Eksistensi partai politik tidak terlepas dari peran besar para konstituennya. Kini saatnya partai politik berkontribusi nyata dalam mengurangi penderitaan konstituennya yang terdampak pandemi Covid-19.
Oleh
ZENNIS HELEN
·5 menit baca
Harian Kompas edisi Senin, 2 Agustus 2021, memuat berita tentang ”Parpol Perlu Hadirkan Solusi bagi Bangsa”. Dalam uraiannya menyoroti tentang fungsi parpol sebagai agregator, partai politik memiliki kemampuan komunikasi dan sosialisasi dua arah, yakni dari konstituen kepada pemerintah dan sebaliknya dari pemerintah kepada konstituen.
Namun, semenjak Covid-19 menjangkiti anak bangsa ini. Pasti ada konstituen parpol yang terkena. Sejauh ini, belum tampak kontribusi parpol dalam mengurangi penderitaan konstituennya. Seakan-akan, parpol tutup mata terhadap musibah ini. Kontituen dibiarkan berjuang sendiri menghadapi pandemi ini. Pertanyaan penting yang hendak diajukan adalah, pertama, mengapa hal ini terjadi, kedua, adakah yang salah dengan kontituen parpol di Indonesia?
Misteri konstituen parpol
Konstituen dalam tulisan ini diartikan dengan pemilih parpol di daerah pemilihan. Dalam tulisan ini juga disebut dengan pemilih. Dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden dan/atau wakil presiden, konstituen pasti datang ke bilik suara untuk memilih parpol dan kader yang diusung parpol itu. Pemilih yang memilih itulah yang disebut konstituen parpol.
Dalam konteks ini, ada relasi yang tidak seimbang antara parpol dan konstituen. Itu disebabkan. Pertama, konstituenlah yang mengenal parpol, sementara parpol tidak kenal dengan konstituen. Setelah parpol mendapatkan kursi di parlemen, parpol tidak kenal lagi dengan konstituen.
Kedua, prinsip pemilu yang menganut rahasia. Tentang pilihan pemilih, parpol mana yang ia pilih, tidak seorang pun mengetahuinya, kecuali pemilih sendiri dengan Tuhan. Jarang pemilih memberitahu parpol mana yang ia pilih apalagi menyampaikannya secara terbuka ke publik. Apalagi memberi tahu pengurus parpol baik di pusat maupun daerah. Akibatnya, parpol pun tidak mengetahui mana konstituennya. Sementara konstituen tahu bahwa ia menjadi konstituen dari parpol bersangkutan.
Ketiga, relasi konstituen dengan parpol yang bersifat rahasia tadi menyebabkan hubungan parpol dengan konstituennya menjadi misteri. Hubungan yang bersifat misteri tersebut akan bertambah parah apabila parpol tidak memiliki basis data konstituennya. Hal inilah yang menyebabkan parpol enggan memberikan bantuan kepada konstituennya yang terkena Covid-19. Sebab, sedari awal parpol tidak memiliki basis data konstituen yang jelas.
Parpol telah kehilangan konstituen, yang sejatinya dibantu agar penderitaan konstituen akibat Covid-19 dapat dikurangi. Ketika pun Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, penanganan pandemi masih menjadi fokus PPP. Bahkan DPP PPP menginstruksikan ke para kader untuk meningkatkan kepekaan pada krisis melalui kerja-kerja konkret (Kompas, 2/8/2021). Akan tetapi, jika parpol tidak memiliki basis data konstituen yang jelas maka parpol akan menemui kesulitan dalam fokusnya menghadapi pandemi ini.
Bahkan, sudah menjadi tabiat parpol sejak dahulu. Parpol tentu tak ingin menghabiskan waktu dan dana kepada orang yang tidak menjadi konstituen parpolnya. Karena bagi parpol berapa bantuan yang diberikan harus seimbang dengan perolehan suara ketika momentum elektoral pada 2024 sehingga wajar saja gerakan parpol di tengah pandemi ini tidak dirasakan oleh konstituen.
Konstituen pragmatis
Relasi misteri parpol dengan konstituen. Tidak melulu disebabkan oleh parpol itu. Namun, kadang kala juga disebabkan oleh konstituen itu sendiri terutama dalam memberikan suara kepada parpol ketika momentum elektoral baik pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sebab, yang menjadi alasan konstituen memberikan suara pada momentum elektoral tersebut adalah karena faktor kepentingan langsung dan sesaat, seperti pemberian uang ataupun fasilitas, pembangunan infrastruktur, pemberian akses bisnis usaha maupun peningkatan karier yang manfaatnya untuk konstituen dapat langsung dirasakan. Sementara, faktor-faktor lain seperti ikatan emosional dan kepentingan jangka menengah serta jangka panjang merupakan faktor sekunder bagi konstituen untuk menentukan pilihannya dalam pemilu (Konstituen Pilar Utama Partai Politik Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich Naumann Stiftung fuer die Freiheit, 2011).
Konstituen yang pragmatis dalam kontestasi elektoral memiliki risiko. Pertama, yang terpilih menjadi anggota DPR adalah orang-orang yang memiliki uang. Hal ini terbukti dari hasil kajian Marefus Corner, kelompok diskusi di lingkungan Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2020 menyebutkan bahwa 55 persen (318 orang) dari total anggota DPR berjumlah 575 orang itu berlatar belakang pengusaha dan hanya 19 persen (109 orang) yang politisi atau kader partai (Kompas, 1/8/2021).
Peneliti LIPI yang juga pegiat Marepus Corner Defbry Margiansah mengatakan bahwa dominasi anggota DPR berlatar belakang pengusaha itu menguatkan hipotesis politik Indonesia berbiaya mahal, dan membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Sumber daya ini tidak tidak sekadar melibatkan kekuatan dana, tetapi juga kekuatan pengaruh (Kompas, 1/8/2021).
Bahkan, dari 19 persen atau 109 orang yang berlatar belakang politisi diduga masih beririsan dengan latar belakang lainnya dengan rincian adalah anak/keluarga elite politik (5 persen/29 orang), purnawirawan TNI/Polri (2 persen/9 orang), birokat atau mantan pejabat publik (6 persen/33 orang), akademisi (4 persen/24 orang), pengacara/notaris (3 persen/20 orang), aktivis (2 persen/10 orang), agamawan (2 persen/11 orang), profesional (2 persen/10 orang) dan jurnalis (0 persen/2 orang) (Kompas, 1/8/2021).
Kedua, konstituen yang pragmatis pada akhirnya akan melahirkan oligarki yakni sekelompok elite yang korup mengelola sumber daya publik (Teten Masduki, Tawanan Oligarki Korup, Kompas.com, 18/1/2011). Kaum oligarki mengeruk kekayaan alam negeri ini sepuasnya, tanpa memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang. Kaum oligarki akan menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan kekayaannya. Politik oligarki inilah terjadi saat ini yang oleh Winters dalam buku Oligarki Teori dan Kritik, ia definisikan sebagai politik pertahanan kekayaan.
Akhirnya, calon anggota legislatif yang berlatar belakang pengusahalah yang dapat mengikuti irama konstituen pragmatis tersebut. Ketika terpilih, ia akan enggan turun langsung ke masyarakat, termasuk dalam membantu konstituen yang didera Covid-19. Inilah dilema konstituen parpol di Indonesia. Semoga saja di masa mendatang, ada perbaikan.
(Zennis Helen, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Ekasakti; Advokat di Rumah Bantuan Hukum Padang; Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)