Di tengah gelombang pandemi Covid-19 yang memuncak, peningkatan kunjungan ke layanan kesehatan anak menjadi tak mudah untuk dilakukan. Karena itu, pemerintah perlu mendesain suatu cara atau metode baru dan prokes ketat.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang belum mereda hingga kini mengancam kelangsungan hidup anak di Tanah Air. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan, kematian anak akibat Covid-19 mencapai 3-5 persen atau tertinggi di dunia.
Tingginya angka kematian anak di Indonesia ini sekaligus merefleksikan bahwa derajat kesehatan anak di masa pandemi berada di level terendah pada tataran global.
Tingginya angka kematian anak akibat Covid-19 berpotensi menyebabkan kemunduran dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang diluncurkan sejak 1990 dan mendistorsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dilaksanakan sejak 2015.
Sebelum Covid-19 mewabah, diketahui angka kematian anak terus mengalami penurunan dan angka umur harapan hidup dari anak yang dilahirkan juga meningkat.
Belum optimal
Atas dasar itu, diperlukan upaya serius dari semua pihak agar kematian anak di Tanah Air dapat segera dikendalikan dengan meningkatkan derajat kesehatan anak. Diyakini, hal itu bisa dilakukan, mengingat kematian anak sejatinya masih dapat dicegah. Namun, sayangnya, upaya ini belum dilakukan secara optimal. Dalam konteks ini, kontribusi ketiga pilar, yakni pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, menjadi penting.
Dari pihak pemerintah, turunnya upaya pencegahan penurunan derajat kesehatan anak boleh jadi karena kegiatan pemerintahan kini terkonsentrasi pada penanganan Covid-19 sehingga perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan anak menjadi berkurang, terutama dalam soal layanan kesehatan. Hal ini juga tecermin dari turunnya layanan kesehatan di masa pandemi di banyak negara.
Survei yang dilakukan Unicef di 77 negara menunjukkan, hampir 68 persen dari 77 negara itu mengalami disrupsi pemeriksaan kesehatan anak dan layanan imunisasi.
Kelangsungan hidup anak juga amat bergantung pada kesehatan ibu yang secara rutin memeriksakan kesehatannya pada layanan kesehatan, terutama ketika hamil dan melahirkan.
Kelangsungan hidup anak juga amat bergantung pada kesehatan ibu yang secara rutin memeriksakan kesehatannya pada layanan kesehatan, terutama ketika hamil dan melahirkan. Di masa pandemi Covid-19, kurangnya pemeriksaan secara rutin bagi ibu hamil mengakibatkan 16 persen mereka berisiko kehilangan bayi yang dikandung dan 24 persen berpotensi melahirkan prematur (Unicef, 2020).
Dikhawatirkan, jika kunjungan ke layanan kesehatan terus menurun, hal itu akan kian menurunkan derajat kesehatan masyarakat, terutama anak-anak, sehingga semakin rentan tertular Covid-19. Turunnya layanan kesehatan ini juga berpotensi meningkatkan kematian anak akibat penyakit lain di luar Covid-19.
Di tengah gelombang pandemi Covid-19 yang memuncak, peningkatan kunjungan ke layanan kesehatan menjadi tidak mudah untuk dilakukan. Untuk itu, pemerintah perlu mendesain suatu cara atau metode baru dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat agar pengunjung ke pusat layanan kesehatan merasa aman dan nyaman.
Masyarakat dan dunia usaha
Selanjutnya, dari sisi masyarakat, belum optimalnya upaya pencegahan kematian anak akibat tertular Covid-19, antara lain, tecermin dari hasil survei BPS tentang perilaku masyarakat di masa pandemi Covid-19 pada 7-14 September 2020. Hasil survei menunjukkan, semakin muda usia penduduk, semakin kurang disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan.
Secara faktual, hal itu terungkap dari perilaku dalam memakai masker, menggunakan hand sanitizer, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Kepatuhan pemakaian masker pada kelompok usia 30 tahun ke bawah tercatat 90,1 persen atau yang terendah, sedangkan kelompok usia 60 tahun ke atas yang tertinggi dengan pemakaian masker 93,1 persen. Untuk penggunaan hand sanitizer, pada usia di bawah 30 tahun sebesar 71,8 persen (terendah), sedangkan pada usia 60 tahun ke atas 83,7 persen (tertinggi).
Kebiasaan mencuci tangan yang terendah juga terlihat pada kelompok usia di bawah 30 tahun (sekitar 66 persen), sedangkan pada usia tua 60 tahun ke atas tertinggi dengan angka 85,8 persen.
Hal sama terjadi dalam menjaga jarak. Hanya 64,0 persen (terendah) dari kelompok usia di bawah 30 tahun yang mematuhi. Untuk kelompok usia 60 tahun ke atas, 86,0 persen atau tertinggi.
Seiring menurunnya pendapatan keluarga, pemenuhan kebutuhan anak, terutama asupan gizi, menjadi berkurang sehingga menurunkan daya tahan fisik mereka dari risiko tertular Covid-19.
Banyak pihak menengarai, kurangnya pengawasan orangtua terhadap anggota keluarga mereka merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya kepatuhan penduduk usia muda, terutama anak-anak, dalam menjalankan protokol kesehatan. Hal ini terjadi ditengarai karena kesibukan orangtua bekerja, ketidakmampuan membeli alat perlindungan diri seperti masker dan hand sanitizer, serta minimnya pengetahuan tentang penularan virus.
Sementara itu, dari sisi dunia usaha, turunnya perlindungan terhadap anak terutama karena berkurangnya kemampuan ekonomi keluarga akibat PHK serta terhentinya usaha di masa pandemi.
Seiring menurunnya pendapatan keluarga, pemenuhan kebutuhan anak, terutama asupan gizi, menjadi berkurang sehingga menurunkan daya tahan fisik mereka dari risiko tertular Covid-19. Hal ini diperparah dengan perilaku sekelompok oknum dunia usaha yang mengeruk keuntungan di masa pandemi dengan menaikkan harga barang dan jasa yang amat dibutuhkan masyarakat, seperti obat-obatan dan tabung oksigen.
Persoalan yang dihadapi anak merupakan persoalan bangsa sehingga setiap komponen bangsa—pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha—perlu bahu-membahu melindungi anak dari penurunan derajat kesehatan, terutama yang berakibat kematian.
Razali Ritonga,Peneliti Fenomena Sosial-Kependudukan. Alumnus Georgetown University, Amerika Serikat.