Inilah kesempatan orangtua menjadi guru sejati untuk anaknya: bisa bermain dan berkomunikasi intens, dan yang paling penting adalah anak menjadi paham bahwa yang paling dekat dalam hidupnya adalah orangtua.
Oleh
Agung Kuswantoro
·3 menit baca
Masa pandemi Covid-19 yang belum pasti kapan berakhir menjadi keprihatinan dalam pendidikan. Khususnya pendidikan tingkat dasar, saat siswa masih suka bermain dan belajar bersosialisasi.
Pembelajaran daring tidak menjamin siswa bisa memahami materi. Bisa jadi malah sangat membosankan, apalagi sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Di daerah tertentu, pembelajaran daring tidak bisa berjalan baik. Orangtua pun ke sekolah untuk ambil soal.
Hal yang sangat membutuhkan perhatian adalah kita sebagai orangtua kini harus menggantikan guru di kelas menjadi guru di rumah. Kini saatnya orangtua kembali menjadi guru sejati buat anaknya.
Pengalaman belajar yang hilang di sekolah, paling tidak, bisa digantikan di rumah. Saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat seperti sekarang, orangtua yang bekerja dari rumah membantu anak-anaknya belajar lebih baik dan lebih menarik. Paling tidak aparatur sipil negara (ASN) sektor non-esensial bisa 100 persen bekerja di rumah selama PPKM darurat.
Inilah kesempatan orangtua menjadi guru sejati untuk anaknya: bisa bermain dan berkomunikasi intens, dan yang paling penting adalah anak menjadi paham bahwa yang paling dekat dalam hidupnya adalah orangtua.
Sejatinya, pengalaman belajar itulah yang harus diperoleh anak dalam masa pandemi Covid-19. Anak jangan sampai mencari guru pengganti berupa Youtube, gim, dan aplikasi yang kurang mendidik.
Jangan sampai komunikasi antara orangtua dan anak berlangsung singkat, selebihnya digantikan gawai hingga berjam-jam. Semoga kita kembali jadi guru sejati anak.
Agung Kuswantoro
Perum Sekarwangi, Jl Pete Selatan, Sekaran, Semarang
Budaya Tunggu
Di negeri ini, meski harus diajari budaya antre, ada budaya ”lama” yang kita tak sadar, yaitu budaya tunggu.
Budaya tunggu ini beda dengan budaya antre dan sudah ”mendarah-daging”. Mau makan tunggu lapar, mau minum tunggu haus, mau bekerja tunggu perintah, mau perbaiki rumah tunggu rusak, mau disiplin tunggu dipaksa, bahkan mau mati tunggu risiko.
Ini jelas budaya anti-inisiatif, anti-konsep, anti-perencanaan, dan anti-antisipasi ke masa depan. Perencanaan dan strategi antisipasi untuk memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa depan menjadi konsep dasar dalam sistem manajemen modern.
Menurut Abe (2001), perencanaan adalah susunan sistematik ihwal langkah-langkah yang akan dilakukan pada masa depan, berdasarkan pada pertimbangan yang saksama atas potensi, faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Jadi, apa yang harus kita lakukan agar budaya tunggu berubah? Mulailah dengan membuat perencanaan yang jelas, strategis, efektif, antisipatif, prediktif, implementatif, dan inovatif yang berujung pada target produktif.
Mari kita tinggalkan budaya tunggu. Ciptakan budaya proaktif, bukan reaktif, agar segala sesuatu berlangsung sistematis dan kita mampu bersaing di fora internasional. Sebagaimana cita-cita kita bersama. Semoga.
Yosminaldi
Kompleks Perumahan Jatikramat Indah I, Bekasi
Curi Start?
Saya kaget juga saat melintas di Jalan Raya Wates, Bantul, ketika melihat sebuah baliho besar di pinggir jalan. Di baliho yang dipasang di Kilometer 14 tersebut, terpampang wajah seorang pengurus parpol pusat yang menjadi salah satu pejabat tinggi negara.
Menurut saya, ini bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk kampanye dini alias mencuri start untuk kepentingan yang lebih besar: pemilihan presiden 2024.
Pertanyaan selanjutnya, apakah betul ini kampanye terselubung? Apakah bisa dikategorikan melanggar etika?