Perempuan terdampak pandemi jauh lebih buruk ketimbang lelaki karena beban domestik yang berlipat. Simbolisasi ibu dalam kampanye ”Ingat Pesan Ibu”, meski bertujuan baik, juga menyimpan permasalahan laten.
Oleh
OTI LESTARI
·4 menit baca
Harus diakui, pandemi ini membuka banyak lubang dalam sistem kehidupan masyarakat kita. Pagebluk memorak-porandakan stabilitas ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Tidak hanya dalam level masyarakat luas, tetapi juga dalam pola interaksi dengan orang-orang di sekitar kita.
Seperti kita ketahui, banyak orang, lelaki perempuan, tua muda, terimbas pandemi yang telah berlangsung sekian lama. Namun, berbagai survei dan data membuktikan bahwa ternyata perempuan terdampak jauh lebih buruk dibandingkan dengan lelaki. Hal ini karena perempuan mempunyai beban yang lebih besar daripada lelaki.
Kebijakan pemerintah untuk bekerja dari rumah memaksa perempuan menyelesaikan pekerjaan kantor, tetapi pada saat yang sama perempuan juga harus menuntaskan pekerjaan domestik. Memasak, mencuci, dan membersihkan rumah diselesaikan di antara tuntutan target-target dari kantor. Perempuan mempunyai beban domestik yang berlipat.
Perempuan juga melakukan kerja pengasuhan dan pengawasan sekaligus. Sebagai ibu rumah tangga, ia harus mengingatkan anggota keluarganya keluar rumah memakai masker dan juga memastikan mereka telah mencuci tangan serta membersihkan diri sesudah pulang dari luar.
Hal ini ditambah dengan beban lain terkait pemenuhan kebutuhan pendidikan anak di tengah pandemi. Kita tahu dengan sistem pembelajaran jarak jauh dengan anak-anak harus belajar di rumah seperti saat ini, ibu mendapat beban berat dengan tiba-tiba harus menjadi guru bagi anak-anak mereka.
Kebijakan pemerintah untuk bekerja dari rumah memaksa perempuan menyelesaikan pekerjaan kantor, tetapi pada saat yang sama perempuan juga harus menuntaskan pekerjaan domestik.
Situasi seperti ini bukannya makin memudahkan pembelajaran, melainkan justru berpotensi melahirkan konflik baru. Hal ini karena, dengan tekanan tuntutan dan situasi yang dihadapi, seorang ibu kerap menjadi tidak sabar dan lebih cepat marah menghadapi anak yang diajarinya. Akibatnya, anak-anak justru menjadi tertekan ketika belajar di rumah karena ibu menjadi lebih galak daripada gurunya. Hal ini memengaruhi tingkat kekerasan di dalam rumah tangga karena stres yang dialami.
Inilah peran perempuan yang begitu kompleks dalam lingkungan terkecil (rumah tangga), tetapi lengkap dengan beban domestik dan psikologis yang berat. Hal ini sepatutnya mendapat perhatian bersama.
Ujung tombak
Di satu sisi, dalam konteks yang lebih luas, peran perempuan juga penting dalam penanganan dan pemulihan pandemi. Para perempuan berperan nyata sebagai tenaga medis penolong korban terpapar, dalam kerja pengawasan program isolasi bagi pasien positif, hingga terlibat dalam kerja penyediaan bahan makanan dan konsumsi sampai dengan penyaluran bantuan lainnya. Perempuan menjadi tulang punggung dalam kerja-kerja sosial di masa pandemi.
Tidak hanya itu, perempuan sebagai ibu juga menjadi ujung tombak kampanye kesehatan pemerintah. Para ibu diminta berperan untuk menjadi agen perubahan dan garda terdepan dalam menyebarkan pesan edukatif seputar protokol kesehatan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat.
Sosok ibu sebagai sosok terpenting dalam keluarga yang paling dipatuhi keluarga untuk meneladani gerakan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Semua orang, lelaki atau perempuan, penguasa atau orang biasa karena semua orang punya ibu. Kata-kata ibu menjadi petuah yang dipegang teguh anak-anaknya. Maka, muncul kampanye ”Ingat Pesan Ibu” untuk menyukseskan gerakan 3M.
Menurut Budianta (2016), simbolisasi ibu dalam agenda pemerintah ini sebenarnya menyimpan permasalahan laten yang patut digarisbawahi. Kaum feminis mempertanyakannya: apakah hanya ibu yang peduli dan yang bertugas mengurusi persoalan gizi dan masa depan anak-anak, sementara bapak tidak?
Simbolisasi ibu dalam agenda pemerintah ini sebenarnya menyimpan permasalahan laten yang patut digarisbawahi.
Niatan pemerintah tersebut bisa dibaca sebagai usaha untuk memitoskan ibu dengan risiko pengentalan stereotip yang selama ini dilekatkan kepada perempuan. Suatu ”strategi representasi” yang bertujuan untuk membungkus ”politik susu” —suara perempuan melawan berbagai kebijakan pemerintah yang (sebenarnya) mengerdilkan peran perempuan, yaitu perempuan sebagai pendamping suami yang setia, sebagai pengelola rumah tangga, sebagai pendidik anak, sebagai pencari nafkah tambahan, dan sebagai warga masyarakat.
Dalam hal ini berlangsung kontrol atas perempuan sebagai instrumen efektif dalam mengendalikan seluruh operasi kekuasaan negara, atas nama apa pun, termasuk pandemi yang sedang berlangsung.
Padahal, dalam logika budaya masyarakat kita, perempuan mendapat tempat khusus. Ritus kultural masyarakat Nusantara mengenal idiom ”ibu bumi” sebagai tempat benih kehidupan ditumbuhkan, elemen harmoni dengan ”bapa akasa”. Artinya, hubungan lelaki-perempuan adalah interaksi komplementer, bukan subordinan, apalagi dominasi. Ada lagi ungkapan ”surga di telapak kaki ibu”. Tanah Air bangsa dan negara ini juga disebut sebagai Ibu Pertiwi, sebuah pengakuan kehormatan dan nasionalisme.
Oleh karena itu, usaha mengonstruksi isu jender dalam frame pluralisme-demokratis (nonpatriarkis) perlu menjadi prioritas bersama. Perlu diciptakan keberpihakan yang menjadikan integrasi jender sebagai basis pengambilan kebijakan terkait penanganan pandemi yang lebih responsif terhadap kondisi dan posisi perempuan.
Pandemi ini menjadi ruang waktu reflektif bagi kita untuk menilik, mengukur, dan merevisi pola-pola hubungan kita dengan orang-orang terdekat, lingkungan, dan alam semesta. Virus yang tak kelihatan itu mengajari kita untuk kembali pada kesadaran bersama yang paling esensial. Bahwa dalam keberjarakan sosial yang ditetapkan sebagai protokol kesehatan yang harus dipatuhi itu, kita diajak kembali merenungi batin diri sendiri untuk mencapai pemahaman bahwa di saat kita sendiri, berjarak dan dipisahkan oleh kondisi yang paling buruk akibat Covid-19, kita jadi memahami betapa penting peran orang-orang di sekitar kita: keluarga, orangtua, dan terutama peran perempuan (ibu).
Oti Lestari, Ibu Berputri Satu, Tinggal di Jakarta