Kado Aneh di Hari Ulang Tahun
Jadi pada ulang tahun ke-18 itu, kalau tak salah ingat, aku dihadiahi beberapa potong sabun mandi, handuk, dan yang terbanyak justru gelas. Kau boleh tertawa ngakak soal ini, tetapi itulah senyatanya.
Saat aku merayakan ulang tahun pertama menurut perhitungan kalender lokal, pembunuhan sedang terjadi di mana-mana. Seluruh penjuru kota berbau amis darah. Penculikan dan pembantaian justru dimotori oleh militer. Orang-orang yang dicap merah dijemput paksa dari rumah, lalu dijerumuskan ke dalam truk untuk selanjutnya dieksekusi oleh para algojo. Pada masa itu, para korban ”dibon”, ditukartempatkan dengan calon korban lain agar para algojo tidak mengenalnya.
Kata ibuku, tak jauh dari rumah kami di suatu gedung bernama Toko Wong, banyak orang dieksekusi. Oleh sebab itulah, renteten tembakan dengan sangat mudah terdengar. Satu letusan, kata Ibu lagi, sudah cukup untuk membuat kami semua berlindung di bawah kolong rumah karena ketakutan. Kami semua setiap saat mencemaskan keselamatan kami. Tuduhan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) berkelindan dengan soal-soal pribadi. Bahkan, kata Ibu, banyak yang dieksekusi karena kecemburuan, sakit hati, warisan, dan iri hati.
Tepat pada Saniscara (Sabtu) Pon Dungulan, berdasarkan perhitungan kalender Bali, pertama kalinya aku harus ngotonin. Pada perhitungan hari yang jatuh di bulan Desember 1965 itu, aku harus diupacarai sebagai panjatan rasa syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah memberi kesempatan kepadaku turun ke dunia dengan selamat. Padahal, cerita Ibu suatu hari, pada saat itu kegentingan kota seolah sedang menuju puncak.
”Rentetan tembakan makin sering terdengar. Tentara juga terus menjemput orang-orang yang terlibat. Padi-padi di lumbung Kakek yang baru panen seminggu lalu habis dirampas. Pokoknya genting…,” tutur Ibu. Meskipun begitu, otonan atau ulang tahun pertama bagi seorang manusia yang lahir ke dunia tetap harus digelar, seberapa pun sederhananya.
Ibu lupa tanggal persisnya kapan upacara ngotonin itu berlangsung menurut kalender Masehi. Dia hanya ingat berbagai sarana upacara berupa peras, pejati, pengambean, segehan, dan sesayut, yang menjadi sesaji wajib saat ngotonin, dibuat sendiri oleh Ibu dan Nenek. Walaupun sebagian besar dibuat dari daun pisang, padahal seharusnya menggunakan janur. ”Tak mudah cari janur di masa itu, karena tentara mencurigai setiap orang yang keluar rumah,” kata Ibu.
Selain itu, karena tentara melarang orang-orang berkerumun, seluruh prosesi ngotonin dilakukan dalam ”kamp” persembunyian di bawah rerimbun pohon pisang. Seluruh sesaji diletakkan di satu meja kecil yang berhasil dibawa Bapak ke kebun pisang. Nenek sendiri kemudian yang bertugas ngayaban (menghaturkan) sesaji, terutama kepada Sang Atman, yang manumadi (lahir ke dunia) menjadi bayi yang telah diberi nama Putu Fajar Arcana itu. Sesaji itu dihaturkan sebagai upacara menyambut kehadiran serpihan roh Atman yang kini menjelma ke dunia.
Terdapat pula sesi upacara bernama ngaturang segehan di atas bumi sebagai bentuk permohonan kepada Bhutakala (roh-roh penguasa kegelapan) agar seluruh rangkaian upacara tidak diganggu dan berjalan dengan lancar. Inti dari ngotonin sebenarnya disebut dengan mesapuh-sapuh. Nenek mengusapkan arang dari beras ke telapak tanganku di kanan dan kiri, lalu mengucapkan kata-kata: Ne cening jani mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip. Ini semacam doa dalam bahasa Bali sehari-hari yang artinya: ’anakku sekarang mesapuh-sapuh, agar hilang segala daki di tangan dan sekujur tubuhmu, agar kelak menemukan kesucian dalam menjalani hidup’.
Masih ada beberapa rangkaian upacara lainnya, tetapi intinya kira-kira, ulang tahun pertama itu mejadi semacam panjatan rasa syukur atas kelahiran seorang bayi, yang diharapkan membawa keselamatan dan kebaikan.
Oh ya, ada sedikit perbedaan dalam perhitungan kalender Bali dan Masehi. Berdasarkan perhitungan kalender Bali, yang menggabungkan perhitungan lunar system dengan pawukon, pertemuan Saniscara (Sapta Wara), Pon (Panca Wara), dan Dungulan (Wuku) terjadi setiap 210 hari (enam bulan masa Masehi). Jadi, peristiwa otonan atau ulang tahun berdasarkan kalender Bali terjadi setiap enam bulan sekali berdasarkan kalender Masehi. Oleh sebab itulah, hampir semua hari raya suci, termasuk piodalan di pura, kecuali Nyepi, selalu jatuh pada perhitungan 210 hari.
Jadi, seharusnya aku berulang tahun setiap enam bulan sekali. Meskipun aku tinggal jauh di Jakarta, Ibu selalu mengingatkan bahwa otonan-ku terjadi pada Saniscara Pon Dungulan, dekat-dekat dengan perayaaan hari raya Galungan dan Kuningan. Masalahnya, karena kami sudah puluhan tahun tinggal berjauhan, tidak setiap otonan bisa diperingati.
Bapak tidak setuju jika ulang tahunku dirayakan, karena sudah punya otonan.
Perlahan-lahan otonan berganti menjadi ulang tahun menurut kalender Masehi, yang dianut oleh sebagian besar umat manusia di bumi. Seingatku, pertama kali aku merayakan ulang tahun pada usia 18 tahun di kampung halaman. Itu pun harus melalui perdebatan sengit dengan Bapak. Bapak tidak setuju jika ulang tahunku dirayakan, karena sudah punya otonan.
”Otonan sudah cukup, malah lebih khusyuk dan lebih dekat dengan Hyang Widhi,” kata Bapak.
”Tapi kan katanya otonan pertamaku serba darurat?” debatku.
”Justru karena itu, kau harus ingat semuanya, tanpa otonan barangkali kita tidak bisa melalui hari-hari mahaberat itu.”
”Sekarang mau ulang tahun dalam suasana yang lebih baik.”
”Bapak tidak yakin kau bisa melampuai usiamu tanpa ada otonan darurat itu,” kata Bapak.
”Maksudnya?”
”Mengapa kita ngotot buat otonan di zaman genting, karena itulah cara untuk melewati zaman susah, agar kita semua selamat,” jawab Bapak.
Entahlah aku agak lupa, bagaimana akhir dari debat kami. Waktu itu, Ibu membiarkan aku mengundang teman-teman sepermainanku dan sebagian teman sekolahku untuk hadir merayakan ulang tahun ke-18 itu. Oh, yang luar biasa dan kau harus tahu, di kampungku pada masa-masa sekitar tahun 1980-an itu, kado terpenting bagi seseorang yang berulang tahun adalah: sabun, handuk, atau gelas. Tak banyak pilihan lainnya. Jarang sekali seseorang menghadiahkan pakaian atau barang-barang kesukaan yang berulang tahun, seperti misalnya sandal, sepatu, atau gitar sekalian.
Jadi, pada ulang tahun ke-18 itu, kalau tak salah ingat, aku dihadiahi beberapa potong sabun mandi, handuk, dan yang terbanyak justru gelas. Kau boleh tertawa ngakak soal ini, tetapi itulah senyatanya. Bayangkan saja, seseorang yang sedang menanjak remaja penuh pada akhirnya tidak tahu harus bagaimana dengan gelas-gelas yang menumpuk di kamar.
Ibu bertindak lebih lihai. Nanti, Ibu menghadiahkan gelas-gelas itu kembali kepada para tetangga yang menggelar upacara seperti ngotonin atau upacara-upacara lain di desa. Dan entahlah, apakah yang menerimanya juga akan memperlakukan gelas-gelas itu dengan cara yang sama, aku sendiri tak ingat lagi. Selepas ulang tahun ke-18 itu, dalam waktu tak terlalu lama aku meninggalkan kota Negara dan indekos di Denpasar karena harus kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Di tengah-tengah kepanikan itu, penyair Joko Pinurbo menulis puisi berjudul ”Ambulans”.
Beberapa hari lalu, tepatnya 10 Juli 2021, aku berulang tahun kembali. Sesungguhnya, hari-hari terakhir ini tak begitu pantas untuk merayakan ulang tahun. Kecamuk gelombang kedua pandemi Covid-19 terjadi di mana-mana. Setiap hari puluhan ribu orang terpapar virus yang mematikan itu. Sirene terus-menerus meraung-raung di jalanan. Orang-orang yang mengantre rumah sakit hampir sama jumlahnya dengan antrean jenazah yang akan dimakamkan. Di tengah-tengah kepanikan itu, penyair Joko Pinurbo menulis puisi berjudul ”Ambulans”. ”Negara/meraung-raung/menjemput/warganya/yang terlantar/dan terlambat/ia selamatkan//”.
Puisi yang pertama kali diunggah di media sosial, Minggu, 4 Juli 2021, itu ditulis dengan sederhana tanpa diseram-seramkan, tetapi dilucurkan pada waktu yang tepat. Ketika semua perasaan kita tercabik-cabik karena didera kengerian, Jokpin, demikian Joko Pinurbo disapa, seolah memberi kesaksian betapa kepanikan itu melanda negara kita. Banyak warga yang tak mendapatkan perawatan secara layak, bahkan beberapa di antaranya meninggal saat melakukan isolasi mandiri di rumah. Kritik halus yang disampaikan Jokpin hanya dengan mengucapkan: warga yang terlambat ia (negara) selamatkan. Artinya, betapa tak berdayanya negara mengatasi karut-marut pandemi yang sudah terjadi sejak awal Maret 2020 lalu.
Aku merasa puisi Jokpin telah menjadi kado paling aneh di saat akan merayakan ulang tahun. Dulu ketika otonan pertama di bulan Desember 1965, tragedi pembantaian orang-orang yang dicap PKI oleh tentara sebagai representasi dari negara, menandai hari-hari awal keberadaanku di dunia. Bapak dan Ibu tak henti mengucap syukur karena kami bisa melewati hari-hari paling kelam dalam kehidupan bangsa Indonesia. Otonan kemudian seakan menjadi milestone dalam kehidupan kami, terutama kehidupanku. Bahwa lompatan usia pada tahun pertama menjadi pijakan untuk menapaki usia-usia selanjutnya di masa depan.
Ketika berulang tahun ke-56, kami sedang terpisah jarak. Aku dan istriku sedang ”terjebak” penerapan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) darurat, yang dimulai 3 Juli hingga 20 Juli 2021, di Bali, sedangkan kedua anak kami berada di Jakarta. Di saat sebaran virus semakin meluas, termasuk di kompleks perumahan kami di Tangerang Selatan, sungguh riskan berkumpul untuk merayakan ulang tahun.
Masalahnya, kau akan segera menyadarinya, betapa lompatan usiaku hampir selalu ditandai oleh kejadian-kejadian besar yang menghebohkan.
Akhirnya kami punya rencana darurat. Angelina Arcana, anak sulung kami, mengusulkan perayaan ulang tahunku dilakukan secara virtual. Pemanfaatan teknologi digital sudah bukan benda asing lagi di masa pandemi. Sejak bulan April 2020, Arcana Foundation yang kami dirikan sudah menggunakan kanal-kanal digital untuk menghimpun para penulis. Kami, di antaranya, menggelar pelatihan menulis dan pembacaan puisi para penyair dari pelosok-pelosok Nusantara. Jadi, intinya, kami semua cukup fasih menggunakan bahasa teknologi. Dan, kami menyanyikan lagu ”Selamat Ulang Tahun” serta meniup lilin secara daring (dalam jaringan).
Masalahnya, kau akan segera menyadarinya, betapa lompatan usiaku hampir selalu ditandai oleh kejadian-kejadian besar yang menghebohkan. Sejak masa-masa peringatan secara tradisional di kampung dahulu sampai pada era digital sekarang ini: kecemasan dan ketakutan menghantui kita semua.
Di tengah kecemasan dan ketakutanan itu, toh kami tetap bersyukur. Setidaknya, sampai sejauh ini aku telah melewati tapal batas usia di hari ulang tahun, untuk kemudian menapaki usia yang baru. Sekalipun, kata banyak rumor, bahwa ketika kita menapaki usia baru, saat itu juga sesungguhnya ada pengurangan batas usia. Semakin jauh perjalanan umurmu, semakin dekat kau pada batas usiamu.
Toh begitu, jalan satu-satunya melintasi tapal batas usiamu di hari ulang tahun, tiada lain tetap berpikir sehat dan bahagia.
Apakah kekerasan yang dilakukan tentara tahun 1965 dan kecemasan yang menjadi hantu dalam tidur kita di masa pandemi menjadi kado paling aneh di hari ulang tahunku? Jika dulu kado itu selalu berupa gelas yang mudah pecah, barangkali sekarang kado itu berupa puisi dari Jokpin, yang menuangkan ketakberdayaan negara menghadapi pandemi. Toh begitu, jalan satu-satunya melintasi tapal batas usiamu di hari ulang tahun, tiada lain tetap berpikir sehat dan bahagia. Caranya, taati sepenuh hati prosedur kesehatan dengan penuh kesadaran serta berduyun-duyunlah menuju bilik vaksinasi. Itu cara paling rasional di masa penuh kecemasan, karena melibatkan sains.
Kau tak hanya akan sehat, tetapi juga berperan menyehatkan orang lain. Jangan sampai mengulangi kesalahan negara, terlambat menjemput warganya yang sedang sekarat.
Baca juga :