Kesetaraan Jender dalam Pembangunan Indonesia
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih menunjukkan adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Ini salah satunya disebabkan oleh faktor perekonomian yang masih didominasi laki-laki.
”Jender ibarat lomba lari, di mana sejumlah pelari berkompetisi hanya untuk memenangi medali perunggu,” kata Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens: Sejarah Singkat Umat Manusia (2014).
Patriarki telah menjadi sebuah budaya yang mengakar dan turun-temurun sehingga memosisikan perempuan lebih rendah dalam berbagai aspek. Perempuan memperoleh lebih sedikit kesempatan ekonomi, lebih sedikit kekuasaan politik, dan lebih sedikit kebebasan bergerak.
Istilah jender bukan mengacu pada perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan secara biologis. Pemaknaan jender terletak pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dikonstruksikan secara sosial (Kementerian PPPA). Sementara itu, kesetaraan jender merujuk pada persamaan hak, tanggung jawab, dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki (UN Women).
Baca juga: Menengok Lagi Kesetaraan Jender dan Feminisme
Usaha untuk menghapuskan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi perhatian global. Isu ini tertuang dalam tujuan kelima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030: Mencapai kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan. Selain secara khusus dicantumkan dalam tujuan kelima, isu jender juga tercakup pada hampir semua tujuan dalam SDGs.
Lantas, bagaimana dengan kesetaraan jender di Indonesia?
Sensus Penduduk 2020 mencatat jumlah penduduk perempuan di Indonesia sebanyak 133,54 juta orang, atau 49,42 persen. Dengan kata lain, perempuan adalah separuh penduduk. Meskipun jumlah penduduk hampir setara, capaian pembangunan manusia di Indonesia masih menunjukkan kesenjangan yang nyata di antara laki-laki dan perempuan.
Capaian pembangunan
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengembangkan suatu indeks untuk mengukur capaian pembangunan manusia berbasis tiga dimensi dasar kualitas hidup. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.
Adapun komponen pembentuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digunakan di Indonesia adalah Umur Harapan Hidup (UHH) saat lahir yang mewakili dimensi umur panjang dan sehat, Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang mewakili dimensi pengetahuan, serta Pengeluaran per Kapita yang disesuaikan mewakili dimensi kehidupan yang layak.
Walaupun terus meningkat, IPM perempuan masih tergolong kategori ”sedang” hingga tahun 2020.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sejak tahun 2010 IPM laki-laki telah mencapai kategori ”tinggi”, dengan capaian IPM di atas 70. Kondisi yang berbeda terlihat pada capaian IPM perempuan.
Walaupun terus meningkat, IPM perempuan masih tergolong kategori ”sedang” hingga tahun 2020. Fenomena ini menunjukkan bahwa pembangunan manusia berbasis jender masih mengalami kesenjangan.
Jika dirinci berdasarkan komponen pembentuk IPM, kesenjangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan salah satunya disebabkan oleh faktor perekonomian yang masih didominasi laki-laki.
Pengeluaran per kapita perempuan selalu lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2020 pengeluaran riil per kapita mencapai Rp 15,4 juta per tahun untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan baru mencapai 58 persennya atau sekitar Rp 9 juta per tahun.
Baca juga: Kesenjangan Jender Semakin Lebar
Ada banyak faktor yang menyebabkan perbedaan pengeluaran ini, salah satunya ialah masih adanya kesenjangan dalam penerimaan upah. Menurut catatan BPS, perempuan yang bekerja masih menerima upah yang lebih rendah daripada laki-laki walaupun dalam tingkat pendidikan yang setara.
Tahun 2021, buruh laki-laki dengan pendidikan SD ke bawah rata-rata menerima upah Rp 1,93 juta, sedangkan upah buruh perempuan Rp 1,19 juta. Pada buruh berpendidikan universitas, upah buruh laki-laki Rp 5,21 juta, sedangkan upah buruh perempuan Rp 3,60 juta. Selisih upah terbesar antara buruh laki-laki dan perempuan menurut jenjang pendidikan terdapat pada buruh berpendidikan universitas, yaitu Rp 1,61 juta.
Selain upah yang tidak setara, kehadiran perempuan di pasar tenaga kerja juga masih dihadapkan pada dilema antara tuntutan budaya untuk bertanggung jawab di ranah domestik (keluarga) dan pengembangan potensi diri untuk berperan di sektor publik.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih sangat rendah dibandingkan laki-laki. Pada Februari 2021, perempuan usia kerja yang aktif dalam angkatan kerja hanya 54 persen dibandingkan dengan laki-laki usia kerja yang mencapai 82 persen. Angka ini relatif stagnan selama 10 tahun terakhir.
Mendorong pemberdayaan perempuan
Budaya patriarki yang tumbuh di Indonesia masih mengidentikkan sektor publik sebagai ranah laki-laki, sedangkan peran perempuan lebih banyak pada pekerjaan di sektor domestik/rumah tangga. Dalam hal mendukung terwujudnya kesetaraan jender, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus berwawasan jender dan mempertimbangkan posisi perempuan di kedua sektor tersebut.
Ironisnya, representasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik masih rendah. Jumlah perempuan yang mencapai separuh penduduk Indonesia hanya diwakili oleh 21,09 persen perempuan di parlemen.
Meskipun beberapa tahun terakhir telah menunjukkan sinyal positif karena mengalami peningkatan, angka ini masih berada di bawah batas afirmasi keterwakilan 30 persen. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian ataupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.
Jumlah perempuan yang mencapai separuh penduduk Indonesia hanya diwakili oleh 21,09 persen perempuan di parlemen.
Minimnya kehadiran perempuan dalam pengambilan keputusan politik berisiko menghasilkan kebijakan yang bias jender. Mendorong penyertaan perempuan dalam membuat kebijakan masih menjadi PR besar pemerintah.
Suara, kepentingan, dan kebutuhan perempuan membutuhkan aspirasi dari sesama perempuan untuk menjadi landasan dalam melahirkan kebijakan yang terkait dengan pembangunan dan pemberdayaan perempuan.
Baca juga: Perlu Komitmen Anggaran untuk Kesetaraan Jender
Di sisi lain, penting untuk dipahami bahwa isu kesetaraan jender bukan hanya milik perempuan. Terwujudnya kesetaraan jender juga membutuhkan peranan laki-laki.
Memperjuangkan kesetaraan jender bukan berarti menuntut perempuan untuk menjadi sama dengan lelaki, melainkan mendukung perempuan dan laki-laki agar mendapat kesempatan untuk berada dalam posisi sejajar. Keduanya harus berbagi ruang dan peran, serta saling memberdayakan dalam menciptakan kesempatan untuk semua.
Mardha TS, Statistisi di Badan Pusat Statistik