbuhan berkurang, publik yang tak puas menuntut perlindungan kesejahteraan dari negara dan pembatasan aktivitas kewirausahaan. Kapitalisme, yang dirampas pertumbuhannya perlahan berubah jadi sosialisme. Ini fenomena yang kita lihat di China.
Baca juga : China dan Rusia Sepakat Perhatikan Moderasi di Afghanistan
Pada saat yang bersamaan, apa yang disebut perang dagang dalam persaingan AS-China, secara ironis memberikan persepsi dan gambaran yang sama buruknya. Di AS dan China, ketidaksetaraan menjadi meluas dan mendalam, perusahaan manufaktur menggeser pabriknya ke negara-negara dengan upah lebih rendah, kerusakan lingkungan menjadi tidak terkendali, dan mimpi bangkitnya kekuatan kelas menengah menjadi mustahil menghadapi kegentingan di mana-mana di tengah pandemi sekarang ini.
Mungkin suatu hari persaingan global ini akan membuat para pemimpin China merenungkan lebih dalam tentang sumber kemakmuran dan inovasi yang sebenarnya dan membuka sistem mereka untuk pertukaran ide yang lebih bebas.
Lagi pula, keberhasilan luar biasa partai komunis bukan berasal dari komunismenya tetapi dari kemampuannya untuk menyesuaikan pasar bebas dengan situasi China.
René L Pattiradjawane Wartawan Senior