Sportivitas ibarat sendi utama olahraga. Dalam sportivitas ada suasana saling respek di antara atlet, pelatih, wasit, juga penonton.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Publik tercengang oleh kasus rasialisme terhadap beberapa pesepakbola Inggris, usai tim Inggris kalah dalam adu penalti dari Italia, pada final Piala Eropa 2020, di Stadion Wembley, London, Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Italia menang adu penalti 3-2, setelah skor seri 1-1 hingga perpanjangan waktu.
Tiga pemain Inggris yang gagal menjadi eksekutor penalti yakni Marcus Rashford, Jadon Sancho, Bukayo Saka, menjadi korban rasialisme. Di Manchester, mural bergambar Rashford menjadi sasaran vandalisme. Warga yang bersimpati lalu menempelkan kertas berisi dukungan. (Kompas, 13/7/2020).
Anti-rasialisme yang kerap dikampanyekan sejak dasawarsa 1980-an, dan makin intensif pada 1990-an, masih terjadi di era kekinian. Di era ketika informasi cepat meluas melalui media sosial, terbukti pesan anti-diskriminasi dalam olahraga, di dalamnya termasuk anti-rasialisme, belum terserap optimal.
Fanatisme terhadap tim sepak bola, baik tim nasional maupun klub, menjadi sumber perilaku rasialisme dan tindak perundungan lain. Jika tim pujaan kalah, fans bertindak irasional. Berbagai fasilitas umum dirusak, dengan kerugian tak sedikit. Bentrok antar suporter juga tak terelakkan, sebagian berkonsekuensi korban jiwa.
Rasialisme juga mewujud dalam tingkah suporter di dalam dan di luar lapangan. Di tengah laga, penonton kadang menirukan suara hewan jika beberapa pemain menguasai bola. Terkadang juga dipasang spanduk mengidentikkan kelompok fans tim tertentu dengan binatang. Di luar lapangan, apa yang terjadi dengan mural Rashford bisa jadi contoh.
Badan Sepak Bola Dunia (FIFA) menambahkan beberapa regulasi untuk memperkuat pesan bahwa tiada ruang bagi diskriminasi di sepak bola. Tahun lalu pesan ini dikampanyekan di platform digital, dengan menghadirkan 40 legenda sepak bola, bertagar #StopRacism dan #StopDiscrimination. Puluhan juta fans merespons positif.
FIFA juga sejak lama menerapkan hukuman bagi klub, yang pendukungnya melontarkan yel-yel diskriminatif dan rasialis. Respek kepada sesama pemain, wasit, pelatih tim lawan, juga dioptimalkan dalam program "Respect", oleh Badan Sepak Bola Eropa (UEFA). Pelatih bernama besar pun bisa dihukum jika berperilaku tidak sportif. Banyak organisasi sosial juga mengampanyekan ini, salah satunya "Let’s Kick Racism Out of Football" yang aktif sejak 1993.
Namun, Piala Eropa 2020 menyadarkan kita bahwa masalah kebangsaan masih dialami Eropa, tentu seantero dunia juga. Pendukung tim sepak bola, karena fanatismenya, masih menjadi perbedaan ras dan etnis sebagai celah untuk mengecam kegagalan tim nasionalnya.
Sportivitas jauh dari sikap-sikap diskriminatif dan rasialisme. Kemenangan tak perlu disikapi jumawa, kekalahan tak perlu diratapi berlebihan. Kesuksesan di satu kejuaraan bisa tak berlaku lagi di event berikutnya, karena performa akan cenderung berbeda, tergantung kesiapan masing-masing.