Mengembangkan Tenaga Kerja Konstruksi yang Berdaya Saing
Kualitas tenaga kerja konstruksi di Indonesia yang masih rendah bisa berdampak pada kualitas produk konstruksi. Perlu akselerasi peningkatan kualitas tenaga kerja konstruksi, terutama untuk menghadapi era otomatisasi.
Oleh
RIZKY ANANDA PUTRA
·6 menit baca
Selama ini Kementerian PUPR mendapatkan porsi anggaran yang besar dalam membangun infrastruktur. Pada Tahun Anggaran 2021, Kementerian PUPR mendapat porsi anggaran sebesar Rp 149,8 triliun. Meskipun baru-baru ini sempat mengalami refocusing anggaran sebesar Rp 17,99 triliun, menjadi Rp 131,82 triliun, jumlah ini tetap besar.
Anggaran yang besar tersebut diharapkan mampu mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah lesunya kondisi ekonomi akibat pandemi. Oleh karena itu Kementerian PUPR terus berupaya melanjutkan program pembangunan infrastruktur baik pada bidang jalan dan jembatan, sumber daya air, maupun permukiman dan perumahan sebagai upaya peningkatan daya saing bangsa serta menjadi stimulus sektor riil untuk survive di masa pandemi Covid-19.
Transformasi dan akselerasi pembangunan infrastruktur membutuhkan kualitas tenaga kerja konstruksi yang andal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) pada 2017, tenaga konstruksi didominasi pekerja tukang atau pembantu tukang, yakni sebanyak 74 persen. Apabila ditarik rentang tahun 2015 hingga 2019, tenaga kerja konstruksi masih didominasi lulusan SMA ke bawah, yakni sebesar 70 persen dari total tenaga kerja konstruksi (BPS, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi tenaga konstruksi perlu mendapat perhatian karena produktivitas SDM akan mempengaruhi kinerja pembangunan infrastruktur.
Era Revolusi 4.0 dan Society 5.0 saat ini juga menjadi tantangan bagi sektor jasa konstruksi. Dinamika era tersebut menciptakan shifting keahlian yang mengharuskan penyesuaian penerapan teknologi dalam proses bisnis yang dijalankan.
Kondisi ini pernah disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Dewi Chomistriana, yang mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran kebutuhan SDM di sektor jasa konstruksi. Komposisi tenaga kerja 53 persen yang didominasi lulusan sipil pada 2019 menjadi tantangan bagi Kementerian PUPR. Urgensitas ini semakin besar mengingat sektor jasa konstruksi sudah mulai melakukan perencanaan dan pengadaan melalui sistem elektronik dan mulai mengurangi cara-cara konvensional.
Apabila ditinjau pada konteks sertifikasi, telah terjadi ketimpangan antara jumlah pekerja konstruksi yang telah dan belum bersertifikasi (Ikatan Nasional Konsultan Indonesia, 2020). Berdasarkan data BPS (2020), jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia mencapai 8.066.497 pekerja, namun hanya 9,65 persen pekerja yang bersertifikat, tepatnya sebanyak 778.472 orang. Komposisi ini terdiri dari tenaga ahli dan tenaga terampil, dengan dominasi tenaga terampil.
Ketimpangan ini perlu menjadi catatan karena sertifikasi memberikan jaminan terhadap kualitas, kemampuan kerja, dan keterampilan tenaga kerja konstruksi. Dan pada akhirnya akan berdampak pada output produk konstruksi yang sesuai dengan standar kualitas.
Berdasarkan kondisi geografis, persebaran tenaga kerja konstruksi di Indonesia belum merata. Mengacu pada BPS (2020), tiga besar provinsi di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja konstruksi terbanyak adalah Jawa Barat (1.520.534), Jawa Timur (1.408.363), dan Jawa Tengah (1.404.435).
Berdasarkan kondisi geografis, persebaran tenaga kerja konstruksi di Indonesia belum merata.
Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Taufik Widjoyono (2021), mengatakan, para pekerja konstruksi di Indonesia didominasi oleh para pekerja konstruksi asal Pulau Jawa (56 persen), yang selama ini dipercaya mengerjakan proyek besar yang bersifat strategis nasional. Ini akan berdampak pada rendahnya ketercapaian pemerataan pembangunan infrastruktur khususnya luar Pulau Jawa.
Mengacu pada indeks daya saing infrastruktur 2019, Indonesia mengalami penurunan peringkat yang siginfikan, dari peringkat 34 pada tahun 2014-2015 menjadi peringkat 50. Bahkan apabila dibandingkan dengan kawasan ASEAN, indeks daya saing infrastruktur masih tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Oleh karena itu, tenaga kerja konstruksi perlu mendapat perhatian lebih sebagai katalis terwujudnya pembangunan infrastruktur berkelanjutan yang diharapkan mampu memulihkan perekonomian di tengah pandemi.
Akselerasi kurikulum program sertifikasi
Tenaga kerja konstruksi tidak hanya dituntut tangkas dan andal dalam mengerjakan pekerjaan lapangan, tetapi juga wajib memahami aturan mulai dari Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) hingga penggunaan teknologi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) demi menghasilkan infrastruktur yang bermutu. Kompetensi tersebut dapat diperoleh salah satunya dengan mengikuti program pelatihan dan sertifikasi sebagai rekognisi dan legitimasi kompetensi yang dimiliki.
Dalam mewujudkan pembangunan infrastruktur yang berdaya guna, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) telah menyusun program kerja, sertifikasi, dan pengembangan tenaga kerja konstruksi yang profesional. Program sertifikasi mampu menjadi katalis dari gap jumlah tenaga konstruksi yang telah tersertifikasi dan belum tersertifikasi.
Meskipun tahun 2021 terhambat pandemi, sertifikasi dapat dilakukan melalui blended learning. Pelatihan yang dikerjakan secara daring dapat dioptimalkan melalui virtual learning, sedangkan pelatihan yang mengharuskan terjun lapangan dapat dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Metode blended learning diharapkan mampu memperbanyak jumlah tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi, dan menekan biaya yang menjadi hambatan sertifikasi selama ini.
Pengembangan Continuing Professional Development (CPD) juga diperlukan dalam akselerasi program sertifikasi untuk membentuk tenaga kerja konstruksi yang mampu meningkatkan dan memperluas kompetensi secara mandiri. Harapannya, dengan penggabungan program ini dapat semakin memperkuat portofolio, lifelong learning, self-evaluation, serta innovation and change pada setiap tenaga kerja konstruksi.
Injeksi pendekatan teknologi
Pelatihan dapat diberikan pada tenaga kerja konstruksi dengan output dapat memahami Internet of Things (IOT) dan menjadikan teknologi sebagai aktivitas sehari-hari untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi pekerjaan. Terkait hal ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menghadirkan pelatihan penyelenggaraan proyek infrastruktur dengan metode Building Information Modeling (BIM) demi percepatan pembangunan infrastruktur.
Building Information Modeling menjadi teknologi yang menerapkan metode konstruksi infrastruktur terintegrasi dengan menggabungkan model virtual dan data teknis ke dalam model tiga dimensi. Dengan demikian, pengolahan informasi bangunan tidak hanya terpaku pada proses desain saja, melainkan juga sampai pada tahap setelah proses konstruksi (BPSDM Kementerian PUPR, 2020). Dengan adanya pendekatan pelatihan berbasis teknologi, harapannya selain membentuk SDM yang dapat memahami teknologi konstruksi juga dapat mewujudkan pembangunan infrastruktur yang lebih aman dalam mencapai zero accident.
Sinergitas
Revolusi Industri 4.0 menuntut lembaga sertifikasi untuk memadukan perubahan besar yang terjadi pada lingkungan konstruksi. Peningkatan otomatisasi dan digitalisasi masih menjadi tantangan terbesar bagi lembaga sertifikasi untuk berdaptasi.
Dalam menghadapi hal tersebut, penguatan lembaga sertifikasi dapat dilakukan dengan memperbanyak kolaborasi serta koordinasi bersama lembaga pelatihan baik milik pemerintah maupun swasta. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dibutuhkan kerja sama nyata dimulai dari persiapan pada sisi sumber daya manusia, kebijakan, tata kelola, hingga teknologi yang mumpuni sehingga mampu secara unggul mempersiapkan tenaga kerja konstruksi profesional sesuai dengan kebutuhan.
Kerja sama ini harus dipastikan merangkul seluruh lembaga sertifikasi yang ada. Apabila terdapat wilayah yang belum memiliki lembaga sertifikasi, perlu pembentukan unit baru dengan dukungan sumber daya yang kuat dan berkualitas. Hal ini diperlukan sebagai upaya pemerataan pembangunan melalui pemerataan kualitas tenaga kerja konstruksi di seluruh wilayah Nusantara.
Pemerataan ini ditujukan agar dapat tercapai optimalisasi pelatihan tenaga kerja konstruksi yang tidak Jawa sentris, melainkan menjadi Indonesia sentris. Sebagai penunjang, pemberian proyek strategis nasional juga diperlukan agar Tenaga Kerja Konstruksi dapat berkembang meningkatkan keahliannya.
Upaya-upaya di atas diharapkan mampu menjadi katalis peningkatan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang berdaya saing. Dengan demikian, terwujudnya Indonesia sebagai bangsa yang berdikari akan tercapai melalui pembangunan infrastruktur yang bermutu dan berkualitas tinggi.