Guna memacu ekonomi hijau sesuai harapan Presiden, pemetaan perlu dilakukan kembali tentang elemen-elemen penunjangnya, khususnya pelaksanaan terkait solusi krisis iklim dan inklusi sosial.
Oleh
AMANDA KATILI NIODE
·5 menit baca
Dituturkannya ekonomi hijau sebagai salah satu strategi besar ekonomi oleh Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembukaan Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Istana Negara, Kamis lalu, memberikan harapan besar untuk Indonesia menghadapi berbagai tantangan lingkungan global, terutama krisis iklim.
Ekonomi global dapat kehilangan 10 persen dari total nilai ekonomi pada 2050 karena perubahan iklim, demikian perhitungan Swiss Re. Sedangkan Badan Lingkungan PBB menyatakan biaya tahunan global untuk menanggulangi krisis iklim dapat mencapai 500 miliar dollar AS hingga lebih dari 1 triliun dollar AS. Ini meliputi biaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim (mitigasi), dan untuk menyesuaikan terhadap dampak perubahan iklim (adaptasi).
Meskipun awalnya diperlukan biaya tinggi untuk menghadapi krisis iklim, keuntungan yang dapat diraup jika ekonomi hijau diterapkan dapat mencapai 26 triliun dollar AS hingga 2030. Angka ini cukup besar dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) global 2020 yang sekitar 84,54 triliun dollar AS.
Jika di masa lalu masalah lingkungan hidup menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasi, kini peranan pelaku di luar unsur pemerintah (aktor non-negara) kian krusial. Mereka diperlukan untuk prakarsa kerja sama yang konkret, ambisius dan berkesinambungan.
Selain itu, ekonomi hijau tak dapat digambarkan hanya dengan pembangunan infrastruktur di sebuah lokasi.
Aktor non-negara adalah kota, wilayah dan entitas sub-nasional lainnya, dunia usaha, masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan, pemuda, dan perguruan tinggi. Walaupun peran pelaku non-negara diakui, fungsi pemerintah dan koordinasi antar kementerian dan lembaga mutlak diperlukan, karena dari situlah ditetapkan kebijakan yang jika ditegakkan akan memberikan dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan hanya upaya seseorang.
Strategi ekonomi hijau
Pada Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Presiden mengatakan, kemungkinan Oktober Indonesia akan mulai membangun green industrial park dengan keluaran produk hijau dan pemakaian energi baru terbarukan. Secara umum, ekonomi hijau didefinisikan sebagai rendah karbon, efisien sumber daya dan inklusif secara sosial. Aspek keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem juga masuk dalam pertimbangan itu.
Karenanya, green industrial park yang memang belum terwujud, kurang tepat dijadikan simbol ekonomi hijau, lagi pula inklusi dimaksud belum terbukti. Selain itu, ekonomi hijau tak dapat digambarkan hanya dengan pembangunan infrastruktur di sebuah lokasi.
Namun, pernyataan Presiden bahwa masa depan produk-produk hijau sangat menjanjikan dan kita memiliki kesempatan yang besar dalam hal ini, serta harapannya bahwa produk hijau yang dihasilkan dari ekonomi hijau akan menjadi sebuah kekuatan besar Indonesia, sangat mungkin diwujudkan.
Yang perlu segera dilakukan adalah memacu perkembangan ekonomi hijau di Indonesia agar lebih pesat lagi melalui peran serta sinergi komponen negara dan pelaku non-negara.
Dalam ekonomi hijau, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan didorong investasi publik dan swasta dalam kegiatan ekonomi, serta infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon dan pencemaran. Juga peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem.
Ekonomi Hijau dapat berfungsi sebagai kendaraan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yaitu agenda global untuk memberantas kemiskinan, ketimpangan sosial dan perubahan iklim dengan prinsip utama tidak meninggalkan satu orang pun. Negara-negara yang mempercepat upaya dalam mencapainya akan punya posisi lebih baik untuk pulih dari penderitaan manusia dan kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19.
Kementerian PPN/Bappenas mendorong pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pelestarian lingkungan melalui penerapan ekonomi hijau. Diakui juga bahwa pandemi mendorong pemulihan ekonomi yang dapat dilakukan melalui pemulihan hijau.
Diakui juga bahwa pandemi mendorong pemulihan ekonomi yang dapat dilakukan melalui pemulihan hijau.
Berbagai kebijakan, program dan proyek pemerintah serta instrumen pendanaan terkait ekonomi hijau, dalam ragam bentuk dan istilah, telah menunjukkan kemajuan berarti karena sudah dimulai beberapa dekade lalu.
Bahkan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Juni lalu pemerintah memberikan penghargaan Green Leadership Nirwasita Tantra kepada pimpinan daerah, baik eksekutif maupun legislatif, yang berhasil merumuskan dan menerapkan kebijakan dan program kerja, sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan menuju ekonomi hijau.
Sebuah langkah masif dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara bekerja sama dengan Global Green Growth Institute berupa Pelatihan Pro Hijau. Ini merupakan pelatihan teknis bagi pejabat pimpinan tinggi, pejabat administrasi, dan pejabat fungsional untuk meningkatkan kompetensi dalam merumuskan kebijakan, strategi, dan/atau program kerja yang dapat mengarusutamakan pertumbuhan ekonomi hijau.
Adapun hal yang perlu dicermati lebih jauh dalam memacu ekonomi hijau di Indonesia adalah peran sektor swasta, UMKM dan BUMN, terutama karena ekonomi hijau fokus pada investasi, infrastruktur dan keterampilan. Ini sudah disikapi oleh Menteri BUMN yang akan menerapkan ekonomi hijau dan juga ekonomi biru melalui antara lain pembentukan holding. Idealnya porsi persentase investasi sektor swasta mencapai 70 persen, dengan sisanya dipenuhi pemerintah.
Inklusi sosial dalam ekonomi hijau perlu ditinjau kembali agar mereka yang kurang beruntung dapat meningkatkan kemampuan, kesempatan, dan martabat berdasarkan identitas masing-masing.
Peran pemuda sebagai pelaku non-negara dalam mencoba memahami dan menerapkan konsep ekonomi hijau dengan fokus pada perubahan iklim. tidak dapat dikesampingkan, malahan harus difasilitasi. Program Kepemimpinan Pemuda untuk Krisis Iklim yang dilaksanakan oleh Climate Reality Indonesia, misalnya, sudah membina lebih dari 2.500 pemuda di Kepulauan Nusantara.
Hasilnya membuktikan generasi muda menaruh perhatian besar terhadap krisis iklim dan solusinya, mereka pun melaksanakan kegiatan nyata di komunitas masing-masing.
Guna memacu ekonomi hijau sesuai harapan Presiden, pemetaan perlu dilakukan kembali tentang elemen-elemen penunjangnya, khususnya pelaksanaan terkait solusi krisis iklim dan inklusi sosial. Selain itu juga memberi perhatian khusus untuk meningkatkan peran pelaku non-negara seperti korporasi, UMKM, dan juga generasi muda.
Amanda Katili NiodePraktisi dan Penatar Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim