Afghanistan dan Indonesia: Demokrasi versus Realitas
Afganistan dan Indonesia sama-sama negara demokrasi. Namun menjadi negara demokrasi saja tidak cukup, pemerintahan dan masyarakat yang demokratis akan terwujud jika nilai-nilai demokratif benar-benar menjadi budaya.
Demokrasi adalah budaya. Demokrasi tak dapat dibawa ke suatu negara dengan menjatuhkan bom di atas kepala penduduknya.
Shirin Ebadi Pemenang Nobel Sastra 2006 Shirin Ebadi mengomentari perkembangan demokrasi di Irak. Nyatanya Irak dan Afghanistan, tak terlalu jauh beda.
Meski disebut sebagai bangsa, mereka terbiasa dengan budaya sektarian. Ditambah pengaruh agama yang kuat dan keinginan setiap kelompok untuk saling menguasai, membuat budaya demokrasi ala Barat tak bisa serta-merta berkembang.
Betul bahwa nilai-nilai demokrasi umumnya terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Misalnya, gagasan atau keyakinan membuat masyarakat adil, termasuk pengambilan keputusan yang demokratis, kebebasan berbicara, persamaan di depan hukum, keadilan sosial, persamaan hak kaum minoritas dengan mayoritas, dan keadilan sosial untuk semuanya. Ini adalah contoh nilai-nilai demokrasi.
Baca juga: Menghidupkan Demokrasi
Saya juga yakin setiap manusia normal dan rasional menginginkan nilai-nilai di atas diterapkan di masyarakat dan bangsanya. Tetapi bagaimana kemudian itu bisa tumbuh dan berkembang jika budaya masyarakatnya relatif masih asing terhadap nilai-nilai tersebut. Suatu persoalan yang tidak mudah dipecahkan.
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan saja harus tetap diingatkan. Di abad 21. Apalagi mengubah suatu kebiasaan melekat menyangkut cara pandang dan cara melihat individu dan komunitas yang berbeda pandangan dari kita: suatu masyarakat yang sangat sektarian dan dengan taruhan kekuasaan dan sumber daya yang besar. Sungguh bukan hal mudah.
Kekuasaan bukan korup. Tetapi manusia yang haus dan sangat ambisius akan kekuasaan bisa korup. Nilai-nilai demokrasi berusaha menciptakan sistem dan ideologi sedemikian rupa sehingga tingkat dan kelanggengan korupsi tersebut bisa lebih terkontrol. Tetapi niat atau slogan saja tidak cukup.
Korea Utara bisa mengaku negara demokrasi dengan menamakan dirinya Republik Demokratik Rakyat Korea. Tetapi, kenyataannya, tidak ada hal yang demokratis di negara itu, bila kita mengacu pada nilai-nilai demokratis di atas.
Operasi kebebasan
Kubu Neokonservatif di AS di awal tahun 2000-an bisa memiliki hati dan niat mulia bercampur rasa dendam. Osama Bin Laden dan Taliban bertanggung-jawab atas peristiwa 9/11. Sebagai orang yang sudah berkali-kali ke gedung kembar WTC di New York dan menyaksikan live ribuan korban tewas lewat TV, rasa amarah tidak bisa tertutupi.
Demikian juga Bush pada pidato resmi pertamanya di lokasi kejadian tiga hari setelah 9/11. Ia mengatakan, "Orang-orang yang merobohkan gedung-gedung ini akan segera mendengar dari kita!” Artinya, pembalasan dalam perjalanan.
Kampanye Bush pada tahun Pilpres 2000 bertema kebijakan “Compassionate Conservative”. Meski tekanannya pada kebijakan domestik, ternyata terbawa ke kebijakan luar negeri.
Itu sebabnya, serangan pembalasan terhadap Afghanistan pada Oktober 2001 bertemakan Operasi Kebebasan Abadi (Operation Enduring Freedom).
Dengan niat merekronstruksi suatu masyarakat dan bangsa agar kompatibel dengan budaya demokrasi, maka perang menjadi preteks untuk demokrasi atau demokrasi sebagai preteks untuk perang.
Kedengarannya mulia. Dengan niat merekronstruksi suatu masyarakat dan bangsa agar kompatibel dengan budaya demokrasi, maka perang menjadi preteks untuk demokrasi atau demokrasi sebagai preteks untuk perang. Bisa jadi campuran keduanya.
Anggap saja kubu neokonservatif digerakkan niat mulia, tetapi ternyata utopia. Atau campur-baur dengan politik kekuasaan dan uang.
Upaya AS di Afghanistan ditakdirkan untuk gagal bahkan sebelum dimulai. Kekuatan dunia mana pun secara konseptual tidak akan dapat memenangkan perang seperti ini.
Baca juga: Nasib Afghanistan Setelah Kepergian Amerika
Gagasan tentang negara asing memperkenalkan konsep-konsep seperti sistem pemerintahan multi-partai demokratis model Barat ketika penduduknya tidak menginginkan dan mengharapkan berhasil, adalah tidak serius. Memperkenalkan konsep dan ide yang dianggap artifisial, seperti nation building, yang kemungkinan besar tidak pernah dicari, dan tidak diinginkan oleh penduduk, adalah usaha tidak serius dan ditakdirkan gagal.
Kesalahan berada di tangan para dedengkot politikus dan birokrat di Washington DC, yang memeluk kuat pandangan kosmopolitan naif bahwa setiap manusia dengan terbuka memeluk nilai-nilai universal. Dan bahwa dengan sendirinya bangsa lain, yang masih asing terhadap konsep dan pandangan tersebut, akan mau melepaskan dengan sendirinya niat-niat untuk berkuasa secara langgeng dengan kontrol minimal.
Siapa mau demokrasi terbuka bila itu menjadi hambatan untuk kekuasaan langgeng dan otoriter? Jangan hanya tanya Taliban atau Korea Utara. Bahkan di AS pun, kalau bisa itu tidak terjadi. Mengapa Partai Demokrat menggunakan segala cara dalam pemilihan presiden tahun 2020 dan menolak upaya audit Pemilu 2020?
Tetapi, demi argumen, anggap saja niat neokonservatif adalah murni mulia dan naif. Tetapi, seperti kata pepatah, “the road to hell is filled with good intentions” (bahwa jalan ke neraka penuh dengan niat baik). Namun, dalam perjalanan, mereka tidak siap dengan realitas bahwa nilai-nilai demokratis memerlukan cara-cara lain dalam implementasinya.
Banyak hal bisa dipaksakan dari atas (top down), termasuk budaya. Misalnya, budaya kebersihan oleh negara. Tetapi, budaya menghargai orang lain yang berbeda pandangan tidak bisa dipaksakan secara politik dan kekuasaan.
Budaya menghargai orang lain yang berbeda pandangan tidak bisa dipaksakan secara politik dan kekuasaan.
Meski di lapangan itu sudah jelas terjadi, kaum Neokonservatif luput atau pura-pura tidak menyadari hal tersebut. Operasi nation-building dengan pendekatan dari atas tetap dipaksakan. Akibatnya, kehadiran militer adalah wajib.
Malah bersatu
Di sinilah Neokonservatif, Neoliberal, dan Kompleks Industri Militer (Military Industrial Complex) bersatu. Yang jadi korban bukan hanya rakyat Afganistan. Tetapi, juga rakyat Amerika.
Konflik diperlukan. Military Industrial Complex (MIC), seperti yang disebutkan oleh bekas Presiden AS, Dwight Eisenhower , perlu jalan terus. Dalam pemerintahan bekas jenderal itu terjadi Perang Korea. MIC adalah aliansi informal antara militer dan industri pertahanan AS yang memengaruhi kebijakan publik, khususnya luar negeri.
Di birokrat kaum neoliberal berada di kelompok yang disebut Deep State. Deep State adalah suatu jaringan rahasia yang terdiri dari pejabat pemerintah yang tidak dipilih dan terkadang entitas swasta (seperti dalam industri jasa keuangan dan pertahanan) yang beroperasi secara ekstralegal untuk memengaruhi kebijakan pemerintah.
Neokonservatif, salah satu faksi di Partai Republik, dan neoliberal, yang umumnya pendukung utama Partai Demokrat, bisa bersatu. Bukan hanya tentang Afghanistan, tetapi juga mendepak Donald Trump.
Baca juga: Trump dan Legitimasi Taliban
Sebagai pebisnis, Trump memegang prinsip pragmatisme. Kalkulasi untung rugi terhadap kepentingan AS menjadi pertimbangan utama dalam mengambil kebijakan. Itu sebabnya dia memutuskan menarik pasukan militer AS dari berbagai negara termasuk Afghanistan.
Itu juga yang mendasari pemerintahan Trump menandatangani perjanjian damai dengan pemerintahan Taliban di Afghanistan, setelah perang hampir 18 tahun.
Dia melihat keterlibatan AS di Afganistan yang sudah menewaskan lebih dari enam ribu militer dan sipil Amerika, serta energi dan dana sangat besar, terbuang dengan manfaat yang jauh lebih kecil dari biayanya. Sejak tahun 2001, operasi militer AS di Timur Tengah dan Asia, termasuk Afghanistan, sudah menelan biaya luar biasa: 6.4 triliun dollar AS.
Setiap musim pilpres, isu Afghanistan menjadi isu debat. Tetapi sebelum Trump, para calon-calon dan presiden terpilih cenderung berdebat kusir. Atau memberi jawaban politis yang menyenangkan semua orang. Tetapi isinya sama saja. Status quo. Termasuk Obama.
Trump sudah benar mengakhiri perang di Afghanistan. Kesalahannya adalah tidak melakukan lebih awal di periode pemerintahannya. Atau memang sudah terlambat. Sebab Operation Enduring Freedom sudah berubah menjadi Operation Enduring Confusion.
Dampak ke Indonesia
Taliban akan kembali menguasai Afghanistan. Nilai-nilai demokratis, apakah sudah tersemaikan atau belum, akan terkubur dengannya. Tetapi jangan lupa, kita pun punya persoalan tersendiri.
Tahun 2004, Indonesia mengalami euforia demokrasi luar biasa. Sekitar 155 juta pemilih memilih perwakilan mereka di tingkat lokal, provinsi, dan nasional. Tingkat partisipasi pemilih sekitar 80 persen, angka paling tinggi dalam satu hari pemilihan dalam sejarah dunia. Pada halaman depan, salah surat kabar terbesar dan paling berpengaruh di Amerika Serikat dan dunia The Wall Street Journal, melukiskan itu demokrasi yang subur. Hanya dalam tempo sepuluh tahun sejak jatuhnya Suharto, Indonesia menjadi salah satu negara paling demokratis di Asia.
Baca juga: Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia
Cepat atau lambat, euforia berbenturan dengan realitas. Demokrasi tanpa nasi (kebutuhan sandang pangan untuk kesejahteraan) akan buntu. Sistem pemerintahan demokrasi formal tanpa didukung oleh sistem demokrasi sebagai suatu sistem nilai yang berkembang di masyarakat dan pemerintahan niscaya akan mandul. Bahkan bisa counter productive.
Tidak heran bila kita mendengar ada kerinduan pada era pemerintahan Orde Baru. Atau ada golongan yang masih berkeras memperjuangkan ideologi sektarian untuk Indonesia.
Kita bisa memiliki prosedur demokrasi dalam proses suksesi pemerintahan. Kita memiliki sistem demokrasi dengan multi-partai. Kita bisa memiliki pemerintahan yang demokratis. Tetapi pada hakikatnya, hanya dengan memeluk nilai-nilai demokratis kita bisa berhasil mewujudkan pemerintahan dan masyarakat yang demokratis.
Itulah nilai-nilai yang menjunjung tinggi pengambilan keputusan yang demokratis, kebebasan berbicara, persamaan di depan hukum, keadilan sosial, persamaan hak kaum minoritas dengan mayoritas, dan tentunya keadilan sosial untuk semuanya. Sebab seperti kata Shirin Ebadi, “Demokrasi adalah budaya.”
Kita masih jauh dari itu. Politik oligarki dan feodalisme masih kuat. Budaya kita masih kental dengan nepotisme yang menekankan mediokritas (mediocrity), bukan meritokrasi. Tingkat kepercayaan di tengah masyarakat masih cukup rendah, sehingga membuat transaksi ekonomi dan bisnis relatif mahal. Tanpa kesejahteraan dan meritokrasi sebagai pertimbangan utama, demokrasi bisa jadi hanya utopia.
Atau mainan para elite.
Elwin Tobing, Profesor Ekonomi di Amerika Serikat