Setiap kali orang ramai membangkitkan keunggulan keragaman budaya kita seperti pada pekan perayaan kemerdekaan ini, saya jadi teringat apa yang saya jalani sebagai wartawan dulu. Terbawa pimpinan kami Pak Jakob Oetama yang berulang-ulang menyebut roh koran adalah kebudayaan, saya mengutip ucapan tersebut tak kalah berulang-ulang. Mudah-mudahan pembaca tidak bosan.
Tidak bisa saya lupakan, Pak Jakob merestui pentas Megalitikum Kuantum tahun 2005 untuk perayaan hari jadi ke-40 Kompas. Bersama banyak pihak yang terlibat, antara lain Rizaldi Siagian dan Jay Subyakto, kami berkeliling ke pelosok Nusantara untuk persiapan proyek raksasa ini.
Pada perkembangannya saya gamang sendiri dengan biaya proyek yang menggelembung luar biasa. Khawatir dan waswas. Saya menghadap Pak Jakob, bertanya bagaimana kalau melibatkan sponsor.
Pak Jakob menatap saya. Dengan pelan kemudian Pak Jakob berucap kurang lebih begini, ”Kita ini merayakan ulang tahun. Apa pantas pesta ulang tahun melibatkan sponsor.”
Sampai kini saya malu pada diri sendiri kalau ingat usul yang saya kira jenius tadi, tetapi sejatinya kurang prayoga. Betapa bodohnya saya.
Banyak yang saya bisa ingat dari kerja budaya bersama Kompas. Pernah pertengahan 1980-an saya ke Cirebon bersama sutradara kenamaan, N Riantiarno. Waktu itu Bentara Budaya Jakarta hendak mementaskan kesenian rakyat Cirebon, tarling.
Dalam pandangan para senior di Kompas yang saya banyak menimba ilmu, kesenian rakyat tidak bisa dicabut begitu saja dari lingkungan budayanya lalu dipentaskan di Jakarta. Diperlukan pemahaman terhadap konteks kebudayaan kesenian tersebut. Bersama Riantiarno, dramawan modern asal Cirebon, kami ingin dialog dengan para seniman tarling untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan baru.
Melalui Bentara Budaya, Kompas ingin melakukan praksis kebudayaan, memberi tempat bagi mereka yang termarginalkan, terpinggirkan, terancam punah. Sebelum Jakarta, upaya ini telah dilakukan oleh Bentara Budaya Yogya oleh Romo Sindhunata dan kawan-kawan, disusul belakangan Bali dan Solo.
Kami sadar, menampilkan ekspresi kebudayaan dari kelompok-kelompok yang bukan merupakan kelompok arus utama dan dominan haruslah dilakukan dengan ekstra hati-hati. Kalau tidak, bukannya melakukan apresiasi budaya, tetapi bisa terjatuh melakukan apropriasi budaya.
Apropriasi budaya maknanya lain sama sekali dengan apresiasi budaya. Artinya kurang lebih pemanfaatan simbol, artefak, dan lain-lain milik kelompok kebudayaan tertentu termasuk pakaian yang kadang memiliki makna sakral bagi kelompok bersangkutan. Biasanya praktik ini dilakukan oleh pelaku dari kelompok kebudayaan yang dominan terhadap kelompok lain yang termarjinalkan.
Jatuhnya persis seperti yang dilakukan para artis, meniru gaya rambut suku tertentu, menghitamkan kulit supaya tambah mirip, keblinger kesadaran palsu bahwa menurut mereka itulah bentuk apresiasi. Mbelgedes. Pamrih mereka, memakai istilah anak-anak muda sekarang, hanya biar kelihatan keren, cool. Dagangan tambah laris.
Gejala dunia showbiz tersebut sekarang tampaknya menghinggapi dunia politik. Para politikus mengenakan pakaian adat daerah, ambil dari suku mana saja. Mereka melakukan apa yang bisa disebut apropriasi budaya tadi. Tidak semua orang suka anut grubyuk. Selain yang menanggapi dengan puja-puji, baik karena tidak mengerti maupun diam-diam nyuwun upah, jangan salahkan komentar lain yang bernada sumbang, bahkan sarkastik.
Kembali mengingat kerja budaya bersama Kompas dulu, bersama teman-teman yang sebagian kini telah tiada, kadang muncul melankolia. Sejumlah ekspresi kebudayaan rakyat yang pernah kami tampilkan kini telah tiada tergilas arus zaman. Serupa nasib hutan Kalimantan yang merana, yang puluhan tahun lalu masa depannya dipertanyakan oleh Sardono W Kusumo lewat karya Hutan Plastik.
Saya menerima telepon dari keponakan. Dia hendak nikah. Namanya jodoh. Orang Jawa dapat Batak. ”Nanti pakai pakaian adat, ya, Pakde,” pesannya.
Waduh, saya kaget. Saya mempelajari kebudayaan, punya buku-buku babon karya Raffles, Zoetmulder, Denys Lombard, dan lain-lain, tetapi sama sekali tidak punya koleksi pakaian adat yang bisa saya pakai berganti-ganti seturut pamrih/kepentingan.
Baiklah, kali ini saja. Saya akan cari sewaan, siapa tahu nanti saya yang ndeso ini bakal tampak lebih ganteng dan menuai puja-puji banyak orang.***