Anak-anak di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini tak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Pembatasan sosial yang berlangsung selama masa pandemi memberi tekanan mental atau psikososial pada anak-anak.
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini tak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Pembatasan sosial yang berlangsung selama masa pandemi memberi tekanan mental atau psikososial pada anak-anak.
Di tengah suasana pandemi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menjelang peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2020, mengatakan, anak-anak di Indonesia sedang mengalami masa sulit. Mereka tak bisa belajar bersama para guru, teman-teman mereka, bermain, dan berleluasa bergaul karena ada pembatasan sosial.
Spesialis Perlindungan Anak PBB untuk anak-anak (Unicef) Ali Aulia Ramly juga mengingatkan, jika tekanan yang dialami anak-anak ini berlangsung cukup lama, hal itu akan menyebabkan gangguan jiwa (mental disorder).
Para orangtua yang anaknya harus belajar dari rumah sendiri mengeluhkan, anak-anak mereka yang sudah pada tarap jenuh berada di rumah cukup lama, sementara fasilitas Wi-Fi tak memadai, penguasaan pembelajaran yang membutuhkan bimbingan terus-menerus juga tidak terpenuhi.
Kondisi seperti ini tampaknya masih akan berlanjut beberapa waktu ke depan. Lonjakan kasus Covid-19 pada gelombang kedua pandemi menyebabkan pembelajaran tatap muka belum bisa dilaksanakan.
Presiden Jokowi telah mengeluarkan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat 3-20 Juli 2021 untuk Jawa-Bali, yang kemudian diperpanjang lagi hingga 25 Juli 2021. Sebelumnya, pemerintah memberlakukan PPKM dalam skala mikro pada 1 Juni 2021.
Praktis semua harus berdiam diri di rumah (stay at home). Para ibu yang biasa membimbing putra-putrinya selama ini juga sudah mengalami titik jenuh. Apalagi mereka yang juga bekerja, baik sebagai pendidik, pekerja kantor, maupun lainnya. Sementara para bapak tak cukup sabar atau tak terbiasa membimbing mereka.
Problem yang dialami anak-anak ini harus segera diatasi karena mereka penerus dan calon pemimpin bangsa.
Tak semua orangtua memahami aspek pembelajaran daring yang memerlukan media dan pengaplikasian teknologi, seperti zoom meet, google meet, dan v.meet, apalagi untuk anak jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang masih butuh bimbingan terus-menerus. Demikian juga mereka yang tinggal di perdesaan yang jauh dari akses internet. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan.
Problem substantif
Problem yang dialami anak- anak ini harus segera diatasi karena mereka penerus dan calon pemimpin bangsa. Dalam konteks bonus demografi, data BPS 2019 mengungkapkan, jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun di Indonesia sebanyak 47,57 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun 45,35 juta jiwa. Kelak, pada 2045, mereka yang kini berusia 0-10 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang kini berusia 10- 20 tahun akan berusia 45-54.
Pada usia-usia ini mereka akan memegang peran penting di kancah Indonesia. Mereka diharapkan akan menjadi generasi yang cerdas, produktif, inovatif, dan berperadaban unggul. Generasi emas yang sekaligus juga menjadi pemimpin bangsa.
Indonesia berada pada posisi keempat dalam daftar negara berpopulasi tertinggi, demikian pula potensi kekayaan alamnya.
Goldman Sach memprediksi Indonesia akan berada dalam 10 besar negara dengan ekonomi termaju di 2050 bersama China dan India (di atas Jepang ataupun Korea Selatan). Sementara McKinsey Global Institute memprediksi tahun 2030 Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ketujuh dunia. Suatu posisi optimistis, yang bisa dicapai apabila Indonesia memiliki pemimpin dan SDM berkualitas.
Namun, berbagai laporan global menunjukkan ketertinggalan capaian para siswa Indonesia. Dalam laporan Education Global Practice Bank Dunia (2018) dan tes Program for International Student Assessment (PISA), misalnya, prestasi pendidikan Indonesia berada di bawah Vietnam. Padahal, jika dilihat dari skala ekonomi dan besaran anggaran pendidikan, yang mencapai 20 persen dari APBN, seharusnya Indonesia mampu meraih skor lebih tinggi.
Dalam laporan Indeks Kebahagiaan Dunia yang diterbitkan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan (SDSN) PBB, Indonesia juga tertinggal. Dalam laporan tahun 2018, misalnya, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 156 negara, di bawah Malaysia (35), Thailand (45), Libya (70), Filipina (71), Pakistan (75), dan Vietnam (95).
PBB menempatkan Finlandia sebagai negara yang warganya paling berbahagia di dunia. Indeks ini didasarkan pada kriteria harapan hidup sehat, dukungan sosial, PDB per kapita, kebebasan, dan nol korupsi. Sukses Finlandia tak lepas dari komitmen pemerintah terhadap layanan warganya.
Peneliti Meik Wikking pada CEO Institute menyebutkan, kekayaan bukan ukuran kebahagiaan. Ini terbukti dengan AS yang menempati peringkat ke-18, turun dari peringkat ke-14 pada tahun sebelumnya.
AS semakin kaya, tetapi tak pernah bahagia, kata Prof Jeffrey Sachs, Kepala Sustainable Development Solutions Network (SDSN) Universitas Columbia New York.
Meski pendapatan per kapita terus meningkat, AS tak pernah masuk 10 besar dalam peringkat kebahagiaan. AS semakin kaya, tetapi tak pernah bahagia, kata Prof Jeffrey Sachs, Kepala Sustainable Development Solutions Network (SDSN) Universitas Columbia New York. Faktor utama ketidakbahagiaan ini adalah karena sistem sosial politik AS yang tidak kondusif.
Data di atas menarik untuk dianalisis. Kenapa negara-negara yang pendapatan per kapitanya tinggi tidak kompatibel dengan capaian prestasi pendidikan, dan bahkan kebahagiaan?
Dalam konteks anak Indonesia, alih-alih mengejar prestasi, mengatasi keberlangsungan pembelajaran di sekolah dengan baik saja susah, terutama di tengah masa pandemi. Tentu ini akan berpengaruh besar terhadap pembinaan generasi milenial kita.
Perlu kepedulian negara
Ternyata pendapatan per kapita tak selamanya berbanding lurus dengan capaian pendidikan, bahkan juga capaian kebahagiaan warga negara. Capaian pendidikan di Indonesia, khususnya jenjang pendidikan dasar dan menengah, belum beranjak dari kategori di bawah rata-rata negara di kawasan.
Dalam kasus Finlandia sebagai negara terbaik di dunia, dapat ditelusuri faktornya, yaitu karena pemerintahnya memiliki perhatian sangat besar terhadap warga bangsanya. Misalnya, pemerintah bersedia menjadi pelayan bagi warga bangsanya, memperhatikan aspek- aspek kebebasan, harapan hidup sehat, menjauhkan korupsi, dan dukungan sosial yang baik.
Pemerintah Indonesia mesti melakukan introspeksi terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan, sambil belajar dengan negara-negara lain yang sudah maju dan berprestasi, seperti Finlandia.
Ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Pertama, sekolah seharusnya berpihak kepada masyarakat bawah (the lower class).
Orientasi mata pelajaran dan kurikulum hendaknya ditekankan pada pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik), penciptaan demokratisasi, egalitarianisme, dan pluralisme.
Kedua, seluruh proses belajar-mengajar, baik isi maupun penyampaian dan evaluasinya, harus berorientasi kepada pemihakan rakyat miskin. Orientasi mata pelajaran dan kurikulum hendaknya ditekankan pada pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik), penciptaan demokratisasi, egalitarianisme, dan pluralisme.
Ketiga, pemerintah hendaknya memiliki kemauan baik dan komitmen yang tinggi terhadap pemberdayaan kaum miskin melalui prioritas program pendidikan dan mengontrol anggaran pendidikan dengan ketat agar tersalurkan secara merata dan benar.
Keempat, masyarakat melalui para pengusaha dan LSM hendaknya turut serta menyediakan sarana pendidikan yang bermutu dan lapangan kerja bagi kaum miskin. Dana sosial, baik yang ada dalam pemerintah maupun perusahaan, hendaknya diprioritaskan pada pengembangan pendidikan.
Kelima, semua komponen masyarakat harus memiliki komitmen dan kesepakatan bersama untuk menjadi warga negara yang taat asas: mengikuti norma hukum, baik hukum agama maupun pemerintah, sehingga segala macam tindak korupsi dan eksploitasi yang mengakibatkan kerugian negara dan rakyat banyak terhindarkan, termasuk kegaduhan sosial.
Baca juga : Hilangkan Budaya Kekerasan pada Anak di Masa Pandemi
Harmoni sosial menjadi faktor penting dalam pencapaian prestasi dan kebahagiaan suatu masyarakat. Sudah saatnya semua komponen, yakni pemerintah, orangtua, dan masyarakat dari berbagai lapisan, melibatkan diri mewujudkan pendidikan yang terbaik bagi generasi bangsa ini. Semoga.
M Zainuddin, Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang