Semiotika Ruang Belajar Daring
Keberhasilan pembelajaran daring tidak semata tergantung pada infrastruktur pendukung, tetapi interaksi yang terbangun di dalam jaringan. Kuncinya, membangun komunikasi antar-pikiran dalam ranah akademik.
Tahun ajaran baru di perguruan tinggi umumnya dimulai pada akhir Agustus atau awal September. Pada kedua bulan ini, di kampus-kampus tertentu biasanya terpampang spanduk penyambutan: “Selamat datang putra-putri terbaik Indonesia di kampus tercinta”.
Namun, ini kali telah dua Agustus atau September kampus tanpa spanduk tersebut. Tidak ada lagi mahasiswa yang datang ke kampus untuk memulai belajar. September tidak lagi ceria. Kampus menjadi ruang semi-publik yang mati. Pandemi covid-19 telah menyebabkan aktivitas di kampus luluh-lantak.
Sebagaimana diketahui bersama, proses belajar-mengajar tetap berlangsung. Kegiatan belajar-mengajar pindah ke ruang lain, yakni ke dalam jaringan atau yang populer disebut “daring”. Namun, tentu, kuliah daring tidak sama dengan di ruang kelas riil atau di luar jaringan (luring).
Kuliah daring memiliki problematikanya sendiri. Di satu sisi, kuliah ini berhasil menghilangkan hubungan hierarkis dosen versus mahasiswa di ruangan. Jika pada luring posisi dosen umunya berada di pusat (di depan kelas) dan secara semiotis bisa menjadi penanda kuasa, pada kuliah daring menjadi sejajar dengan mahasiswa.
Baca juga: Pahit Manis Kuliah Virtual
Akan tetapi, di sisi lain, sejauh ini aplikasi yang tersedia untuk perkuliahan daring belum mampu membuat simulasi yang sempurna tentang realitas ruang belajar. Alih-alih mampu, yang terjadi justru distorsi yang ekstrem.
Dimensi keruangan sama sekali hilang. Kehadiran tubuh, misalnya, hanya terbatas pada kotak kecil berbentuk segi empat. Sekilas tampak, yang hadir di layar komputer hanya pas foto. Dimensi waktu juga lesap. Tidak ada gerak interaktif antara para pihak yang terlibat sebagai penanda berjalannya waktu. Perkuliahan selama dua jam pelajaran (100 menit) pun berlangsung di dalam template yang kering.
Matinya ruang
Interaksi di dalam daring, sebagaimana terjadi dalam ruang virtual secara umum, memang merupakan interaksi pikiran. Namun, seharusnya ia juga mampu membangun imaji ruang, seperti terjadi pada game online, misalnya.
Di dalam game online, pemain yang notabene berada di luar jaringan, terlibat penuh di dalam permainan. Meminjam Burton (2000), kamera game bersifat subyektif, yakni menarik pemain masuk ke dalam “ruang tempat terjadinya peristiwa”.
Pada aplikasi daring, sekali lagi, yang terjadi justru kematian imaji ruang yang juga diikuti matinya imaji waktu. Akibatnya, pada aplikasi daring terkesan tidak ada peristiwa belajar-mengajar.
Pada aplikasi daring, sekali lagi, yang terjadi justru kematian imaji ruang yang juga diikuti matinya imaji waktu.
Selain matinya ruang dan waktu sedemikian, karakteristik ruang belajar yang spesifik pun tidak terbentuk. Hal ini karena aplikasi yang digunakan, sejauh ini, memang bersifat umum. Aplikasi zoom, misalnya, digunakan untuk pertemuan apa pun dan oleh siapa pun. Siswa sekolah dasar, sekolah menengah, mahasiswa, politisi, pebisnis, dan lain-lain menjadi berada dalam ruang digital yang karakternya sama.
Beranalogi kepada Benjamin (2008), di situ yang hilang bukan hanya aura, melainkan ciri-ciri spesifik tentang ruang tertentu yang memungkinkan terbentuknya imajinasi ruang juga lenyap. Dalam aplikasi ini, tubuh tidak bisa “mengembara” mengikuti pikiran. Ketimbang demikian, tubuh justeru terteknologisasi, dilipat di dalam kotak kecil segi empat pada lempengan pipih layar komputer.
Baca juga: Sesat Pikir Kuliah Daring
Dari sisi desain, salah satu upaya teknis untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan membuat fasilitas pada aplikasi yang memungkinkan dipasangnya latar belakang virtual (virtual background). Dalam perspektif semiotika piercian, latar virtual merupakan tanda indeksikal, yakni tanda yang menunjukkan “alamat” seseorang ketika ia menjadi partisipan daring.
Dalam konteks tertentu, berada di depan latar virtual berarti berada dalam status tertentu. Seturut kepentingan ini, latar virtual nyaris selalu merupakan imaji ruang, baik interior (ruang kerja, ruang belajar, ruang tamu, dan lain-lain) maupun eksterior (pantai, gunung, taman, dan lain-lain).
Tubuh yang melarikan diri
Namun, tampaknya upaya tersebut tidak banyak menolong. Alih-alih dapat mencairkan suasana belajar, yang terjadi justeru penumpukan ruang virtual itu sendiri. Berada di depan latar virtual ketika kuliah daring berarti berada pada ruang berlapis: ruang di dalam ruang di dalam ruang. Ruang pertama adalah tempat riil mahasiswa dan dosen berada, yang kedua di dalam latar virtual, dan yang ketiga pada aplikasi daring itu sendiri.
Situasi ini memungkinkan munculnya persoalan yang lebih rumit. Setidaknya, secara psikologis, terjadi tarik-menarik tubuh di antara ketiga ruang tersebut.
Selain itu, ketika semua partisipan menggunakan latar virtual, tubuh bisa jadi kian teralienasi. Hal ini karena relasi antara partisipan satu dengan yang lain bukan lagi relasi antara tubuh, melainkan relasi artifisial antara latar virtual. Alih-alih memperhatikan konten pembicaraan dan kehadiran tubuh, para partisipan bisa jadi lebih sibuk memperhatikan latar virtual, disadari atau tidak.
Ketika semua partisipan menggunakan latar virtual, tubuh bisa jadi kian teralienasi.
Kompleksitas relasi tubuh dengan ruang sedemikian pada akhirnya bisa menimbulkan semacam penolakan tubuh dengan cara melarikan diri dari kehadirannya di ruang aplikasi, yakni dengan menutup kamera. Fakta menunjukkan hal ini memang sering terjadi. Umumnya mahasiswa—apalagi untuk kelas di atas 50 orang—menutup kamera aplikasi. Memang banyak alasan untuk ini (biasanya masalah sinyal). Akan tetapi, secara semiotis fakta ini dapat dibaca sebagai indeksikalitas dari tarik-menarik ruang tadi.
Penelitian mahasiswa Magister Desain Trisakti (Junaidi, dkk, 2021) yang saya bimbing menyimpulkan, antara lain, mahasiswa merasa bahwa ruang pribadinya tersubversi oleh ruang publik (semua mata partisipan seolah-olah menelisiknya). Hal ini dapat dipahami sebab biasanya mereka keluar atau pergi ke ruang publik (kampus). Oleh sebab itu, mereka memilih menutup dirinya, semacam tindakan defensif dari subversi tadi.
Bertumpu di rumah dosen
Harus dipahami bahwa hal tersebut juga merupakan persoalan kebudayaan. Masyarakat kita secara umum belum terbiasa membangun komunikasi antar-pikiran dalam ranah akademik (baca: topik ilmiah). Di media digital, kita baru terbiasa berkomunikasi tentang perkara keseharian yang sering juga tidak berguna. Selain itu, perpindahan tempat belajar dari ruang riil ke ruang virtual terjadi dalam situasi darurat karena pandemi Covid-19. Wajarlah jika di situ terjadi semacam keterkejutan budaya (shock culture).
Tentu harus ada upaya untuk menengarai persoalan tersebut. Dari sisi infrastruktur, peningkatan kapasitas dan kecanggihan teknologi menjadi tumpuan penting. Di sisi lain, dosen juga menjadi sandaran utama. Ketika tempat belajar pindah ke ruang digital, secara teknis proses belajar bersandar pada sumber daya yang dimiliki dosen. Beban utama kampus bergeser ke ruang kerja dosen di rumahnya.
Baca juga: Mahasiswa Menanti Jawaban Dosen
Hal ini berarti, infrastruktur dosen harus sangat diperhatikan. Fokus pembaruan dan perawatan fasilitas fisik (ruang belajar) di kampus sejatinya bergeser ke pembangunan sumber daya dosen di rumah. Matinya ruang belajar di kampus niscaya harus ditebus dengan hidupnya “ruang sejenis di rumah dosen”. Di situ pula spanduk penyambutan mahasiswa pada tahun ajaran baru terpampang: “Selamat datang putra-putri Indonesia terbaik di situs pemikiran!”
Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB