Gairah membuat karya lalu menyimpannya di unit data di rantai blok atau NFT (”non fungible token”), merebak. Gaya hidup digital makin menjadi keseharian.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Orang masih sering ingin memiliki karya seni ataupun karya lainnya dalam bentuk fisik. Perlahan, keinginan itu berubah dan mungkin harus berubah karena penghargaan karya berbentuk digital makin muncul ke permukaan. Salah satu pendorongnya, penjualan karya seniman Mike Winkelmann atau yang dikenal dengan nama Beeple pada awal tahun lalu di Balai Lelang Christie.
Beeple yang pada Oktober 2020 hanya berhasil menjual karya cetak seharga 100 dollar AS dalam lelang karya berjudul ”Everydays–The First 5000 Days” berbentuk NFT di balai lelang itu, laku seharga 69,3 juta dollar AS. Karyanya masuk ke dalam tiga besar karya termahal. Lelang ini menyentak berbagai kalangan dan menggugah dunia bahwa karya digital mulai mendapat tempat sebagai aset.
Kecenderungan orang mulai melirik karya digital dalam bentuk NFT karena memiliki alasan, aset digital ini diakui keamanannya karena karya ini disimpan di dalam rantai blok. Seniman pembuat karya bisa saja menjual dengan jumlah satu hingga beberapa di dalam rantai blok.
Pergerakan aset itu ketika diluncurkan, dibeli, dan dijual kembali juga diketahui karena rantai blok membuat sistem secara transparan. Mereka yang mencuri karya ini pun dengan mudah terdeteksi.
Perkembangan ini juga mulai masuk ke Indonesia. Beberapa waktu lalu, sejumlah platform digital meluncurkan lapak NFT. Berbagai karya mulai dari seni rupa, seni suara, hingga video bisa dijadikan aset digital dan dijual ke publik meski baru beberapa seniman Indonesia yang tertarik mendigitalisasi aset mereka dan menjualnya ke publik. Di sini kita perlu memperkenalkan NFT secara lebih intensif dan memberikan pemahaman tepat terkait aset digital ini.
Perkembangan ini pasti memunculkan pro dan kontra. Mereka yang mendukung menilai bahwa aset digital di dalam rantai blok menjamin keamanan karya karena karya tak bisa dikopi ataupun dipalsukan. Untuk beberapa karya pembuat karya masih berhak mendapatkan keuntungan saat karya itu beredar. Dengan demikian, teknologi ini tak hanya untuk kepentingan pengecekan keaslian saja.
Adapun kalangan penentang mengatakan, keamanan tak terjamin sepenuhnya ketika terjadi pembobolan aset digital. Mereka juga mengatakan pasar aset digital cenderung spekulatif. Nilai-nilai karya berbentuk NFT masih banyak ditentukan oleh euforia publik menyambut inovasi ini. Penentang juga memunculkan isu lingkungan karena tulang punggung teknologi ini membutuhkan energi besar.
Pembuat karya di Indonesia sebaiknya masuk ke dalam ekosistem aset digital ini untuk beruji coba, juga mengenali teknologi ini. Meski kita harus mengakui, tidak ada yang bisa memastikan masa depan penggunaan NFT. Ada berbagai tantangan di satu sisi dan mungkin ada gejolak. Namun, sekaligus ada potensi keuntungan.