Namun, yang jadi pertanyaan, mengapa bangsa ini hanya sekadar bisa mengenang manusia hebat di negerinya, tetapi tidak bisa meneladani perilakunya?
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Hakim Agung Artidjo Alkostar (almarhum) dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana dari pemerintah. Penganugerahan dilakukan Kamis, 12 Agustus 2021.
Selain Artidjo, ada 300-an orang yang menerima Bintang Mahaputera. Pemberian penghargaan untuk Artidjo layak bukan hanya karena jabatan terakhirnya sebagai Ketua Bidang Pidana Mahkamah Agung dan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Artidjo layak menerima penghargaan, bahkan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, justru karena integritas dan kontribusinya dalam mengeliminasi korupsi di negeri ini.
Kebetulan pemberian Bintang Mahaputera tahun 2021 bersamaan dengan peringatan ulang tahun Mohammad Hatta, 12 Agustus 1902. Hatta dikenal sebagai tokoh yang bersih dan punya integritas tinggi. Namanya diabadikan sebagai Bung Hatta Anti Corruption Award. Jabatan Hatta yang begitu tinggi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Namun, kemewahan jabatan tak dimanfaatkan Hatta ataupun Artidjo. Untuk membeli sepatu Bally pun, Hatta tak mampu.
Integritas Artidjo dan Hatta inilah yang hilang dari republik ini. Di tengah elite politik yang gemar pamer kemewahan, berpidato kosong, Artidjo dan Hatta adalah tokoh berbeda dengan arus besar tren perilaku politik kontemporer saat ini.
Di lingkungan Mahkamah Agung (MA), Artidjo sempat merasa terasing. Dia merasa terkucil dengan lingkungan tempat kerjanya. Artidjo adalah sosok yang menjiwai setiap putusannya punya manfaat untuk membantu negeri ini bersih dari korupsi. Karena dia meyakini, korupsi itu memiskinkan negeri dan memperlebar kesenjangan sosial. Ia ingin menjadikan palu hakimnya untuk memberikan keadilan kepada masyarakat dan memperbaiki negeri.
Artidjo adalah sosok yang menjiwai setiap putusannya punya manfaat untuk membantu negeri ini bersih dari korupsi.
Bangsa ini punya beberapa tokoh besar. Artidjo Alkostar, Mohammad Hatta, Hoegeng Imam Santosa, Yap Thiam Hien, dan Agus Salim adalah tokoh bangsa yang bersih. Namun, yang jadi pertanyaan, mengapa bangsa ini hanya sekadar bisa mengenang manusia hebat di negerinya, tetapi tidak bisa meneladani perilakunya?
Kita coba kutip memo Hoegeng kepada Kapolri Jenderal Widodo Budidarmo pada tahun 1977. Hoegeng menulis, ”Wid, sekarang ini kok polisi kaya-kaya. Dari mana duitnya. Sebagai mantan Kapolri, saya benar-benar prihatin dan malu dengan adanya kasus itu.” Dalam buku Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, Hoegeng pernah berkata, ”Selesaikan tugas dengan kejujuran karena kita bisa makan dengan nasi garam.”
Ada juga pengacara Yap Thiam Hien yang berani mengatakan, ”Jika Saudara ingin menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara merasa puas dengan menemukan kebenaran Saudara, maka saya mau menjadi pembela Saudara.”
Mereka adalah tokoh konsisten. Satu kata, satu perbuatan. Sangat kontras dengan suasana kebatinan kontemporer saat ini ketika keadilan dan kebenaran ditransaksikan. Ketika penegak hukum sama-sama mengotori mata air keadilan.