Di Kamar Broto dan Ayu, Keluarga Emak Abah Utopia Belaka
Saya terkesan dengan film terbaru Tompi ini. Bukan oleh cara sutradara mengakhiri film ini yang menolak konsepsi ”happy ending”, melainkan setelah melihat dinding-dinding rumah dari pasangan muda Broto dan Ayu itu.
Oleh
ANAS SYAHRUL ALIMI
·5 menit baca
Tesis pertama saya adalah bahwa film terbaru Tompi yang diluncurkan di tahun kedua pandemi Covid-19 berjalan sepenuhnya adalah antitesis terhadap film Keluarga Cemara (2018) atau Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah (TETA, 2021).
Film Selesai sepenuhnya menampilkan secara telanjang isu perselingkuhan dua manusia yang berstatus suami istri, sementara film Keluarga Cemara dan TETA sepenuhnya adalah ikhtiar keluarga sederhana menggapai apa yang disebut dalam ucapan mulia yang dinisbatkan kepada mereka yang baru menikah: sakinah mawaddah warahmah.
Selesai dan Keluarga Cemara ataupun TETA mencoba menggambarkan realitas keluarga. Namun, Selesai memotret realitas itu dalam peraduan, di atas ranjang. Suatu lokus yang sesungguhnya sangat rahasia dan intim. Suatu tempat yang basah di mana cinta, pengkhianatan, dan kegilaan tarik tambang tiada henti di sana.
Biografi ranjang itu sudah dibuka sejak scene pertama muncul: kamar yang disemburati cahaya pagi yang menyusup lewat gorden tipis, selimut yang masih berantakan, weker, laci, dan telepon seluler (ponsel).
Dari situ, sepenuhnya film Selesai mengekspos soal peraduan. Kamar. Penonton diajak ikut langsung melihat bagaimana suasana kamar dua insan yang sudah dua tahun menikah, tanpa anak, dan menyimpan rahasia ranjang imajinasi mereka terhadap pasangan liyan dalam kotak kecil yang dinamis dan otonom bernama ponsel.
Kamar kedua tokoh utama dalam cerita, tokoh Broto dan tokoh Ayu, tidak ada lagi yang tertutupi tirai dari mata penonton. Tak ada lagi adegan deg-degan serrr penonton yang dipermainkan gerak kamera untuk turut mengintip dari lubang kunci atau ventilasi. Tak ada lagi eksploitasi rasa penasaran dengan amal-amal ketelanjangan yang disuguhkan dalam kamar.
Apalagi, dalih ”masa segel” pandemi yang meyakinkan penonton bahwa kamera tidak bisa beranjak ke mana-mana. Pemain-pemain yang lain justru diminta datang ke dalam rumah untuk ”menyelesaikan” konflik yang tiba-tiba meledak gara-gara celana dalam merah marun perempuan dalam mobil.
Kamar dan celana dalam adalah bagian dari privat yang melekat pada manusia dewasa. Dan, entah mengapa, celana dalam perempuan yang dieksploitasi dan dijadikan sebagai pemicu ledakan konflik hingga titik didih di mana kamera tidak berdaya untuk keluar dari dalam rumah yang semuanya dihuni orang-orang dewasa.
Kamar kedua tokoh utama dalam cerita, tokoh Broto dan tokoh Ayu, tidak ada lagi yang tertutupi tirai dari mata penonton.
Mula-mula hanya tiga: Broto, Ayu, dan satu pembantu yang selalu ”ceria” bernama Yani. Ditambah kedatangan Ibu Sepuh-ibu dari Broto atau mertua Ayu. Datang lagi pacar Yani, seorang yang mengaku sebagai sopir di sebuah kementerian. Juga, adik ipar Ayu atau adik kandung Broto yang bernama Dimas. Dan, tentu saja kedatangan tiba-tiba Anya yang ”polos”, yang di sepanjang film terus hadir dalam pembayangan sebagai pasangan selingkuh Broto.
Enam sosok ini dengan misterinya masing-masing membawa penonton meraba-raba bagaimana kasus perselingkuhan ini diselesaikan. Penonton yang di alam realitas di masa pandemi terus disuguhi berita grafik perceraian terus menanjak, artis yang mengumbar aib perselingkuhan pasangan, drama seru pesohor bola yang menolak bertanggung jawab atas perbuatan gelapnya, ingin tahu pakai banget bagaimana keluarga besar pengusaha Haji Sutejo ini men(y)-selesai-kan kisruh ini.
Yang membuat makin bergemuruh kepala penonton adalah aktor yang memerankan Broto adalah Gading Marten yang sepanjang tahun 2018 hingga 2021 keluarganya di alam nyata digempur habis-habisan oleh gosip pengkhianatan cinta dengan puncak drama munculnya video mesum yang berakhir di Polda Metro Jaya.
Penonton sepertinya diberikan harapan bahwa satu-satunya sosok yang bisa menyelesaikan problem ini adalah Ibu Sepuh sendiri yang dengan baik diperankan artis kawakan dan berkarakter kuat, Marini. Apalagi, di awal-awal, Ibu Sepuh mirip salah seorang guru besar pengajar IKIP Jakarta di tahun 80-an tersandung buku ”pelajaran seks” saat di kamar Broto dan Ayu mengajarkan bagaimana posisi seks terbaik supaya katak kecil bisa berenang gesit mencari telur dalam rahim. Ibu Sepuh seperti menceramahi mereka—lihat di menit ke-45—untuk mendapatkan keturunan diperlukan dua tindakan: kerja yang kuat, berdoa yang tekun. Atau, bisa juga dibalik.
Namun, ini perselingkuhan; bakteri yang menggerogoti dua roti (pernikahan) di mana olesan mentega di tengahnya (cinta). Baik roti maupun mentega semuanya membusuk karena kedaluwarsa atau karena lantaran terlalu lama dibiarkan berada dalam kondisi terbuka.
Di alam nyata barangkali soal ini bisa diselesaikan oleh negara dan dibantu kantor urusan agama.
Akan tetapi, film Selesai menyelesaikannya dengan, ya, tidak selesai secara baik-baik saja. Tuhan sama sekali tak dilibatkan sebagai bagian dari ikhtiar ”penyelesaian”.
Tokoh Ayu yang sepanjang film ”tampak sebagai korban” sepenuhnya menjadi manusia kalah dalam perebutan klaim benar-salah dalam perselingkuhan itu. Ayu digambarkan alih-alih menjadi perempuan tegar keluar dari penjara rumah yang penuh belatung cinta, tetapi sosok yang terkulai di kursi roda. Ayu dengan tragis ”dipaksa” oleh penulis naskah dan sutradara kehilangan kewarasannya karena perselingkuhan yang sesungguhnya jauh dari kata ”selesai” itu.
Akhiran itu sebetulnya tidak terlalu mengejutkan bagi saya yang memang pernah suatu masa yang jauh bersentuhan dengan sangat intens dengan proyek psikoanalisis Sigmund Freud yang sepanjang hayat keilmuannya fokus pada pencarian sebab-sebab kehancuran jiwa manusia.
Dinding-dinding berlukisan itu mengingatkan saya dengan rumah saya sendiri. Kok, make sense, ya.
Jujur, saya terkesan sekali dengan film terbaru Tompi ini. Bukan oleh cara sutradara mengakhiri film ini yang menolak konsepsi ”happy ending”, melainkan setelah melihat dinding-dinding rumah dari pasangan muda Broto dan Ayu itu. Dinding-dinding berlukisan itu mengingatkan saya dengan rumah saya sendiri. Kok, make sense, ya.
Ditambah lagi, pemilihan pemeran Ayu yang mengingatkan saya kepada artis tahun 90-an bernama Ayu Azhari di film Telegram. Ariel Tatum seperti penjelmaan dari Ayu Azhari yang membuat saya menontonnya terus dibuat ”deg-degan”.
Anas Syahrul AlimiKetua Bidang Pengembangan dan Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), CEO Prambanan Jazz Festival