Salah satu wujudnya adalah perilaku korup dan memakan uang rakyat. Termasuk menyalahgunakan wewenang dan memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk kepentingan sendiri. Padahal, masyarakat sedang kesulitan.
Oleh
Samesto Nitisastro
·2 menit baca
Exeat aula, qui vult esse pius, kata Marcus Annaeus Lucanus, penyair Kerajaan Romawi. Maknanya, barang siapa ingin jadi orang baik, hendaklah meninggalkan istana. Terjemahan bebasnya, kalau tetap ingin menjadi orang baik, jangan masuk lingkaran kekuasaan.
Selain itu, ada juga pepatah Latin, animo magis quam corpore aegri sunt. Artinya, mereka (yang berkuasa) lebih banyak (terkena) sakit jiwa daripada sakit badan.
Dua pepatah di atas menggambarkan apa yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Kebanyakan orang, apabila sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan, memang ada kecenderungan lupa diri, menyalahgunakan kekuasaan, ujung-ujungnya kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Itulah sakit jiwa yang sebenarnya.
Kekuasaan dan kekuatan memang hebat pengaruhnya, banyak orang yang awalnya bersih dan tidak punya sejarah masa lalu buruk akhirnya terkena sakit jiwa juga.
Penyakit jiwa yang satu ini memang penularannya luar biasa cepat. Salah satu wujudnya adalah perilaku korup dan memakan uang rakyat. Termasuk menyalahgunakan wewenang dan memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk kepentingan sendiri. Padahal, masyarakat sedang kesulitan.
Semoga saja para pengelola negeri kita yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat dijauhkan dari penyakit jiwa. Yang sudah telanjur mengidap penyakit jiwa bisa dipulihkan. Ingat, jiwa yang sehat baik bagi kesejahteraan rakyat.
Samesto Nitisastro
Praktisi SDM, Pesona Khayangan, Depok 16411
Beli Rumah
Pada 3 Januari 2014, saya membeli satu unit rumah di Grand Mutiara Hills, Palembang, dengan mencicil 24 bulan melalui BTN ke rekening PT Prime Land Realty.
Namun, setelah cicilan selesai 2016, saya tidak mendapat sertifikat dan unit belum selesai dibangun. Tahun 2017 baru dibuatkan akta jual beli oleh notaris Eti Mulyati.
Notaris Eti Mulyati akan membuat sertifikat atas nama saudara saya, Cindra Yulli, sambil menunggu pemecahan sertifikat induk.
Tahun 2019, notaris Eti mengabarkan, sertifikat telah dipecah developer di notaris lain, Fitri. Sertifikat dimasukkan ke BTN KM5 Palembang sebagai jaminan pinjaman perusahaan.
Untuk mendapatkan sertifikat, saya harus menebusnya. Mengapa saya? Bukankah sertifikat itu hak saya sebagai pembeli?