Perhatian publik dunia mulai Jumat (23/7/2021) ini akan tertuju ke Tokyo, seiring dimulainya Olimpiade Tokyo 2020. Kali pertama Olimpiade saat pandemi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Setidaknya dalam enam bulan terakhir, silang pendapat di Jepang terkait pelaksanaan Olimpiade terus mengemuka. Sebagian warga mendesak Pemerintah Jepang menunda atau bahkan membatalkan Olimpiade yang sudah tertunda setahun karena pandemi Covid-19.
Kekhawatiran akan kemungkinan Olimpiade menjadi kluster penularan Covid-19 menjadi alasan dominan kelompok kontra. Kecemasan yang wajar karena sesuai data worldometers.info, hingga Kamis (22/7/2021) malam WIB, terdata 4.943 kasus positif baru Covid-19. Adapun jumlah total kasus positif di Jepang tercatat 852.517, dengan 15.097 kematian.
Sebaliknya, pemerintah dan warga yang mendukung Olimpiade tetap digelar meyakini ada misi besar Jepang di balik penyelenggaraan kejuaraan olahraga akbar empat tahunan ini. Salah satunya, Olimpiade menjadi momentum untuk menunjukkan kebangkitan Jepang kepada dunia.
Obsesi ini sejak awal telah dikatakan Perdana Menteri Jepang 2012-2020 Shinzo Abe, ”Olimpiade 2020 menjadi kesempatan emas bagi Jepang untuk memperlihatkan kepada dunia, bagaimana kami mampu bangkit setelah tragedi gempa bumi dahsyat menimpa wilayah timur negeri ini.”
Profesor Jack Anderson, Kepala Hukum Olahraga Melbourne Law School University of Melbourne, juga mengatakan, Olimpiade ini menjadi agenda simbol kebangkitan Jepang. Sebab, Jepang telah mengalami stagnasi ekonomi yang lama, bencana tsunami, dan nuklir Fukushima. (Kompas, 22/7/2021)
Hasrat ini membuat Olimpiade Tokyo tak mungkin ditunda lagi dan Jumat ini dipastikan mulai bergulir. Pemerintah Jepang telah memutuskan Olimpiade tetap berlangsung dan itu tanpa penonton, dengan protokol kesehatan yang tak bisa diganggu gugat, berikut segala konsekuensinya.
Demi obsesi itu, menurut kalkulasi panitia Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo serta Pemerintah Kota Tokyo, biaya penyelenggaraan mencapai 1,8 triliun yen atau 14,85 miliar dollar AS. Jepang juga membangun ulang Stadion Nasional yang sebelumnya dibangun untuk Olimpiade Tokyo 1964. Arsitek Jepang, Kengo Kuma, ditugaskan untuk mendesain bangunan baru stadion itu dengan biaya 153 miliar yen (Rp 17,3 triliun) untuk desain, pembangunan, dan perawatan.
Adapun aturan karantina tiga hari di hotel untuk jurnalis yang baru tiba di Tokyo dan 14 hari di ”gelembung” Olimpiade sebelum wartawan tersebut bisa menjelajahi kota Tokyo, termasuk bagian dari protokol dimaksud. Itu belum termasuk tes rutin yang harus dijalani si wartawan sebelum bertolak ke Tokyo dan keharusan pesawat tanpa transit.
Pertanyaan besar tentang seperti apa Olimpiade di tengah pandemi Covid-19 segera terjawab dalam beberapa hari ke depan. Keberhasilan Jepang dari sisi penyelenggaraan sangat ditentukan oleh bagaimana mereka mencegah Olimpiade menjadi kluster penularan.
Namun, yang tak kalah penting, menjadikan Olimpiade Tokyo 2020 sebagai panggung ideal para atlet untuk mempertontonkan aksi-aksi terbaik mereka. Dengan harapan, rekor-rekor dunia baru terpecahkan seiring moto abadi Olimpiade: Citius, Altius, Fortius dari Pierre de Coubertin. Menghadirkan ”yang lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat”.