Sejak 2012 penjualan gula petani tergantung pada dinamika pasar. Manajemen stok yang bersumber pada pengaturan impor menentukan keabsahan efektivitasnya. Kegagalan memanajemen stok memantik tergelincirnya pasar gula.
Oleh
ADIG SUWANDI
·6 menit baca
Ineterasi ekonomi Indonesia ke dalam jaringan kapitalisme global telah memaksa harmonisasi pengaturan domestik versus kesepakatan internasional dalam satu tarikan napas. Konsensus menjadi dasar bagi banyak negara untuk mengalirkan barang dan jasa secara lintas batas. Semakin banyak kesepakatan dibuat, semakin rumit aturan derivat harus dipatuhi. Kedaulatan ekonomi sebuah bangsa bisa tersandera kepentingan dimaksud.
Secara sederhana dan rasional, mobilitas barang dan jasa dimaksudkan semua orang bisa leluasa memilih produk berkualitas tinggi dan harga sangat murah, tetapi dalam praktik tidaklah demikian. Distorsi pasar dan pemaksaan keinginan beberapa kekuatan ekonomi dunia guna melindungi kepentingan produksi domestiknya, seringkali memantik praktik perdagangan tidak sehat (unfair trade) yang berpotensi merugikan negara lain. Destruksi harga terjadi pada produk lokal begitu jumlah barang impor terakumulasi.
Gejolak harga komoditas agribisnis primer ketika memasuki puncak produksi atau masa panen raya, sesungguhnya juga merupakan fenomena musiman (seasonal) alamiah belaka. Kompleksitas permasalahan tereskalasi begitu produk lokal berhadapan dengan barang impor. Fakta empirik tersebut kini dialami petani tebu rakyat di seantero Jawa menyusul ancaman tidak terserapnya gula hasil giling tahun 2021. Sejak harga gula diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, praktis harga merupakan fungsi antara penawaran dan permintaan. Interaksi di antaranya sulit dipahami dalam ketidaksempurnaan pasar.
Sejak harga gula diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, praktis harga merupakan fungsi antara penawaran dan permintaan.
Perilaku pasar
Perilaku pasar selalu mengindikasikan, begitu jumlah barang ditawarkan lebih sedikit dibanding permintaan, terbentuklah harga relatif tinggi. Sebaliknya, pasar memberikan sinyal negatif berwujud harga rendah apabila jumlah barang ditawarkan jauh lebih banyak dibanding permintaan. Panen menstimulasi akumulasi stok secara musiman dan perlu penyelamatan melalui mekanisme penahanan untuk tidak semuanya dilepas pada kondis kurang menguntungkan seperti panen.
Terlalu rendahnya harga gula menyebabkan sejumlah distributor dan pedagang tidak berani melakukan penawaran harga. Kekhawatiran terjadi sebagai antisipasi gula yang sudah terbeli dari produsen (petani dan pabrik gula) tidak laku jual atau kalau pun laku harga akan lebih rendah lagi. Alarm tergelincirnya pasar gula telah berbunyi. Semua pihak akhirnya menahan diri bersikap wait and see dengan menyiasati perkembangan terbaru sebelum merespons dan mengambil sikap.
Walaupun demikian, kita diingatkan bahwa negeri ini adalah negara konsumen (net importer) gula selama bertahun-tahun. Impor tidak hanya menyangkut gula kristal mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gula rafinasi guna dipasok ke industri makanan/minuman, melainkan juga gula konsumsi (plantation white sugar) melalui pengolahan raw sugar impor lainnya dan impor langsung.
Surplus atas jumlah impor atau belum terjual habis saat giling tiba berpeluang mendestruksi pasar. Bisa pula berimbas menyulitkan penjualan gula petani. Teramputasinya harga gula diduga kuat memunculkan sikap pemerintah meminta kalangan pabrikan gula membeli gula petani dengan harga Rp 10.500 per kilogram.
Langkah tersebut rasanya sangat membantu petani guna mendapatkan kepastian jual meski mungkin harga belum sesuai ekspektasi menyusul besarnya biaya usaha tani. Berbeda dengan kalangan pabrikan gula yang akan merasa sangat berat yang sejak tiga tahun terakhir didera defisit bahan baku pada tingkatan kronis sehingga secara finansial kedodoran. Sebagian di antara pabrik tersebut ditidurkan atau dihentikan operasinya, sedangkan sebagian lainnya terpaksa beroperasi meski di bawah bayang-bayang merugi.
Masa giling 2020, pemerintah pernah mengambil sikap agar gula petani bisa diserap kalangan importir. Kesepakatan bersama antara importir dan petani pun ditandatangani, antara lain berisi importir siap menyerap gula petani yang jumlahnya untuk masing-masing proporsional terhadap perolehan impor dengan harga Rp 11.200 per kilogram. Juga tercantum, apabila harga jual gula nanti di bawah Rp 11,200, praktis kesepakatan tidak berlaku lagi. Dalam perjalanannya terbukti, harga Rp 11.200 hanya terjadi pada awal giling, sementara episode selanjutnya jauh di bawah, bahkan akhirnya hanya Rp 10.600.
Bergerak ke belakang, pada tahun 2000 pemerintah pernah mengucurkan subsidi harga gula bagi petani sebesar selisih antara Rp 2.500 terhadap harga riil berdasarkan berita acara lelang di pabrik gula, Langkah tersebut cukup efektif saat pemerintah tidak lagi menetapkan provenue dan menyerahkan sepenuhya kepada mekanisme pasar.
Tahun-tahun berikutnya sejumlah petani membangun komitmen penjaminan harga dan penyediaan dana talangan. Kolaborasinya pun dengan pihak investor, yakni kalangan pedagang yang telah terbiasa membeli gula degan reputasi baik dan teruji. Adanya dana talangan, memungkinkan petani terhindar dari kemungkinan anjlognya harga sampai jauh di bawah harga referensi, di samping mereka tetap dapat beraktivitas kebun melakukan budidaya untuk tanaman yag digiling tahun berikutnya.
Tahun-tahun berikutnya sejumlah petani membangun komitmen penjaminan harga dan penyediaan dana talangan. Kolaborasinya pun dengan pihak investor.
Dalam dana talangan berlaku, apabila harga riil yang terbentuk melalui lelang harga terbentuk lebih rendah, risiko ditanggung investor. Tetapi apabila harga lebih tinggi, kelebihannya dibagi secara proporsional antara investor dan petani sesuai perjanjian sebelumnya.
Permasalahan muncul ketika harga riil relatif tinggi, profit sharing (pembagian keuntungan) menjadi ajang perdebatan. Pemicunya tidak lain hanyalah asumsi harga tinggi terjadi, tentu apabila tanpa profit sharing tentu petani memperoleh uang jauh lebih banyak. Dalam dunia nyata, harga tidak pernah bisa ditebak secara akurat dan kredibel.
Penjaminan harga
Sejak 2012 dana talangan tidak terdengar lagi dan penjualan gula petani tergantung penuh pada dinamika pasar. Manajemen stok yang bersumber pada pengaturan impor, baik terkait jumlah maupun waktu kedatangan, menentukan keabsahan efektivitasnya. Kegagalan memanajemeni stok memantik tergelincirnya pasar gula domestik dan membuat petani masuk perangkap struktural.
Menyerahkan penjaminan harga kepada pabrikan penggiling tebu dalam suasana dilematis dan tidak berdaya seperti sekarang juga bukanlah opsi rasional dan arif. Lebih tepat dan terarah apabila penjaminan harga gula petani tadi diambil alih pemerintah dengan mengalokasikan bantuan sebesar selisih antara Rp 10.500 terhadap harga riil.
Kegagalan memanajemeni stok memantik tergelircirnya pasar gula domestik dan membuat petani masuk perangkap struktural.
Inti masalahnya, apakah di tengah dahsyatnya dana tersedot untuk penanganan Covid-19, pemerintah masih memiliki uang cukup ditunjang regulasi memungkinkan apabila petani memperolehkan bantuan garurat dimaksud? Kalau pemerintah dan semua pihak bisa menggaransi manajemen stok dalam batas-batas pengendalian dan harga terbentuk tidak sempat terpelanting di bawah Rp 10.500, bantuan harga untuk petani tidak jadi terkucuran. Petani pun bebas menjualnya kepada siapa pun.
Garansi harga merupakan salah satu motivasi bagi petani dalam memutuskan jenis usaha taninya. Pilihan menyangkut besarnya profitabilitas dan manfaat ekonomi diperoleh dibanding komoditas lain yang dibudidayakan di bentang lahan dan agriekosistem sama. Selama tebu tidak memberikan keunggulan kompetitif memadai, baik akibat harga tidak bersahabat maupun produktivtas stabil rendah sampai sedang, fenomena defisit tebu diikuti penghentian operasional pabrik gula akan terus berjalan secara alamiah.
Seolah terjadi seleksi alam atas keberlanjutan oprasional pabrik gula. Dari perspektif ini, melalui kekuasaan mengatur dan memiliki, pemerintah dapat menggunakan kewenangannya guna menyelamatkan apa yang masih tersisa pada industri gula, baik sebagai aset dan faktor produksi maupun engine of growth pertumbuhan ekonomi regional. Tentu dalam pendekatannya, kita memerlukan pemahaman terhadap ekologi politik dan rekayasa sosial (social engineering) secara terintegrasi.
Adig Suwandi,Praktisi Agribisnis, Analis Senior Nusantara Sugar Community