Sejak Perang Dingin berakhir, AS yang disebut sebagai adidaya tunggal dunia kini harus menerima kenyataan: China terus memperkuat angkatan perangnya, dan Rusia yang kini lebih kuat.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Sebagian orang beranggapan perang konvensional sudah menjadi isu yang anakronistis atau anatematis. Orang pun bergeser ke arah perang nonkonvensional.
Jika kita baca buku The Three Trillion Dollar War karya Joseph Stiglitz dan Linda Bilmes (2008), tampak ada kenihilan pencapaian tujuan perang, berdasarkan perang Amerika Serikat di Irak dan Afghanistan. Selain ongkosnya supermahal, dampak kolateralnya besar.
Sering juga perang tak mencapai tujuan politik. Di Irak, Saddam Hussein bisa digulingkan, tetapi krisis politik terus berlangsung. Hal kurang lebih sama terjadi di Afghanistan, yang bisa jadi akan dikuasai Taliban, meski AS dan sekutunya sudah mengerahkan mesin perang yang dahsyat.
Perang nonkonvensional, dan yang mutakhir, adalah perang siber, dari sisi kategorinya bisa dimasukkan sebagai perang generasi keempat. Keseimbangan kekuatan tidak selalu menjadi faktor utama. Bisa terjadi David mengalahkan Goliath.
Namun, kuasa utama dunia tak mau percaya pada teori baru di atas. Upaya AS mengembangkan jet tempur canggih, seperti F-22 Raptor dan F-35 Lightning II, oleh Rusia diimbangi dengan mengembangkan jet, seperti Su-57 Felon. Oleh China diimbangi dengan jet tempur generasi kelima yang diklaim sepadan, yakni Chengdu J-20 (Naga Sakti).
Hari Senin (2/8/2021), Kompas melaporkan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) konvensional dan nuklir Rusia. Kita mencatat munculnya rudal hipersonik, yang mampu meluncur di atas Mach 5,5 atau sekitar 6.000 kilometer per jam, yang dikabarkan mulai beroperasi tahun 2018. Kecepatan dan daya manuvernya itu tak bisa dibendung dengan sistem pertahanan apa pun yang dimiliki AS.
Arsenal baru Rusia juga mewujud dalam kapal selam dan alutsistanya, berupa torpedo jarak jauh. Sistem Poseidon ini juga disebut dilengkapi dengan reaktor nuklir mini dan bisa bergerak bak wahana nirawak. Alutsista Poseidon akan diangkut dan diluncurkan dari kapal selam kelas Yasen yang sudah mewujud dalam dua kapal selam bertenaga nuklir. Kapal pertama dikenal dengan nama Severodvinsk. Karena tak bisa melacak Severodvinsk di Samudra Atlantik, Panglima Armada Kedua di Atlantik Laksamana Madya Andrew Lewis menyatakan, samudra itu tak aman bagi armada NATO.
Kita mencatat munculnya rudal hipersonik, yang mampu meluncur di atas Mach 5,5 atau sekitar 6.000 kilometer per jam.
Jika klaim dan fakta tentang alutsista mutakhir Rusia benar adanya, ini sungguh kemajuan yang luar biasa. Apalagi, Presiden Rusia Vladimir Putin juga sudah menyatakan bahwa negaranya bisa menyerang siapa saja tanpa bisa ditangkis.
Memang hal yang sah jika suatu negara mengembangkan sistem alutsista untuk tujuan pertahanan dan menjaga keamanan nasionalnya. Namun, negara pesaing tentu tak akan tinggal diam dengan keunggulan yang dicapai lawan. Di sinilah potensi perlombaan senjata akan terus hidup.
Kita waswas, semua kemajuan dalam teknologi alutsista itu muncul justru ketika kondisi geopolitik tak begitu baik. Sejak Perang Dingin berakhir, AS disebut sebagai adidaya tunggal dunia, kini harus menerima kenyataan: China terus memperkuat angkatan perangnya, dan Rusia yang kini lebih kuat.