Bagi pensiunan, alokasi investasi pada produk berisiko rendah bisa lebih tinggi karena mengutamakan keamanan. Dengan demikian, mereka dapat hidup tenang dengan “gaji” memadai dari instrumen yang tak terlalu berfluktuasi.
Oleh
JOICE TAURIS SANTI
·4 menit baca
Masa produktif ada batasnya. Batas usia pensiun di perusahaan berbeda satu dengan yang lainnya. Ada pula yang mengambil pensiun lebih awal dari waktu yang ditentukan karena berbagai macam alasan.
Setelah masa produktif itu berakhir, kehidupan berlanjut. Menurut Badan Pusat Statistik, angka harapan hidup orang Indonesia pada 2019 adalah 73,3 tahun bagi perempuan dan 69,4 tahun bagi lelaki. Jadi, setelah pensiun, misalnya, pada usia 60 tahun, masih ada 10-13 tahun lagi untuk dinikmati tanpa ada terlalu banyak urusan pekerjaan lama.
Kebutuhan setelah memasuki masa pensiun pun tidak terlalu banyak berbeda. Paling hanya turun 10 persen dibandingkan dengan masa produktif. Salah satu kebutuhan yang paling tinggi adalah urusan kesehatan. Usia semakin banyak, keadaan badan tidak sekuat ketika muda. Di sisi lain, biaya kesehatan di republik ini memang merupakan salah satu sektor dengan kenaikan harga tertinggi setiap tahun.
Salah satu masalah krusial ketika memasuki masa pensiun adalah mencari pengganti pendapatan. Memang tidak sedikit perusahaan yang memberikan jaminan pensiun memadai, yang tentunya menjadi keuntungan bagi para karyawannya.
Sementara jika mengandalkan jaminan pensiun publik, seperti BPJS Ketenagakerjaan, hanya menutupi sedikit saja penghasilan. Pada 2021, batasan upah tertinggi yang dijadikan sebagai dasar perhitungan jaminan hari tua sebesar Rp 8,7 juta. Manfaat yang diterima antara Rp 356.000 dan Rp 4,2 juta, tergantung dari masa mengiur, pengembangan investasi, dan faktor lainnya.
Jika gaji seorang karyawan Rp 10 juta, yang dihitung sebagai dasar jaminan pensiun hanya Rp 8,7 juta saja. Jika dia sudah lama ikut program ini lalu pensiun dengan asumsi gaji terakhir Rp 10 juta, dia mendapatkan Rp 4,2 juta, hanya sekitar 40 persen dari gaji terakhirnya. Bahkan selisih ini menjadi semakin besar jika gaji yang diterima semakin tinggi.
Bayangkan, karyawan dengan gaji dan gaya hidup Rp 50 juta per bulan hanya akan mendapatkan santunan pensiun Rp 4,2 dari dana pensiun publik. Kalau dihitung secara kasar, baik santunan dari perusahaan maupun dari dana pensiun publik hanya menutupi sekitar 40 persen dari pendapatan terakhir seorang karyawan. Sisanya, ya harus dicari lagi.
Di banyak perusahaan, selain mendapatkan santunan pensiun setiap bulan, karyawan yang sudah purnatugas juga mendapatkan dana lumpsum. Idealnya, dana dalam jumlah lumayan ini dikelola sehingga menjadi penerus gaji yang biasa diterima.
Karyawan yang sudah memiliki usaha atau investasi yang menghasilkan arus kas teratur sebelum memasuki masa pensiun tidak terlalu khawatir dengan penghasilannya. Jika sebelum pensiun sudah mempersiapkan diri dengan membuka bisnis, seperti rumah makan, warung, atau rumah kontrakan, dapat mengandalkan arus kas dari investasi tersebut sebagai pengganti penghasilan di masa pensiun.
Selain properti yang disewakan, investasi portofolio juga dapat menghasilkan arus kas. Misalnya, membeli obligasi pemerintah yang aman karena ada jaminan. Obligasi juga dapat menjadi pilihan dalam menghasilkan arus kas, terutama untuk pensiunan yang memiliki profil risiko moderat.
Misalnya saja obligasi pemerintah seri Fixed Rate, seperti FR 0070, 0072, dan 0073. Obligasi seri ini masih memberikan imbal hasil di atas 8 persen per tahun. Walaupun harganya sudah lebih dari 100 persen, obligasi seri ini dapat menjadi pilihan para pensiunan dalam mendapatkan arus kas secara teratur. Bunga obligasi seri FR diberikan setiap 6 bulan sekali. Seri FR berbeda dengan obligasi ritel. Pembelian seri ini minimal Rp 100 juta. Obligasi seri FR ini banyak dijual di bank-bank.
Kalau dihitung, obligasi FR 0073 memberikan imbal hasil 8,75 persen per tahun sampai 15 Mei 2031. Setelah dikurangi pajak 15 persen, imbal hasil neto menjadi 7,43 persen. Jika seorang pensiunan menempatkan dana Rp 1 miliar, dalam satu bulan bunga yang didapatkan sekitar Rp 6,1 juta.
Pensiunan yang memiliki profil risiko sedikit lebih tinggi dapat menempatkan sebagian dana lumpsumnya—bukan semua—pada saham yang memberikan dividen tinggi. Misalnya saja pada saham Puradelta Lestari Tbk yang selama lima tahun terakhir memberikan dividen sekitar 9,33 persen dari harga sahamnya. Atau Indo Tambangraya Tbk yang memberikan dividen 13,39 persen selama lima tahun terakhir. Harga saham yang naik turun dapat diabaikan karena yang diharapkan adalah pembagian dividen.
Bukan rahasia lagi, karena dianggap memiliki uang banyak, para pensiunan juga menjadi sasaran penawaran investasi yang berisiko sangat tinggi. Misalnya investasi pada pasar berjangka dan transaksi mata uang asing. Padahal, pengetahuan mereka tentang produk berjangka yang menggunakan leverage ini nol besar.
Investasi berisiko tinggi ini tidak cocok untuk para pensiunan, apalagi yang belum pernah mengenal investasi sama sekali. Ibarat sekolah, produk berjangka merupakan pelajaran pada tingkat perguruan tinggi. Untuk melewatinya, harus memahami produk investasi yang lebih rendah risikonya, seperti emas batangan, reksa dana, obligasi, dan saham.
Produk berjangka berisiko tinggi bisa jadi cocok bagi pensiunan yang memang sudah mengenal produk ini jauh sebelum masa pensiunnya. Hanya saja, ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu alokasi investasi berisiko. Walaupun sudah mengenal produk berjangka sebelumnya, alokasi investasi pada produk berisiko tinggi sebaiknya semakin dikurangi jika sudah memasuki masa pensiun.
Alokasi investasi pada produk berisiko rendah, seperti deposito dan obligasi pemerintah, dapat lebih tinggi lagi karena mengutamakan keamanan sehingga para pensiunan tetap dapat hidup tenang dengan ”gaji” memadai dari instrumen yang tidak terlalu berfluktuasi.