Demam berdarah dengue merebak lagi. Pengendalian penting mengingat koinfeksi demam berdarah dan Covid-19 tidak mudah ditangani. Disiplin menerapkan 3M plus untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk menjadi kunci.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Hujan berkepanjangan di tengah musim kemarau membuat demam berdarah dengue merebak lagi.
Di masa pandemi, penyakit yang ditularkan lewat nyamuk Aedes aegypti itu menurun pamornya. Namun, penyakit yang bertahun-tahun menghantui daerah tropis tersebut masih ada dan mengancam jiwa.
Data Kementerian Kesehatan hingga minggu ke-27 tahun 2021 menunjukkan, jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) 20.290 kasus dengan 171 kematian. Tahun lalu, sekitar kurun waktu sama, ada 71.633 kasus dengan 459 kematian. Jumlah kasus dan kematian akibat DBD menurun. Meski demikian, seharusnya kasus dan kematian bisa dicegah.
Peningkatan kasus Covid-19 membuat upaya pengendalian DBD terkendala. Nyaris semua daya, tenaga, dan dana terfokus pada penanganan Covid-19. Ruang gerak juru pemantau jentik (jumantik) yang bertugas memeriksa setiap rumah di wilayahnya juga terhambat karena harus menjaga jarak dan mengurangi mobilitas.
Semua adalah tentang kesadaran bersama. Ada cara untuk menjaga kesehatan kita dan lingkungan. Untuk mengatasi DBD, setiap rumah tangga perlu disiplin menerapkan 3M plus yang telah diperkenalkan sejak lama untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk. Langkah itu meliputi rajin membersihkan dan menutup tempat penampung air, mengubur atau mendaur ulang barang bekas yang bisa menampung air, menggunakan larvasida, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, atau menanam tanaman pengusir nyamuk. Cara ini juga efektif mencegah penyakit chikungunya yang ditularkan Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Pada fasilitas umum, pemerintah bisa melaksanakan 3M plus bekerjasama dengan masyarakat lewat karang taruna, PKK, posyandu, atau dilakukan dinas kebersihan setempat. Pengasapan tidak bisa diandalkan, karena hanya efektif beberapa menit. Setelah residu pestisida hilang, nyamuk yang datang kemudian tetap menularkan virus dengue.
Pengendalian DBD menjadi penting, mengingat gejala awal DBD dan Covid-19 mirip, yakni demam. Namun, perjalanan penyakit dan penanganannya berbeda. Jika terlambat terdeteksi atau DBD dan Covid-19 terjadi bersamaan, akan sulit diatasi.
Umumnya penderita DBD mengalami demam tinggi disertai sakit kepala. Penderita Covid-19 kebanyakan juga mengalami demam, sakit kepala, disertai batuk dan gangguan pernapasan. Di awal penyakit, gejala tidak mudah dibedakan. Padahal, penanganan yang tepat menentukan perjalanan penyakit.
Hal itu pernah dilaporkan tim peneliti Singapura, Gabriel Yan dan kolega, di jurnal Lancet, 4 Maret 2020. Mereka memaparkan dua kasus pasien yang hasil tes serologi cepatnya menunjukkan positif demam berdarah. Pasien tidak memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri. Beberapa hari kemudian gejala makin parah dan mengarah ke Covid-19, sehingga pasien dites dan terkonfirmasi positif Covid-19. Sampel awal kedua pasien dites kembali, ternyata hasilnya negatif untuk demam berdarah.
Di Indonesia, koinfeksi DBD-Covid-19 tidak jarang terjadi pada pasien DBD. Karena itu, mari kita terapkan protokol kesehatan 6M bersama upaya pencegahan demam berdarah dengue 3M plus agar berhasil melalui badai pandemi.