BI bersama pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan perlu mendorong perbankan untuk melakukan penyesuaian suku bunga kredit sebagai bagian dari upaya bersama mendorong penyaluran kredit dunia usaha untuk pemulihan ekonomi.
Oleh
ARDHIENUS
·5 menit baca
Salah satu upaya Bank Indonesia menguatkan dan mengakselerasi transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial adalah melalui transparansi suku bunga dasar kredit perbankan.
Kebijakan ini diambil pada rapat dewan gubernur (RDG) awal tahun 2021 dan diterapkan dengan merilis hasil asesmen transmisi suku bunga kebijakan kepada suku bunga kredit perbankan setiap bulan. Transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) juga merupakan bagian dari bauran kebijakan BI.
Perbankan Indonesia menggunakan SBDK sebagai dasar untuk menetapkan suku bunga kredit yang akan dikenakan pada nasabah. Namun, besaran SBDK itu belum mencakup premi risiko yang bisa berbeda untuk tiap debitor. Jadi, suku bunga kredit untuk tiap debitor akan berbeda dengan SBDK.
Komponen pembentuk SBDK terdiri atas tiga bagian, yaitu harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overhead, dan margin keuntungan. Isi HPDK sendiri sebagian besar berupa biaya kegiatan pengumpulan dana pihak ketiga bank yang tecermin dari bunga simpanan, khususnya deposito.
Publikasi hasil asesmen SBDK sejatinya merupakan international best practices di kalangan bank sentral di seluruh dunia.
”Best practices”
Selain untuk mendorong transmisi kebijakan moneter agar lebih efektif, transparansi SBDK ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan tata kelola, disiplin pasar, dan kompetisi dalam pembentukan SBDK perbankan. Harapannya, SBDK yang ditawarkan bank dapat lebih kompetitif dalam mendorong permintaan kredit dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Publikasi hasil asesmen SBDK sejatinya merupakan international best practices di kalangan bank sentral di seluruh dunia. Tak hanya BI, beberapa bank sentral di negara lain juga menyampaikan asesmen mereka terkait SBDK ini, seperti Malaysia, India, dan China.
Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) meminta tiap negara anggotanya menyampaikan reference rate lending dan reference deposit rate dipublikasikan sebagai selisih referensi suku bunga pinjaman terhadap suku bunga simpanan. Setidaknya ada beberapa manfaat dari penyampaian hasil asesmen SBDK ini.
Pertama, masyarakat dan dunia usaha menjadi tahu bank mana saja yang memberikan bunga kredit yang paling rendah sehingga menjadi salah satu pertimbangan tatkala mereka akan mengambil kredit di bank.
Kedua, memberikan informasi mengenai perkembangan SBDK pada setiap kelompok bank, jenis kredit, dan komponen pembentuk SBDK sehingga publik dapat mengetahui kelompok bank mana, jenis kredit, atau komponen apa yang membuat SBDK tidak banyak berubah, misalnya, meski suku bunga kebijakan BI telah cukup banyak menurun.
Lalu, bagaimana gambaran yang dapat kita peroleh dari asesmen SBDK pada RDG pada 21-22 Juli 2021? Sebagaimana kita tahu, guna mendorong pemulihan ekonomi nasional sejak awal 2020 hingga Februari 2021, BI telah menurunkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 150 basis poin (bps) menjadi 3,5 persen. Besaran bunga acuan tersebut terus dipertahankan hingga Juli 2021.
Sementara SBDK selama rentang Januari 2020-Mei 2021 telah turun sebanyak 195 bps, yaitu dari 10,81 persen menjadi 8,86 persen. Ini memperlihatkan SBDK telah turun lebih banyak dibandingkan BI7DRR.
Apabila ditelisik dari komponen pembentuk SBDK, terlihat penurunan SBDK sebagian besar berasal dari HPDK yang menurun sebanyak 156 bps, yaitu dari 4,79 persen menjadi 3,14 persen.
Sementara penurunan biaya overhead dan margin keuntungan relatif tidak besar. Biaya overhead hanya turun 25 bps, dari 3,5 persen menjadi 3,21 persen, sedangkan margin keuntungan turun lebih sedikit lagi, yaitu 12 bps dari 2,63 persen menjadi 2,51 persen.
Kendati begitu, penurunan SBDK terlihat semakin terbatas bulan demi bulan.
Persepsi risiko
Kebijakan BI menurunkan suku bunga acuan dan mengguyur likuiditas ke perekonomian melalui quantitative easing cukup berhasil dalam mendorong penurunan SBDK. Pada sisi lain, efisiensi operasional yang dilakukan pelaku perbankan melalui digitalisasi layanan perbankan juga mampu menurunkan biaya overhead dalam bentuk pengurangan karyawan dan kantor bank.
Sebaliknya, penurunan margin keuntungan yang tampaknya agak tertahan. Kebutuhan pembentukan biaya cadangan kredit untuk antisipasi peningkatan kredit bermasalah dan struktur pasar perbankan yang oligopoli ditengarai menjadi alasan di balik belum banyaknya penurunan pada komponen margin keuntungan.
Kendati begitu, penurunan SBDK terlihat semakin terbatas bulan demi bulan. Sebagai gambaran, pada Mei 2021, SBDK hanya turun 1 bps (month-to- month/mtm), ketimbang April dan Maret 2021 yang masing- masing turun 3 bps dan 15 bps. Kondisi itu lebih disebabkan komponen biaya overhead dan margin keuntungan yang kembali naik pada Mei 2021 (mtm) masing-masing dari 3,20 persen dan 2,48 persen menjadi 3,21 persen dan 2,51 persen.
Aspek lain yang menjadi perhatian juga terlihat pada peningkatan premi risiko yang mulai menanjak sejak pertengahan 2019 dengan akselerasi yang kian cepat sejak triwulan IV-2020, dan mencapai puncaknya pada Maret 2021 yang mencapai 1,69 persen.
Hal ini mengindikasikan masih tingginya persepsi risiko dari perbankan terhadap dunia usaha, imbas dari stagnannya pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi yang lantas berujung pada resesi akibat terpapar pandemi Covid-19. Namun, premi risiko ini sedikit turun 9 bps pada Mei 2021 seiring dengan mulai menggeliatnya kegiatan ekonomi masyarakat dan dunia usaha.
Sayangnya, penurunan SBDK itu belum sepadan dengan penurunan suku bunga kredit baru. Selama periode Mei 2020 hingga Mei 2021, penurunan SBDK tercatat 169 bps, sementara suku bunga kredit baru hanya turun 64 bps.
Masih tingginya persepsi risiko kredit membuat terbatasnya penurunan suku bunga kredit baru.
Oleh karena itu, BI bersama pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan tetap perlu mendorong perbankan untuk melakukan penyesuaian suku bunga kredit sebagai bagian dari upaya bersama mendorong penyaluran kredit ke dunia usaha, guna memulihkan ekonomi nasional. Selain itu, perbankan perlu juga didorong untuk menggenjot pendapatan nonbunga yang berasal dari kegiatan transaksi valuta asing, perdagangan surat berharga, dan pendapatan berbasis komisi.
Ardhienus, Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia.