Beban KPK memberantas korupsi akan sangat berat jika pimpinannya terbukti kotor di mata publik. Ibaratnya, jika ingin membersihkan lantai, jangan gunakan sapu yang kotor.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Putusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjatuhkan vonis ringan terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengoyak rasa keadilan.
Putusan ringan, potongan gaji 40 persen selama 12 bulan, tidak sebanding dengan perilaku Lili. Lili pantas diminta mundur sebagai Wakil Ketua KPK karena sebenarnya secara moral dan etik, bisa saja dia telah kehilangan legitimasi sebagai unsur pimpinan KPK.
Tindakan Lili menghubungi pihak yang beperkara di KPK, mengarahkan untuk mencari penasihat hukum, adalah tindakan yang sulit diterima akal sehat. Berdasarkan temuan Dewan Pengawas KPK, Lili terbukti menghubungi Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial dan menginformasikan ada perkara Syahrial di KPK. Lili lalu mengarahkan Syahrial untuk mencari penasihat hukum yang dirujuknya. Temuan lain, Lili juga menggunakan pengaruhnya untuk memperjuangkan uang jasa bagi kerabatnya yang pernah menjadi pelaksana tugas Direktur Utama PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai.
Tindakan Lili bukan hanya pelanggaran etika, melainkan juga berpotensi pidana dalam Pasal 36 UU KPK yang menyebutkan pimpinan KPK dilarang berhubungan dengan pihak yang beperkara. Ada ancaman hukuman lima tahun penjara. Perkara itu patut diduga ada unsur pidananya.
Terhadap pelanggaran berat itu, Lili dijatuhi hukuman potongan gaji pokok 40 persen selama setahun. Dengan gaji pokok Wakil Ketua KPK Rp 4,6 juta, penghasilan Lili hanya berkurang Rp 22,08 juta selama setahun. Ia masih menerima penghasilan sekitar Rp 89 juta per bulan. Sangat ringan.
Vonis ringan itu tentunya akan menjadi beban berat bagi KPK. Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri juga dihukum ringan oleh Dewan Pengawas KPK karena menggunakan helikopter saat pulang ke kampung halaman. Dengan dua unsur pimpinan KPK yang sudah dibuktikan melanggar etik, kredibilitas lembaga hasil reformasi ini berpotensi runtuh di mata publik.
Belum lagi ditambah dengan kenyataan, pegawai KPK yang telah berjuang memberantas korupsi dan bertaruh nyawa ketika membongkar korupsi akan diberhentikan oleh pimpinan KPK dengan alasan tidak memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara. Mereka divonis tidak lolos tes wawasan kebangsaan dalam sebuah proses yang menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) melanggar HAM.
Tindakan Lili menghubungi pihak yang beperkara di KPK, mengarahkan untuk mencari penasihat hukum, adalah tindakan yang sulit diterima akal sehat.
Publik dengan sederhana menyimpulkan, pegawai KPK yang telah berjibaku memberantas korupsi diberhentikan. Sementara pimpinan KPK yang membocorkan informasi penyelidikan/penyidikan kasus korupsi yang dikerjakan anak buahnya hanya dipotong gaji. Terasa amat sangat tidak adil.
Daripada menjadi beban sejarah dan beban KPK, dan demi sikap bertanggung jawab, langkah mundur sebagai pimpinan KPK merupakan pilihan terbaik. Beban KPK memberantas korupsi akan sangat berat jika pimpinannya terbukti kotor di mata publik. Ibaratnya, jika ingin membersihkan lantai, jangan gunakan sapu yang kotor.