Politik Pendidikan Masa Depan
Politik pendidikan di Indonesia seharusnya merujuk pada cita-cita kemerdekaan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun, ini sering ditinggalkan saat pengambil kebijakan masuk ke hal-hal teknis penyelenggaraan pendidikan.
Isu pendidikan termasuk yang tak lekang waktu. Kajian-kajian tentang pendidikan kita biasa merentang dari era kolonial hingga dewasa ini, bahkan proyeksinya ke depan.
Sejak masa pandemi Covid-19, isu digitalisasi pendidikan tak terelakkan. Segala keterbatasan dicoba dipecahkan sehingga proses pendidikan semakin terbiasa dalam memanfaatkan teknologi digital. Digitalisasi, tentu sekadar merujuk cara atau teknis yang pelaksanaanya, sangat mendesak, tetapi tujuan dan substansi pendidikan ialah yang mendasar.
Tentu tantangan dalam memajukan dunia pendidikan demikian kompleks, kini dan ke depan. Apalagi, manakala dikaitkan dengan amanat para pendiri bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Kalimat tersebut bukan kalimat sakral yang statis, tetapi filosofi yang tajam. Pendidikan tak sekadar berurusan dengan semata-mata proses belajar-mengajar di ruang kelas maupun virtual. Ia dapat kita artikan bahwa proses pendidikan diharapkan memiliki implikasi nyata dalam pencerdasan kehidupan bangsa yang multiaktor dan plural.
Baca juga: Pendidikan di Masa Sulit
Dinamika sosio-kultural dan politik bangsa juga menjadi tanggung jawab ranah pendidikan sebagai outcome. Sering mengemuka dalam percakapan sehari-hari, manakala terjadi kasus korupsi, mengemuka pertanyaan yang tak terelakkan yang dikaitkan dengan latar belakang pendidikannya. Latar belakang pendidikan sering dikaitkan dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konteks ini, terkesan berat sekali tanggung jawab pendidikan. Karena itu, pengembangan dunia pendidikan ke arah yang lebih baik merupakan tanggung jawab segenap pemangku kepentingan, setiap saat.
Konsep ”mencerdaskan kehidupan bangsa” jarang diperbincangkan mendalam. Bahkan dikesankan arah pendidikan nasional, tak berhubungan dengan pencerdasan. Ia sekadar kata-kata romantis pendiri bangsa, landasan filosofi yang susah dibayangkan, apalagi dijangkau. Penyelenggara pendidikan juga sering kali apriori, menganggap tanggung jawabnya terbatas di tengah sarana-prasarana serba terbatas. Mereka melemparkannya ke ranah para filosof.
Ada yang berpendapat bahwa masalah ”mencerdaskan kehidupan bangsa” itu tidak bisa diukur secara kuantitatif. Segala pernyataan yang kualitatif harus dikuantitatifkan, diangkakan. Oleh karena itu, ia sebatas dicatat sebagai jargon besar, suatu cita-cita mulia yang tidak nyata. Hal semacam ini justru membuktikan bahwa pendalaman filosofis ”mencerdaskan kehidupan bangsa” belum populer, apalagi lantas menjadi etos atau spirit yang kuat dalam memajukan dunia pendidikan.
Politik pendidikan
Politik pendidikan di Indonesia, bagaimanapun, harus merujuk pada cita-cita kemerdekaan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ia payung besar yang harus dikembangkan agar bangsa bergerak maju.
Namun, masalah-masalah filosofis sering segera ditinggal ketika penentu kebijakan dan pemangku kepentingan masuk ke hal-hal teknis penyelenggaraan pendidikan. Kontestasi teknis yang melibatkan banyak aktor dalam praktiknya akhirnya menghadirkan wajah pendidikan sebagai generalisasi.
Politik pendidikan melihat kontestasi kepentingan beragam aktor dalam proses penentuan kebijakan dan penyelenggaraannya. Merujuk sejarah kemerdekaan, politik pendidikan diarahkan ke ikhtiar pencerdasan kehidupan bangsa yang penyelenggaraannya dilakukan secara berkeadilan sosial. Ia berkebalikan dengan politik pendidikan kolonial yang diskriminatif dan membeda-bedakan kelas sosial. Penyelenggaraan pendidikan era kemerdekaan dilakukan secara demokratis dan berkeadilan sosial.
Merujuk sejarah kemerdekaan, politik pendidikan diarahkan ke ikhtiar pencerdasan kehidupan bangsa yang penyelenggaraannya dilakukan secara berkeadilan sosial.
Dalam perkembangannya, penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan sosial dihadapkan pada tata kehidupan dan kontestasi ekonomi-politik neoliberal. Liberalisasi pendidikan tak terelakkan, terutama terhadap lembaga-lembaga pendidikan swasta. Akses peserta didik ke lembaga pendidikan terkendala dikaitkan biayanya yang tak terjangkau.
Dalam situasi seperti itu, kebijakan dan kehadiran lembaga-lembaga yang menyediakan beasiswa merupakan wujud dari politik afirmasi dunia pendidikan, yang tak terelakkan kapitalistik. Dalam konteks inilah, penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan sosial, bertahan sebagai isu abadi.
Isu lain yang menonjol dalam politik pendidikan ialah karakter dan konsekuensi rezim pendidikan. Di Indonesia pasca reformasi, rezim pendidikannya bersifat desentralistik merujuk implementasi otonomi daerah. Kendati pemerintah pusat berwenang dalam penentuan kebijakan berskala nasional merujuk perundang-undangan, ia tidak berwenang penuh dalam penyelenggaraannya. Ia harus berbagi dengan pemerintah daerah.
Baca juga: Kesenjangan Pendidikan dan Tantangan Pembangunan
Tentu ini memiliki konsekuensi khususnya dalam teknis penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini, lazim manakala pengalaman Indonesia harus dikomparasikan dengan negara-negara lain, ke arah efektivitas penyelenggaraannya.
Dinamika politik lokal, dalam kasus Indonesia, sering kali justru menohok praktik penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan sosial. Masalah yang sering dikeluhkan berbagai pihak ialah ekses politik pemilihan kepala daerah yang merasuk ke dunia pendidikan.
Para aktor politik lazim menampilkan isu pendidikan gratis, dan menyertakan aktor-aktor pendidikan yang seharusnya netral dalam politik, untuk kepentingan pemenangan. Lantas, pasca-pilkada terjadilah pergeseran-pergeseran aktor-aktor pendidikan selaras kepentingan kepala daerah terpilih. Sejauh ini belum ada solusi ampuh mengatasi politisasi pendidikan di ranah lokal semacam ini.
Dunia pendidikan kita juga disibukkan oleh isu kompetisi dan prestasi peserta didik. Beberapa pertanyaan yang mengemuka dan telah disambut oleh kebijakan silih berganti misalnya, perlukah ujian nasional diselenggarakan? Kalau tak perlu, apa alasannya, apa gantinya? Mengapa prestasi peserta didik dalam matematika dan sains nyaris selalu terpuruk dilihat dari pemeringkatan internasional?
Tapi, perlukah isu ini ditanggapi? Banyak yang sepakat bahwa fokus kita ialah menyelesaikan masalah-masalah pendidikan nasional tanpa mereduksi peningkatan prestasi peserta didik di ranah antar-negara.
Belakangan ini juga mengemuka isu masih perlukah standar pendidikan nasional? Sesungguhnya ia tak perlu jawaban. Secara perundang-undangan standar nasional pendidikan telah diatur, dan untuk itu diperlukan badan tersendiri. Namun, isu tersebut muncul dikaitkan dengan konteks menjawab kebutuhan pendidikan masa depan.
Ikhtiar kebijakan dan implementasi standar nasional pendidikan memang perlu terus-menerus disertai pula evaluasi.
Ikhtiar kebijakan dan implementasi standar nasional pendidikan memang perlu terus-menerus disertai pula evaluasi. Tetapi, tentu bukan meniadakan standar dalam penyelenggaraan pendidikan secara nasional nasional. Yang lebih mendesak ialah menyederhanakan dan mengefektifkan standar nasional pendidikan, yang tentu juga dengan tidak menafikan kondisi, kelebihan, keterbatasan, dan kebijakan daerah.
Manusia sebagai penentu
Isu keterkaitan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) juga mengemuka dalam politik pendidikan, dikaitkan dengan konteks perkembangan teknologi digital. Arah politik pendidikan kita terkesan banyak didominasi oleh keharusan penyerapan yang tinggi pasca-kelulusan pendidikan tinggi ke DUDI. Program permagangan menjadi andalan.
Ini mengingatkan kita pada kebijakan link and match di masa lalu. Memang tak terelakkan pandangan umum bahwa keberhasilan penyelenggaraan pendidikan ialah, manakala lulusannya terserap di dunia kerja.
Baca juga: Revolusi Pendidikan
Namun, perlu menjadi catatan bahwa di tengah dominasi teknologi informasi dan berkembangnya kecerdasan buatan (artificial intelligence), keahlian khusus DUDI akan lebih banyak dikerjakan oleh mesin. Maka, arah politik pendidikan kita seyogianya tidak menafikan orientasi generalisasi yang bertumpu pada kecerdasan manusia.
Generalisasi diperlukan justru untuk memantau pekerjaan-pekerjaan keahlian khusus yang dikerjakan oleh mesin. Pandangan ini bertumpu bahwa manusialah yang mengontrol mesin, bukan sebaliknya.
Karena itu, dimensi manusia, pijakan moral keagamaan, dan pengetahuan sosial, justru sangat diperlukan, bukan ditinggalkan. Memosisikan dimensi manusia di garda terdepan politik pendidikan masa depan, itulah yang paling penting.
M Alfan Alfian, Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta