Secara umum hasil riset menunjukkan bahwa resiliensi—yaitu kapasitas psikologis untuk bangkit kembali dari kesulitan—warga Indonesia cenderung rendah dan cepat merosot saat ada pengalaman emosional signifikan.
Oleh
P Citra Triwamwoto
·3 menit baca
Masa pandemi karena Covid-19 sudah menghancurkan banyak sendi kehidupan bermasyarakat. Kematian per Rabu (14/7/2021) tercatat 69.210 jiwa.
Selain upaya medis, bantuan sosial, dan kini pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, pemerintah juga mengajak laku spiritual melalui kegiatan virtual Pray from Home. Acara yang digagas oleh Kementerian Agama ini disiarkan secara langsung pada kanal media sosial Kementerian Agama, TVRI, RRI, dan sejumlah media nasional, Minggu (11/7/2021).
Presiden Joko Widodo pada kesempatan itu mengajak masyarakat menundukkan kepala, berdoa dari rumah, dan terus berikhtiar agar ujian segera berakhir.
Agenda selanjutnya adalah pembacaan doa lintas agama. Ada Prof Dr KH Quraish Shihab (Islam), Pendeta Lipius Biniluk (Protestan), Kardinal Suharyo (Katolik), I Nengah Dana (Hindu), Bhante Pannyavaro (Buddha), dan Xs Budi Tanuwibawa (Konghucu).
Pray from Home berlandaskan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kerohanian bangsa Indonesia berwujud pada perilaku berdoa, tidak hanya secara perseorangan, tetapi juga doa bersama secara komunal.
Kegiatan Pray from Home menegaskan bahwa di samping akal budi dan teknologi, bangsa Indonesia mendasarkan diri pada iman akan kemahakuasaan Allah.
Kegiatan sangat bagus ini sebaiknya dilaksanakan secara kontinu. Pembaca doa bisa dari berbagai unsur, generasi muda, tenaga kesehatan, TNI/Polri. Semoga doa bersama kita membantu segera mengatasi Covid-19.
P Citra Triwamwoto
Jl Wika, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan 12640
Menyoal Resiliensi
Riset daring dengan 5.817 responden oleh Laboratorium Cognition, Affect & Well-Being Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, disajikan di harian Kompas, 11 Juli 2021.
Secara umum hasil riset menunjukkan bahwa resiliensi—yaitu kapasitas psikologis untuk bangkit kembali dari kesulitan—warga Indonesia cenderung rendah dan cepat merosot saat ada pengalaman emosional signifikan. Ini melemahkan ketahanan menghadapi tekanan (stress). Kita menjadi mudah depresi, emosi positif diri turun, emosi negatif meningkat.
Mungkin, walau tidak dijelaskan, hal ini membuat kita gampang marah, berkata-kata kasar, dan senang memaki orang lain. Menjadi pemberang dan lupa kesantunan!
Lebih dari 90 persen warga masyarakat dari berbagai usia menilai dirinya sulit berkonsentrasi, menyelesaikan masalah, membuat keputusan, juga kehilangan daya, semangat, rasa bahagia. Meresahkan.
Semua dapat menimbulkan gangguan mental, depresi, dan juga menumbuhkan pesimisme menghadapi situasi. Mungkin sebagian kita memang sudah lelah mencari solusi yang masih bisa didapat.
Masalahnya, akankah kita terus ”berkubang” atau berusaha mencari jalan keluar?
Kita semua terdampak oleh kehadiran Covid-19 yang tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Jumlah yang terpapar masih terus bertambah sehingga daya dukung fasilitas kesehatan pun menurun.
Saya curiga keterpurukan ini bukan hanya karena pagebluk, tetapi memang bagian dari diri kita. Jangan-jangan kita salah satu penyebabnya!
Terasa sekali kita cenderung mudah menyatakan bahwa penyebab kerentanan dari luar diri kita. Alih-alih membantu memikirkan solusi dan berkontribusi, ada saja yang lebih senang nyinyir menyalahkan kiri kanan, termasuk pemerintah. Umpatan, ujaran kebencian, diobral di pelbagai media. Banyak yang kemudian percaya bahwa itu benar.
Kita lupa bahwa diri kita mungkin ikut andil dalam memperparah tekanan dan memperberat derita karena sibuk mencari-cari kesalahan orang atau pihak lain, abai protokol kesehatan, bahkan dengan sengaja melanggar berbagai aturan untuk mencegah menyebarnya wabah.
Bagaimana kita bisa membangun Indonesia jika karakter yang demikian tidak bisa kita hilangkan?