Menyelamatkan Badak Sumatera
Badak sumatera merupakan satwa paling terancam di dunia. Kepunahan badak sumatera akan memiliki implikasi hebat karena tidak hanya kepunahan spesies, tetapi marga anggota kelas mamalia.
Kepunahan dapat terjadi tanpa kesadaran dan kesiapan kita. Tanpa perhatian dan strategi yang tepat, dikhawatirkan pada Hari Ulang Tahun Ke-100 Republik Indonesia, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) akan punah dari alam bebas.
Badak sumatera adalah satu dari lima spesies badak yang masih tersisa di dunia. Megafauna ini juga satu-satunya spesies yang masih hidup dari marga purbakala Dicerohinus.
Merupakan keunikan tersendiri ketika Dicerorhinus sebagai suatu marga (tingkatan kekerabatan di atas spesies) hanya memiliki satu spesies. Artinya, kalau badak sumatera sampai punah, tidak akan ada spesies mana pun yang mirip dengan badak sumatera yang dapat menggantikannya di alam.
Kalau badak sumatera sampai punah, tidak akan ada spesies mana pun yang mirip dengan badak sumatera yang dapat menggantikannya di alam.
Untuk menyelamatkan badak sumatera, diperlukan pemahaman permasalahannya, rencana aksi, serta upaya lebih baik, termasuk perubahan drastis strategi konservasi.
Tingkat keterancaman
Badak sumatera yang juga dikenal sebagai badak-berambut merupakan salah satu satwa paling terancam di dunia. Dulu badak sumatera tersebar luas dari Asia Selatan hingga di lintang utara Asia Timur sampai Lembah Sungai Kuning di China Utara, di Lintang Utara 35 derajat (Lander & Brunson 2018). Namun, perburuan berkelanjutan selama lebih dari tiga milenium dan kehilangan habitat telah memusnahkan hampir semua populasi badak sumatera di dunia.
Baca juga : Jika Dibiarkan, Badak Sumatera Punah 20 Tahun Lagi
Saat ini badak hanya tersisa di beberapa titik di Asia Tenggara. Di setiap lokasi jumlahnya sangat rendah serta sangat sulit berkembang biak.
Di Semenanjung Malaysia, badak sumatera dipercayai telah punah semenjak sekitar tahun 2008 (dinyatakan resminya pada 2015) dan di Sabah semenjak 2019. Badan Keahlian Dunia Serikat Konservasi Alam Internasional (IUCN) telah lama menggolongkan badak sumatera sebagai ”kritis”, yaitu menghadapi risiko luar biasa tinggi untuk punah di alam.
Di Semenanjung Malaysia, badak sumatera dipercayai telah punah semenjak sekitar tahun 2008 (dinyatakan resminya pada 2015) dan di Sabah semenjak 2019.
Di Sumatera, populasi badak sumatera yang tersisa terpencar-pencar di Aceh dan Lampung. Badak sumatera yang bertahan hanya ditemukan di Taman Nasional (TN) Gunung Leuser. Jumlahnya mungkin tidak sampai 40 ekor, dan tersebar dalam kantong-kantong populasi. Di TN Way Kambas diperkirakan paling banyak 15 ekor, di TN Bukit Barisan 2-3 ekor (sementara ahli percaya sudah punah semenjak 2014), sementara di TN Kerinci dinyatakan punah sekitar tahun 2015. Di Kalimantan Timur tampaknya tidak sampai 15 badak sumatera yang tersisa.
Kepunahan badak sumatera akan memiliki implikasi hebat. Kalau itu sampai terjadi, ini menjadi sejarah pertama kalinya pad abad ke-21 terjadi kepunahan marga (tidak hanya spesies) anggota kelas mamalia (Payne 2021).
Tidak ada spesies yang akan menggantikan badak di hutan tropika humida Sumatera ataupun Kalimantan. Sumatera sedang mengalami kehilangan hutan yang hebat. Pada 1985, dari 44 juta hektar lahan pulau, 25 juta hektar (57 persen) berhutan. Pada 2016 hanya 11 juta hektar lahan berhutan yang masih tersisa (Eyesontheforest, 2021). Sementara itu, Kalimantan Timur pada 2002-2020 kehilangan 1,17 juta hektar areal hutan primer (Global Forest Watch, 2021).
Konservasi badak
Badak diburu karena culanya. Masih banyak kebudayaan di Asia yang percaya bahwa cula badak merupakan obat tradisional untuk berbagai penyakit, bahkan termasuk kanker. Namun, secara medis, ”manfaat” cula badak tidak pernah terbukti.
Di luar perburuan, badak menghadapi permasalahan besar lain, yaitu kesulitan bekembang biak. Selama 40 tahun penelitian, ditemukan bahwa sebanyak 70 persen populasi badak sumatera betina (baik di penangkaran maupun di alam bebas) mengalami kendala reproduksi, berupa timbulnya tumor dan kista dalam uterus (Schaffer, Agil, Zainudin 2020). Artinya, kehamilan alami (tanpa bantuan) dua kali lipat lebih mungkin untuk gagal dibandingkan dengan berhasil. Oleh karena itu, diperlukan bantuan khusus campur tangan manusia, setidaknya sampai populasinya kembali aman.
Pengalaman pahit Malaysia kehilangan semua badak sumateranya pada 2019 telah ditulis secara sangat detail dalam The Hairy Rhinoceros- Lessons for Management of the last Asian Megafauna (John Payne, dalam penerbitan). Penulisnya, seorang ahli konservasi hidupan liar Malaysia, mendeskripsikan upaya konservasi badak sumatera selama 40 tahun.
Baca juga : Cegah Kepunahan, Habitat Badak Sumatera Akan Diproteksi Penuh
Ternyata selama ini pekerja konservasi lapangan sering terjebak dengan dugaan bahwa badak sumatera masih bertahan di beberapa lokasi. Asumsinya, karena hutan terlalu lebat dan badak bersifat pemalu, badak sulit dilihat. Namun, bukti lapangan berkata sebaliknya. Kamera jebak, misalnya, membuktikan bahwa di beberapa lokasi, badak sumatera memang sudah tidak ada lagi. Di Suaka Margasatwa Tabin, Sabah, upaya 18 bulan pemantauan dengan 100 kamera hingga 2 April 2014 tidak menghasilkan bukti keberadaan badak sama sekali (Payne, op cit).
Gejala yang tak kalah penting adalah penurunan populasi yang tidak disadari akibat keterbatasan data. Sebagai contoh, laporan di lapangan masih menunjukkan kelahiran badak baru. Namun, ketika kita terlena dengan penemuan satu atau dua anak badak baru, jumlah yang mati atau diburu tidak terdeteksi.
Belajar dari pengalaman
Diperlukan keputusan-keputusan berani untuk menyelamatkan badak sumatera. Dari pengalaman getir Malaysia kehilangan badak sumatera dari habitat alaminya di Semenanjung Malaya dan Sabah, terbukti melindungi di alam saja tidak cukup. Apalagi ketika kelangkaan disebabkan keterbatasan kemampuan badak untuk berbiak.
Penyelamatan sudah harus dilakukan melalui penangkaran-konservasi. Untuk itu, pemerintah telah membangun fasilitas fasilitas suaka badak di Lampung dan Aceh serta Kaltim. Penangkaran-konservasi di Lampung dua kali berhasil membuahkan kelahiran alami. Ini membuktikan bahwa dalam lingkungan terkontrol, reproduksi badak dapat dibantu. Teknologi terbaru pembiakan konservasi, yaitu teknologi reproduksi perbantuan dan untuk pengayaan materi genetika, Bank Bio kini digenggam Indonesia (Agil 2021).
Penangkaran-konservasi di Lampung dua kali berhasil membuahkan kelahiran alami.
Untuk penangkaran-konservasi akan dibutuhkan penangkapan-penangkapan individu badak di alam. Badak perlu dikumpulkan untuk dikembangbiakkan di suaka badak dan dilepas di kemudian hari setelah jumlah di penangkaran meningkat. Penangkaran-konservasi merupakan upaya drastis.
Seperti halnya di Malaysia, keraguan menempuh risiko mengambil badak dari alam untuk tujuan penangkaran-konservasi dapat berdampak fatal. Seperti di Malaysia juga, tanpa bantuan penangkaran konservasi, badak sumatera akan punah dari alam.
Terobosan telah dibangun, melalui RAD-Rencana Aksi Darurat Penyelamatan Populasi Badak (2018-2021) oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Bagi populasi dengan jumlah 15 individu atau lebih, dilaksanakan aksi darurat dalam bentuk perlindungan intensif dan monitoring populasi. Namun, untuk populasi yang terisolasi dalam kantong atau fragmen hutan dengan jumlah kurang dari 15 individu dilakukan penyelamatan individu ke suaka badak sumatera.
Bagaimanapun, RAD tersebut telah hampir habis masa berlakunya sehingga perlu diperbarui dengan data terbaru, termasuk menurun drastisnya populasi badak di Way Kambas.
Hal yang akan lebih kontroversial, tetapi sangat logis adalah keperluan menangkap dan menangkarkan badak yang terbukti sehat dan memiliki kemampuan berbiak. Selama ini badak yang ditangkarkan diambil dari populasi yang ternyata memiliki masalah reproduksi sehingga di alam pun sulit berbiak.
Peluang dan tantangan
Perlindungan tidak harus selalu bergantung pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah dapat berperan penting untuk memfasilitasi penangkaran-konservasi, bahkan meningkatkan perlindungan badak dan habitat di beberapa lokasi kritis. Daerah pula yang akan membangun ketahanan masyarakat lokal agar perburuan badak diawasi hingga tingkat desa.
Alangkah baiknya apabila diberikan insentif konservasi badak di daerah, misalnya kebijakan penganggaran berbasis kinerja konservasi, termasuk transfer fiskal ekologi. Untuk koordinasi badak diperlukan kelegowoan kedua belah pihak (daerah dan pusat). Bagaimanapun, semua individu yang tersisa perlu dikelola secara terintegrasi.
Baca juga : Aceh Timur Siapkan 72.000 Hektar untuk Suaka Badak Sumatera
Provinsi Aceh benteng sangat penting bagi badak sumatera. Untungnya, sejauh ini pemerintah daerah memperlihatkan kepedulian mereka. Suaka badak di Aceh Timur terwujud berkat dukungan kuat bupati.
Mungkin, saat ini kondisi badak sumatera mirip dengan keadaan di Malaysia, 25 tahun sebelum semua populasi punah di negeri jiran. Masih ada harapan buat badak sumatera di Indonesia. Namun, waktunya tidak banyak lagi. Kepemimpinan otorita untuk menyinergikan semua pengetahuan dan kewenangan serta tanggung jawab menjadi kunci penyelamatan badak sumatra.
Mochamad Indrawan, Peneliti Institute for Sustainable Earth and Resources (ISER - FMIPA), Universitas Indonesia