Saat ini anak-anak tak hanya rentan terpapar Covid-19, tetapi juga terdampak krisis akibat pandemi ini, baik pendidikan maupun kehidupan sosialnya. Perlindungan hak anak harus jadi bagian dalam penanganan pandemi.
Oleh
WAHYU SUSILO
·5 menit baca
Kecamuk pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai telah memaksa kita harus memperingati dua kali Hari Anak Nasional, tahun 2020 dan tahun 2021, dalam kondisi krisis kesehatan global. Dari berbagai kajian yang dilakukan mengenai dampak sosial-ekonomi dari kecamuk pandemi Covid-19, situasi ini menempatkan kelompok pekerja (utamanya pekerja migran, pekerja rumah tangga, dan pekerja sektor informal), perempuan, dan anak sebagai kelompok yang sangat rentan, baik terdampak langsung secara kesehatan maupun terdampak dari segi penghidupan (sosial, ekonomi, dan budaya).
Dalam gelombang kedua kecamuk pandemi Covid-19 di Indonesia yang terjadi sejak Juni 2021 hingga saat ini, telah tercatat angka kerentanan yang tinggi pada anak-anak Indonesia yang terpapar Covid-19. Menurut data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), terjadi lonjakan yang signifikan pada kelompok anak-anak (dalam rentang usia 0-18 tahun), baik angka keterpaparan maupun angka kematian.
Terdapat 1 anak di antara 8 kasus konfirmasi Covid-19 secara umum dan bahkan IDAI mengklaim bahwa kematian anak Indonesia yang terpapar Covid-19 adalah kematian tertinggi kelompok anak di dunia. Indikatornya adalah fatality rate berkisar 3-5 persen dari jumlah pasien anak yang terpapar Covid-19.
Tentu saja Pemerintah Indonesia tak berdiam diri atas situasi tersebut. Keputusan untuk menyertakan anak-anak di usia 12-17 tahun sebagai kelompok prioritas penerima vaksin Covid-19 merupakan langkah yang harus diapresiasi.
Rentang usia tersebut adalah kelompok usia pelajar yang selama ini mengalami perubahan metode pembelajaran dari tatap muka menjadi pembelajaran online (daring). Harus diakui bahwa perubahan metode pembelajaran ini mengurangi kuantitas dan kualitas pendidikan di masa usia emas ini. Perubahan ini juga membuka kotak pandora ketimpangan pendidikan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global.
Pada Maret 2021, Unicef merilis data tentang dampak penutupan sekolah di masa pandemi. Data tersebut menyatakan bahwa 168 juta pelajar kehilangan masa pembelajaran tatap muka akibat penutupan sekolah, sementara proses pembelajaran secara daring sebagai bentuk kedaruratan tidak berlangsung secara maksimal.
Negara-negara miskin yang tidak memiliki kemewahan infrastruktur jaringan internet yang memadai makin mengalami kemerosotan pendidikan dan bahkan memaksa anak-anak keluar (drop out) dari sekolah. Dan ketika anak-anak terpaksa harus keluar dari sekolah, potensi kerentanan yang dihadapi adalah masuk dalam dua perangkap eksploitasi anak, yaitu menjadi pekerja anak atau pengantin anak.
Dalam dua tahun anggaran terakhir ini, APBN didedikasikan penuh untuk penanganan Covid-19, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun dampak sosialnya. Dalam sejarah APBN, baru kali ini pos anggaran perlindungan sosial mengalami peningkatan yang signifikan. Pos anggaran ini memang menjadi anggaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net) dari perkembangan pandemi Covid-19.
Yang terakhir terkait dampak pelaksanaan PPKM darurat, pemerintah menambah pos anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 33,98 triliun sehingga bertambah dari Rp 153,86 triliun menjadi 187,84 triliun. Peningkatan anggaran ini tentu bermanfaat untuk meningkatkan daya hidup masyarakat di masa pandemi ini. Namun, harus dipastikan bahwa tak boleh ada yang tertinggal atau terlewatkan dalam pendistribusian skema perlindungan sosial ini.
Perlindungan hak anak
Mengingat dampak pandemi Covid-19 ini sangat memengaruhi tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa, seharusnya kebijakan perlindungan sosial saat ini harus juga memiliki perspektif perlindungan hak anak dan memastikan kualitas hidup anak di masa krisis kesehatan ini. Dari pembacaan kritis terhadap APBN di masa pandemi Covid-19, hanya ditemukan secara khusus alokasi pembiayaan untuk memastikan pemenuhan hak anak, yaitu subsidi internet gratis bagi peserta didik di masa pembelajaran daring.
Selama ini kekhawatiran publik terhadap besarnya anggaran perlindungan sosial di APBN adalah potensi korupsi dan kekhawatiran tersebut terbukti dengan terungkapnya kasus korupsi Menteri Sosial Juliari Batubara. Paket bantuan sosial dalam bentuk barang/logistik sangat rentan dikorupsi dengan praktik penggelembungan (mark up) dan penunjukan langsung.
Dari pembacaan kritis terhadap APBN di masa pandemi Covid-19, hanya ditemukan secara khusus alokasi pembiayaan untuk memastikan pemenuhan hak anak, yaitu subsidi internet gratis bagi peserta didik.
Selain itu, paket logistik ini juga mengorupsi kepentingan terbaik anak. Ini bisa dilihat dari barang yang diberikan sebagian besar berupa kebutuhan pangan pokok (beras, mi instan, minyak goreng), tetapi tidak mempertimbangkan kepentingan gizi dan tumbuh kembang anak (susu, vitamin, mainan anak). Kekhawatiran lain yang seharusnya juga menjadi kepedulian bersama adalah potensi pengabaian kelompok rentan, seperti pekerja prekariat, perempuan, masyarakat adat, dan anak dalam cakupan skema perlindungan sosial.
Selama masa pandemi Covid-19, Migrant Care memantau pekerja migran dan anggota keluarganya dalam mengakses skema perlindungan sosial. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, sepanjang tahun 2020 sekitar 165.000 pekerja migran pulang ke Tanah Air karena dampak pandemi Covid-19.
Sebagian besar dari mereka tidak bisa dijangkau oleh bantuan sosial dampak Covid-19 karena tidak terdaftar dalam daftar terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang terakhir diperbarui pada tahun 2015. Satu-satunya skema perlindungan sosial yang bisa diperoleh adalah bantuan sosial yang bersumber dari dana desa yang direalokasikan untuk dampak pandemi Covid-19.
Pada semester kedua tahun 2020, Migrant Care mengadakan survei mikro tentang situasi anak pekerja migran pada masa pandemi Covid-19 di Indramayu, Jawa Barat, sebagai daerah basis pekerja migran Indonesia. Beberapa temuan dari survei tersebut mengonfirmasi hasil pemantauan sebelumnya yang menyatakan mayoritas pekerja migran Indonesia yang pulang di masa pandemi Covid-19 tidak menerima bantuan sosial. Sementara di sisi yang lain, terjadi peningkatan kebutuhan anak untuk biaya masuk sekolah dan pemeliharaan kesehatan anak. Jika keluarga pekerja migran tersebut menerima bantuan sosial, ternyata bantuan itu juga lebih banyak untuk kebertahanan hidup sehari-hari (subsistensi) dan tidak berkontribusi untuk proses tumbuh kembang anak.
Mayoritas pekerja migran Indonesia yang pulang di masa pandemi Covid-19 tidak menerima bantuan sosial.
Berdasarkan hasil survei tersebut, Migrant Care menjalankan proyek percontohan pengembangan skema perlindungan sosial berbasis pemenuhan hak anak. Skema ini diperkenalkan oleh Unicef dengan nama Universal Child Benefit, sebuah varian skema perlindungan sosial semesta (Universal Basic Income) yang pada masa pandemi Covid-19 banyak ditawarkan sebagai skema alternatif kebijakan perlindungan sosial.
Skema ini fokus pada upaya untuk memastikan proses tumbuh kembang anak dan pemenuhan hak anak tetap terjamin di masa krisis kesehatan global ini agar tidak terjadi lost generation. Pada tingkat implementasi, distribusi bantuan sosial diberikan secara tunai dan bersyarat, yaitu 80 persen untuk kepentingan terbaik anak (hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman) serta 20 persen menyubsidi kebutuhan rumah tangga.
Pandemi Covid-19 adalah krisis kesehatan yang dialami oleh semua orang, semua umur, tanpa kecuali. Situasi ini tidak hanya menjadi tantangan kemanusiaan di masa kini, tetapi juga di masa depan, jika penanganan dampak pandemi Covid-19 abai pada pemenuhan hak dan kepentingan terbaik anak.