Mengakhiri Stagnasi Perolehan Medali Indonesia di Olimpiade
Euforia kemenangan Greysia-Apriyani ini akan hilang dalam beberapa bulan ke depan. Secara bangsa, kita akan kembali berkutat dengan perseteruan politik dan sosial setelah ingar bingar kegembiraan medali emas ini pudar.
Apakah Indonesia benar-benar menginginkan perolehan medali Olimpiade lebih banyak?
Olimpiade Tokyo 2020 sudah berakhir. Sekali lagi, Indonesia diselimuti kegembiraan atas kemenangan satu medali emas atlet kita di Olimpiade. Kali ini di Tokyo, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu berhasil meraih medali emas di cabang olahraga bulu tangkis nomor ganda putri.
Raihan Greysia dan Apriyani merupakan catatan sejarah baru bagi dunia bulu tangkis Indonesia. Sebelumnya, Indonesia belum pernah meraih medali apa pun di nomor ganda putri ini. Pemain putri lain yang pernah meraih medali di ajang Olimpiade adalah Susi Susanti (emas, Olimpiade Barcelona 1992 dan perunggu, Olimpiade Atlanta 1996) serta Mia Audina (perunggu, Olimpiade Barcelona 1992).
Prestasi Greysia dan Apriyani menjadi lebih manis lagi karena mereka adalah pasangan yang tidak diunggulkan (unseed) saat Olimpiade Tokyo dimulai dan berhasil menumbangkan pasangan China yang merupakan ranking kedua di pertandingan final.
Dan sekali lagi, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo menyambut keberhasilan medali emas ini dengan memberikan bonus uang sebesar Rp 5,5 miliar kepada pasangan peraih medali emas tersebut.
Peraih medali perak, Eko Yuli Irawan, dari angkat besi dan para peraih medali perunggu, Windy Cantika (angkat besi), Erwin Abdullah (angkat besi), serta Anthony Ginting (bulu tangkis), juga mendapatkan bonus sebesar masing-masing Rp 2,5 miliar bagi peraih medali perak dan Rp 1,5 miliar bagi peraih medali perunggu. Selain itu, masih ada bonus-bonus lain dari Kementerian Pemuda dan Olahraga dan berbagai pihak swasta.
Stagnan
Akan tetapi, raihan medali Indonesia di ajang Olimpiade tampaknya sudah mencapai titik stagnan. Dari semua Olimpiade yang diikuti Indonesia sejak 1988, jumlah rata-rata perolehan medali Indonesia adalah empat medali. Sementara rata-rata medali emas yang diraih adalah satu medali per Olimpiade.
Pada Olimpiade Seoul 1988, kita hanya meraih satu medali perak. Pada Olimpiade Barcelona 1992, Indonesia membawa pulang lima medali (dua emas, dua perak, dan satu perunggu).
Pada Olimpiade Atlanta 1996, empat medali (satu emas, satu perak, dan dua perunggu). Olimpiade Sydney 2000 enam medali (satu emas, tiga perak, dan dua perunggu). Selanjutnya, Olimpiade Athena 2004 empat medali (satu emas, satu perak, dan dua perunggu). Olimpiade Beijing 2008 enam medali (satu emas, satu perak, dan empat perunggu).
Olimpiade London 2012 tiga medali (dua perak dan satu perunggu). Olimpiade Rio de Janeiro tiga medali (satu emas dan dua perak). Terakhir, Olimpiade Tokyo 2021 lima medali (satu emas, satu perak, dan tiga perunggu).
Raihan medali emas terbanyak adalah dua medali emas saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma masing-masing berhasil menjadi juara di Olimpiade Barcelona 1992. Setelah itu, Indonesia hanya menghasilkan satu medali emas per Olimpiade dengan pengecualian Olimpiade London 2012 yang tidak ada medali emasnya bagi kontingen Indonesia.
Perubahan revolusional
Jumlah raihan ini agaknya tidak akan berubah di masa yang akan datang atau paling kurang pada dua atau tiga Olimpiade ke depan. Jumlah ini tidak akan berubah jika cara pandang, cara pembiayaan, dan cara pengembangan atlet elite di Indonesia tidak mengalami overhaul atau perubahan total.
Perlu ada perubahan yang revolusioner di bidang olahraga untuk Indonesia agar dapat naik kelas ke level berikutnya, yaitu meraih antara 7-12 keping medali. Saat ini, pendekatan Indonesia terhadap pencapaian medali di Olimpiade (medali emas, perak, atau perunggu) masih menggunakan metode ”mencari diskon”.
Indonesia tidak mau mengeluarkan dana yang diperlukan untuk pengembangan sebuah ekosistem olahraga elite (industri olahraga) untuk dapat menempatkan para atlet elite Indonesia di posisi berjuang guna merebut posisi medali di Olimpiade. Ini berarti menempatkan mereka di babak final perebutan medali emas dan perak atau di babak perebutan medali perunggu.
Untuk bisa menempatkan atlet berjuang menduduki posisi podium di Olimpiade, diperlukan dana yang tidak sedikit. Setiap kali anggaran pelatnas dikeluarkan oleh Kemenpora, jumlahnya jauh dari yang diperlukan. Dengan jumlah itu pun, masyarakat sudah kaget dan mempertanyakan justifikasi besarnya jumlah yang dianggarkan. Belum lagi masalah kapan anggaran dicairkan dan masalah administrasi lain.
Meraih medali di Olimpiade memerlukan dana yang tidak sedikit.
Meraih medali di Olimpiade memerlukan dana yang tidak sedikit. Jika Indonesia mau medali yang lebih dari 4-6 keping per Olimpiade atau mau lebih banyak medali emasnya, anggaran olahraga high performance atau atlet elite juga harus ditingkatkan.
Dan dana yang dikeluarkan untuk olahraga harus berupa investasi di industri olahraga yang melibatkan sektor pendidikan, infrastruktur, mendorong pariwisata dan lapangan pekerjaan dari penyelenggaraan pertandingan-pertandingan besar di Indonesia.
Anggaran besar olahraga tidak hanya untuk meningkatkan raihan medali, tetapi juga mengembangkan industri olahraga dan akhirnya prestasi olahraga. Hal ini juga sekaligus mengembangkan cabang olahraga lain yang dapat meraih medali di Olimpiade, di luar bulu tangkis dan angkat besi.
Data negara penghasil medali dalam hal pengeluaran dan anggaran pembinaan olahraga elite sangat mencengangkan. Tim Inggris Raya mengucurkan dana sampai Rp 6,8 triliun antara Olimpiade Rio dan Olimpiade Tokyo untuk pembinaan tim Olimpiade mereka.
Jika dilihat dari perolehan medali mereka yang mencapai 65 keping, Komisi Olahraga Britania Raya mengeluarkan dana sebesar Rp 102 miliar per medali yang mereka raih di Tokyo.
Strategi peningkatan anggaran ini menjadi alasan tim Olimpiade Inggris Raya berhasil keluar dari keterpurukan mereka di Olimpiade Atlanta 1996 yang hanya berhasil meraih satu medali emas menjadi 11 emas empat tahun kemudian di Sydney tahun 2000 dan 22 medali emas di Olimpiade Tokyo lalu.
Tim Australia mengucurkan Rp 4,8 triliun untuk program high performance menuju Tokyo semenjak Olimpiade Rio 2016. Kontingen ”negara kanguru” ini bahkan ”membayar” rata-rata Rp 81,9 miliar per keping medali yang mereka dapatkan di Tokyo. Raihan medali Australia di Tokyo merupakan salah satu prestasi tersukses mereka.
Strategi ke depan
Indonesia sebagai negara berkembang memang tidak akan mampu mengucurkan dana triliunan rupiah seperti Inggris atau Australia. Akan tetapi, alasan ”negara berkembang” ini tidak bisa dipakai lagi. Jamaika, Iran, Kroasia, dan Kenya juga negara berkembang, tetapi mereka masing-masing berhasil meraih paling sedikit tiga medali emas pada Olimpiade Tokyo.
Besarnya dana yang dikucurkan memang menentukan prestasi di level olahraga atlet elite dunia. Bagaimana cara mengefisiensikan penggunaan dana itu merupakan ilmu manajemen tersendiri (jika tak dikorupsi). Tentu saja olahraga tim dengan jumlah besar, seperti sepak bola, bola basket, bola voli, dan hoki lapangan, perlu dana yang besar pula.
Oleh karena itu, pemilihan olahraga individu atau olahraga tim yang jumlah atletnya sedikit bisa menjadi preferensi utama.
Akan tetapi, bukan tak mungkin dengan tambahan anggaran, raihan medali Indonesia bisa bertambah. Oleh karena itu, pemilihan olahraga individu atau olahraga tim yang jumlah atletnya sedikit bisa menjadi preferensi utama.
Tim Inggris Raya jelas-jelas memilih balap sepeda, dayung dan kano, serta renang dan atletik yang mendapat pendanaan besar. Di samping jumlah medali di cabang olahraga itu banyak, setiap atletnya berpeluang mendapatkan lebih dari satu medali karena dapat ikut di lebih dari satu nomor pertandingan. Dengan demikian, pendanaan yang diberikan jadi lebih efisien dan efektif.
Sekali lagi, jika Indonesia menginginkan keluar dari stagnasi perolehan medali yang rata-rata empat keping di Olimpiade, pemikiran dasar pembinaan olahraga Indonesia perlu diubah drastis. Bukan hanya masalah anggaran dan pola pendanaan olahraga, pola pikir dan pola kerja yang dilakukan olahraga Indonesia saat ini juga menjadi kendala dari keberlangsungan pembinaan jangka panjang olahraga Indonesia.
Sementara pembinaan jangka panjang justru diperlukan jika ingin berhasil di level prestasi olahraga dunia. Negara-negara kekuatan utama olahraga dunia sudah mengeksekusi rencana pembinaan para atlet mereka untuk Olimpiade Paris 2024 yang hanya tinggal tiga tahun lagi. Bahkan, tim Amerika Serikat sudah menarik garis pembinaan untuk 2028. Pada saat itu, Los Angeles yang akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olimpiade edisi ke-34 tersebut.
Untuk Indonesia, dalam hal pembinaan olahraga, pemikirannya masih sejauh SEA Games 2021, yang penyelenggaraannya diundur sampai April tahun depan.
Baca juga : Liku Jalan Menuju Emas Olimpiade
Apakah Indonesia menganggap kejayaan di bidang olahraga merupakan bagian dari pencapaian keberhasilan, kekuatan, dan kehidupan bangsa dan negara? Sayangnya belum seperti itu. Padahal, jika performa olahraga Indonesia kuat di panggung dunia, potensi untuk menyelenggarakan event besar internasional menjadi tinggi. Hal ini bisa mendorong industri lain, seperti pariwisata, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan investasi, dan memberikan penghasilan di sektor perhotelan.
Euforia kemenangan Greysia-Apriyani ini akan hilang dalam beberapa bulan ke depan. Secara bangsa, kita akan kembali berkutat dengan perseteruan politik dan sosial setelah ingar bingar kegembiraan medali emas ini pudar. Masyarakat kembali menganggap pendanaan di olahraga adalah hal yang membuang-buang dana APBN. Dan di Olimpiade Paris —yang hanya tinggal lebih kurang 1.000 hari lagi—di tahun 2024, kita hanya akan kembali mengharapkan raihan rata-rata empat medali dari kontingen Indonesia, dan hanya dari dua cabang olahraga.
Richard Sam Bera, Olimpian 1998, 996, dan 2000