Kita bisa belajar dari India, yang segera membangun sistem pendataan anak yatim piatu, membuat skema bantuan, dan memastikan anak-anak yang kurang beruntung ini otomatis masuk ke fasilitas pendidikan terdekat.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pandemi Covid-19 tidak hanya berwujud angka. Ia meninggalkan luka dalam, dengan anak-anak yang kehilangan ayah ibunya, bahkan juga masa depannya.
Data Satgas Penanganan Covid-19 per 20 Juli 2021 menunjukkan, ada 11.045 anak menjadi yatim piatu, yatim, atau piatu karena orangtuanya meninggal akibat Covid-19.
Analisis Litbang Kompas berbasis angka kematian kelompok usia 31-45 tahun—diasumsikan sudah menikah dengan dua anak di bawah usia 18 tahun—menunjukkan bahwa anak-anak yatim piatu ini terbanyak di Jawa Tengah, diikuti Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur.
Kondisi Indonesia dalam percaturan global lebih memprihatinkan karena Imperial College London memprediksi 38.127 anak Indonesia yang yatim piatu, yatim, atau piatu. Dengan perkiraan ini, Indonesia di peringkat ke-9 negara dengan jumlah anak tanpa orangtua lengkap terbanyak. India pertama, diikuti Brasil, Meksiko, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Peru, Iran, dan Kolombia (Kompas, 23/8/2021).
Namun, bukan besar kecil angka yang harus kita prihatinkan. Faktanya adalah ada anak-anak, yang seharusnya masih mendapat kasih sayang dan perlindungan orangtuanya, tiba-tiba kehilangan salah satu atau keduanya. Mereka kehilangan rasa aman dan tidak jelas masa depannya. Disrupsi yang tidak hanya membutuhkan uluran tangan kerabat, tetapi juga solidaritas masyarakat dan terutama peran negara.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebut hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi sesuai harkat dan martabatnya, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kewajiban melindungi melekat pada pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua. Dalam hal fakir miskin dan anak-anak telantar, negara wajib memelihara.
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia punya cara-cara untuk menolong anak-anak yang kurang beruntung. Kultur Jawa, misalnya, mengenal istilah ngenger ataupun mupu. Ngenger berarti anak ikut keluarga yang lebih mampu agar mendapat pendidikan. Sebagai balasan, anak membantu pekerjaan rumah tangga. Mupu berarti adopsi.
Solidaritas masyarakat saat ini juga membuat kita bersyukur atas segala upaya yang telah dilakukan untuk menolong anak-anak yang mendadak tanpa orangtua. Namun, dalam situasi disrupsi luar biasa, butuh peran negara lebih besar.
Kita bisa belajar dari India, yang segera membangun sistem pendataan anak yatim piatu, membuat skema bantuan, dan memastikan anak-anak yang kurang beruntung ini otomatis masuk ke fasilitas pendidikan terdekat.
Laporan Bank Dunia, Children, The Hidden Endemic 2021, mengingatkan pemerintah setiap negara untuk mencegah kematian, menyiapkan berbagai skema dukungan, dan melindungi anak melalui pengawasan berkala. Mengingat, kondisi yatim piatu bisa berefek buruk: salah penempatan, terpisah dari saudara kandung, kekerasan domestik, hingga pernikahan anak. Ini harus dicegah karena mereka juga anak kita.