Jika tujuannya untuk skrining, menapis agar orang yang masuk tidak membawa SARS-CoV-2, bukankah cukup ”rapid” antigen saja? Hasil ”rapid” antigen keluar dalam hitungan menit, selain biaya jauh lebih murah.
Oleh
Agus Dermawan T
·3 menit baca
Dua momentum 17 Agustus berada dalam kurungan pandemi Covid-19. Dari sini kita teringat kepahlawanan para dokter dan tenaga kesehatan yang berjuang sangat luar biasa memulihkan kesehatan bangsa selama 17 bulan.
Kita tak akan bisa membayar jasa mereka dengan cara apa pun. Namun, kita punya kesempatan untuk mengapresiasi jerih payah mereka dengan cara yang kita bisa. Untuk para perupa, misalnya, bisa dengan membangun monumen bertema ”Pahlawan Kesehatan Indonesia”.
Berkait dengan itu, saya usul, kiranya pemerintah (atau siapa pun dan lembaga apa pun) berkenan menyelenggarakan kompetisi membuat desain monumen pahlawan kesehatan itu bagi insan perupa Indonesia.
Lalu pilihlah (minimal) 34 desain untuk kemudian dibangun sebagai patung monumen di 34 ibu kota provinsi di Indonesia. Selanjutnya, dalam pelaksanaan pembuatan patung monumen itu, ajaklah seniman-seniman daerah setempat untuk terlibat.
Kita tahu bahwa dalam masa pandemi Covid-19 perupa Indonesia adalah kelompok yang ikut terpuruk, amat banyak kehilangan peluang untuk menyosialisasikan karyanya. Dengan pembangunan monumen itu, mereka akan mendapat kesempatan kerja, sambil mengucap tabik kepada para pejuang kesehatan sebagai pahlawannya.
Saya menganggap monumen adalah tanda penghormatan sepanjang masa.
PCR diperiksa untuk mendiagnosis Covid-19 pada individu yang menunjukkan gejala Covid-19. Positif berarti kedapatan virus SARS-CoV-2 di hidung-tenggorokan.
Hasil PCR perlu disertai nilai CT (cycle threshold). Dengan membaca nilai CT, kita tahu seberapa SARS-CoV-2 hidup dan seberapa yang mati. Semakin tinggi nilai CT, di atas 30, semakin aman dan berarti menyembuh. Aman pula buat orang lain, berarti virus tinggal sedikit, tidak memapar orang lain. Sebaliknya, jika nilai CT rendah, kisaran 20-25, berarti virus hidup masih banyak.
Karena hasil PCR paling cepat 24 jam, lazim ditulis real-time (rt)-PCR. Maksudnya, hasil hanya menunjukkan kondisi saat lendir hidung diambil. Sampai hasil keluar, bisa saja orang yang diperiksa terpapar SARS-CoV-2 entah dari mana.
Jika untuk skrining Covid-19, bukan untuk diagnosis, cukup periksa rapid antigen, tidak perlu PCR. Sama halnya dengan PCR, lendir contoh diambil dari swab apus hidung.
Selain rapid antigen dari hidung, ada rapid antibodi dari darah untuk membaca kualitatif antibodi (IgM dan IgG) spesifik SARS-CoV-2.
Dari gabungan hasil rt-PCR dengan rapid antibodi, kita dapat melihat perjalanan penyakit Covid-19 seseorang. Apakah baru mulai, pertama kali kena, sudah berulang, sedang memuncak, sudah menyembuh, atau kebal.
Persyaratan perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata tertentu, Bali, misalnya, mewajibkan wisatawan atau siapa pun membawa hasil rt-PCR selain sertifikat vaksinasi, tak boleh rapid antigen. Jika tujuannya untuk skrining, menapis agar orang yang masuk tidak membawa SARS-CoV-2, bukankah cukup rapid antigen saja? Hasil rapid antigen keluar dalam hitungan menit, selain biaya jauh lebih murah.
Nilai saring rt-PCT perlu waktu paling cepat satu hari, berisiko, dan berbiaya tinggi. Orang yang sudah membawa sertifikat rt-PCR negatif bisa saja terpapar SARS-CoV-2 setelah tes. Celakanya, orang ini akan lolos naik pesawat karena sertifikat rt-PCR negatif.
Walaupun Presiden Joko Widodo sudah menurunkan biaya rt-PCR, tetap saja rt-PCR sebagai syarat masuk daerah tujuan wisata tertentu berpotensi menghambat orang bepergian, selain beban ekonomi. Kalau ada yang murah, kenapa pilih yang mahal?