Kita berharap hubungan institusional antara MA dan KY yang belum sempurna secara desain konstitusional tidak menjadi kendala dalam rekrutmen hakim ad hoc korupsi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Bekas menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kiri) menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, 15 Juni 2021.
Potensi terjadinya krisis hakim ad hoc korupsi di lingkungan Mahkamah Agung sungguh mengejutkan. Peristiwa itu sebenarnya bisa diantisipasi.
Kejadian itu sungguh memprihatinkan dan menunjukkan ada masalah dalam tata kelola dan perencanaan rekrutmen sumber daya manusia. Pensiunnya sejumlah hakim ad hoc korupsi tentunya bukanlah tiba-tiba. Kejadian itu sangat jelas bisa direncanakan sebelumnya karena datanya terbuka dan tersedia. Karena itulah, wajar jika publik terkejut mengapa bisa terjadi krisis hakim ad hoc korupsi.
Seperti diberitakan, ada empat hakim ad hoc yang pensiun pada 22 Juli 2021. Sepeninggal mereka, Mahkamah Agung (MA) hanya memiliki tiga hakim ad hoc tipikor. Sementara proses seleksi butuh waktu dan butuh dana. MA dan Komisi Yudisial (KY) sedang berdiskusi untuk mencari jalan keluar. Adapun kasus korupsi yang berada di MA masih banyak.
Kita tidak berharap krisis hakim agung ad hoc bukan karena tidak harmonisnya hubungan KY dan MA. Kedua lembaga, meskipun sama-sama mendapatkan kewenangan dari konstitusi, dalam sejarahnya kerap kali bergesekan.
KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN
Bekas Menteri Sosial Juliari Batubara mengikuti sidang dugaan suap pengadaan bantuan sosial di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, 14 Juni 2021.
MA dan kekuasaan kehakiman memang diidealkan sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan apa pun. Namun, dalam realitas empiriknya, ada juga pemegang kekuasaan kehakiman yang tidak bebas dari kekuasaan apa pun. Adanya beberapa hakim yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentunya memberikan indikasi bahwa kekuasaan yang mandiri belum sepenuhnya terwujud.
Kehadiran KY yang ditafsirkan mengawasi kekuasaan kehakiman menimbulkan keengganan dari kekuasaan yang dijamin kemandiriannya dari pengaruh apa pun untuk diawasi. Uji materi terhadap Undang-Undang KY beberapa kali dilakukan sejumlah hakim untuk membela prinsip ”kemandirian kekuasaan kehakiman”.
Ada empat hakim ad hoc yang pensiun pada 22 Juli 2021. Sepeninggal mereka, Mahkamah Agung (MA) hanya memiliki tiga hakim ad hoc tipikor.
Kita berharap hubungan institusional antara MA dan KY yang belum sempurna secara desain konstitusional tidak menjadi kendala dalam rekrutmen hakim ad hoc korupsi. Apa pun kekosongan hakim ad hoc korupsi harus diisi agar pemutusan kasus korupsi tidak terhambat. Setelah KPK dilemahkan—dalam persepsi sejumlah pihak—dengan penonaktifan 51 pegawainya, jangan sampai terjadi lagi krisis hakim ad hoc kasus korupsi. Kehadiran hakim ad hoc korupsi diperlukan. Hakim ad hoc yang punya pikiran progresif untuk memerangi korupsi di negeri ini. Para hakim melalui putusannya bisa berkontribusi bagaimana negeri ini bisa bebas dari perampokan uang rakyat melalui korupsi.
Hakim progresif yang berani mendobrak tren cara pandang pemberantasan korupsi terpimpin yang tampaknya menjadi kecenderungan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi terpimpin terpola. Mana yang harus diadili, dan mana yang harus dilindungi. Jika kecenderungan itu benar adanya, akan menyalahi prinsip kesamaan di muka hukum dan menghambat laju pemberantasan korupsi yang sudah kendur.