Dua puluh enam tahun lalu sejak penerbangan perdana bersejarah pesawat N-250, lalu menjadi dasar momen itu sebagai Hari Kebangkitan Teknologi, setiap 10 Agustus.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pesawat N-250 yang saat itu menerapkan teknologi mutakhir fly by wire kini menjadi salah satu penghuni Museum Dirgantara di Yogyakarta. Kita punya warisan sejarah, tetapi di sisi lain ada kekecewaan mendalam. Bukan itu rencana semula. N-250 dan produk lain industri strategis berkandungan teknologi sebenarnya untuk menjadi penghela perekonomian nasional, dan menarik Indonesia menjadi negara industri maju.
Kini, 26 tahun kemudian, muncul refleksi dan tekad baru untuk menjadikan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) sebagai landasan untuk menguatkan kembali riset dan teknologi untuk memajukan bangsa. Kita berharap wacana bukan retorika, tetapi benar-benar diwujudkan.
Mengikuti jejak perkembangan dan pemanfaatan teknologi masa lalu, ada sejumlah hal yang bisa menjadi bekal pengembangan selanjutnya. Kemampuan menguasai rekayasa tekno- logi, misalnya dengan N-250. Insinyur dan perekayasa teknologi Indonesia tak diragukan. Namun, untuk menjadi produk industri yang sukses, kemampuan rekayasa teknologi baru tahap permulaan.
Dibutuhkan keahlian pemasaran, dan terkait produksi, juga dibutuhkan manajemen yang mumpuni. Salah satu kritik pada era itu adalah inefisiensi, yang membuat harga produk jadi kelewat mahal. Kapal Mina Jaya dengan mudah dipinggirkan oleh kapal impor, meski bekas.
Hal lain adalah kurang solidnya konsensus nasional. Bukan rahasia lagi bahwa pada saat itu dalam strategi pembangunan ekonomi ada mazhab Widjojonomics dan Habibienomics yang membuat sumber daya tak bisa difokuskan. Dan, tak kalah penting, meski teori nilai tambah yang diusung Habibienomics menjanjikan, dengan harga lebih mahal dan belum sempurnanya produk karena masih dikembangkan, membuat produk industri hi-tech saat itu mudah dicela.
Krisis keuangan/ekonomi multidimensi pada 1997/1998 menuntaskan kegagalan Habibienomics. Dana Moneter Internasional (IMF) yang menolong Indonesia melarang alokasi anggaran untuk proyek seperti N-250. Beruntung, di antara warisan industri strategis saat itu masih ada yang tetap hidup, meski terengah-engah. PT PAL Surabaya, misalnya, masih bisa membuat kapal selam.
Berikutnya Indonesia harus membuktikan satunya kata dengan tindakan. Tak usah muluk-muluk dengan wacana canggih. Industri nasional yang urgen untuk dikembangkan, antara lain yang terkait substitusi impor. Jika kita bisa memproduksi beras, gula, garam, dan kedelai, serta buah-buahan tropis dengan efisien, dan menghilangkan impor komoditas tersebut, ini sudah prestasi. Sebab, itu menjadi bukti kita bisa memangkas musuh inovasi, yakni mentalitas ”kalau bisa beli, mengapa bikin sendiri”.
Ke depan, tantangan makin pelik. Teknologi Revolusi Industri 4.0, seperti kecerdasan buatan dan internet segala, juga otomasi, membutuhkan otak pintar, tangan terampil, dan jiwa nasionalistis. Soal mendasar ini harus kita beresi.