Memang tidak mudah menerima tradisi dan kebiasaan baru, beribadah secara virtual. Namun, kita perlu beradaptasi karena di saat pandemi ini, kebiasaan lama bisa membahayakan nyawa.
Oleh
Yes Sugimo
·3 menit baca
Saya mengikuti rubrik Analisis Budaya yang terbit di Kompas tiap Sabtu. Sebagian bahkan saya kliping karena analisisnya mendalam dan didukung fakta akurat. Tulisan Ahmad Najib Burhani tentang ”Ibadah Virtual” (Kompas, 7/8/2021) amat bagus, layak menjadi referensi.
Tulisan itu menggarisbawahi perayaan Idul Adha pada 20 Juli 2021, dengan dilaksanakannya shalat Id secara virtual dipimpin Wawan Gunawan Abdul Wahid. Ibadah itu menembus angka maksimum kapasitas Zoom 1.000 orang. Banyak peserta yang tidak hadir sendirian, hadir bersama keluarganya. Dengan demikian, jumlah peserta shalat virtual itu bisa mencapai 3.000 orang.
Semoga tulisan itu menginspirasi para pembaca terkait pelaksanaan ibadah selama pandemi. Agar tidak menimbulkan multitafsir, perlu saya lengkapi bahwa pelaksanaan ibadah virtual sejak pandemi juga dilakukan oleh para penganut agama lain, termasuk agama Katolik, yang saya ketahui.
Ibadah virtual Katolik dilakukan hampir dalam segala jenis ritual. Mulai dari misa harian, misa setiap hari Minggu, hingga perayaan Pekan Suci saat Paskah, Kenaikan Tuhan, dan Natal. Tidak ada persoalan dalam pelaksanaannya.
Menurut Ahmad Najib Burhani, memang tidak mudah menerima tradisi dan kebiasaan baru tersebut. Namun, kita perlu beradaptasi karena di saat pandemi ini, kebiasaan lama bisa membahayakan nyawa.
Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi, Bandung, 40616
Medis Asing
Sejak kasus pertama 2 Maret 2020 hingga 18 Agustus 2021, tercatat 3.908.247 kasus positif dan 121.141 korban meninggal. Indonesia sempat mencapai kasus tertinggi, 40.427 kasus (12/6/2021).
Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara, termasuk pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dan percepatan program vaksinasi nasional untuk menciptakan kekebalan komunitas.
Kabar baik, pemerintah berhasil memvaksinasi 1,3 juta orang per hari pada 26 Juni 2021. Sayang, belum konsisten berlanjut. Hingga 18 Agustus 2021, baru 29.159.049 (12 persen) yang mendapat vaksinasi kedua. Masih jauh dari target 208.265.720.
Di sisi lain, tingkat keterisian rumah sakit (bed occupancy rate/BOR) telah melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 60 persen, ada kelangkaan oksigen, serta kelelahan dan tertularnya tenaga kesehatan.
Dikutip dari LaporCovid-19, per 28 Juni 2021 jumlah tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 916 orang. Bersyukur para tenaga kesehatan sudah mendapat booster vaksin Moderna, tetapi apakah ini cukup?
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui Indonesia kekurangan sekitar 3.000 dokter untuk mengatasi lonjakan Covid-19. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda usul mempercepat kelulusan dokter dan perawat yang sedang dalam pendidikan. Namun, hal ini bisa berisiko kurang matang dan mengganggu masa depan mereka.
Ide lain adalah menerima bantuan tenaga kesehatan asing. Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), rasio dokter umum 4,27 per 10.000 penduduk dan dokter spesialis 1,46 per 10.000 penduduk. Bantuan tenaga kerja asing diharapkan mampu mengisi gap dan mengoptimalkan penanganan Covid-19.
Jangan menganggap dokter atau tenaga kesehatan asing sebagai pesaing karena hanya bersifat sementara dan atas dasar kemanusiaan.
Penggunaan tenaga kesehatan asing diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 317/MENKES/PER/III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing di Indonesia.
Yokie Rahmad Isjchwansyah
Pasar Rebo, Jakarta, 13780
Bukti Vaksinasi
Terkait ide untuk menggunakan bukti vaksinasi sebagai salah satu syarat dalam pelbagai kegiatan, ada beberapa hal yang perlu dikaji sebelum kebijakan diterapkan.
Apakah kemampuan teknologi dan informasi pemerintah ataupun swasta sudah memadai? Apakah data Peduli Lindungi dengan dinas terkait sudah sinkron? Jika belum, akan muncul banyak kendala di lapangan.
Sebagai contoh cukup dengan data saya saja. Saya adalah penyintas yang sudah divaksinasi dua kali. Akan tetapi, data saya tidak ada di aplikasi Peduli Lindungi.
Oleh pihak puskesmas, saya diberi surat bukti vaksinasi manual. Hal ini terjadi karena data NIK saya di dinkes ter-input nama peserta lain. Sudah berulang kali update, tetapi gagal.
Sekali lagi, mohon diperhatikan hal-hal kecil, tetapi cukup merepotkan ini.