Bursa saham Indonesia akan kedatangan salah satu ”unicorn”, yaitu Bukalapak. Sebelum memutuskan membeli saham perusahaan seperti Bukalapak, calon investor sebaiknya memahami risiko dan mengetahui bisnis perusahaannya.
Oleh
JOICE TAURIS SANTI
·5 menit baca
Bursa saham Indonesia akan kedatangan unicorn. Bukalapak merencanakan akan menjual 25 persen sahamnya kepada publik, baik di dalam maupun di luar negeri. Unicorn adalah sebutan untuk perusahaan rintisan atau start up yang valuasinya melebihi 1 miliar dollar AS.
Nilai saham 25 persen itu setara dengan Rp 22 triliun atau sembilan kali asetnya. Ini merupakan penawaran saham perdana terbesar, melewati rekor penawaran saham perdana Adaro Energy Tbk pada 16 Juli 2008 yang mendapatkan dana publik Rp 12,25 triliun. Saham Bukalapak ditawarkan pada kisaran Rp 750-Rp 850, tidak ditawarkan melalui platform e-ipo, melainkan pembelian ke sekuritas.
Investor ritel pun berkesempatan untuk membeli saham perdana lokapasar berwarna merah ini. Sebelum memutuskan untuk membeli saham perusahaan teknologi seperti Bukalapak ini, tentu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh investor.
Seperti biasa, mempelajari prospektus merupakan panduan bagi para calon investor. Dalam prospektus ada berbagai informasi seperti siapa pemegang sahamnya.
Pemegang saham Bukalapak ada 51 pihak. Tiga pemegang saham terbesar yang memegang saham total lebih dari 60 persen adalah PT Kreatif Karya Media, anak perusahaan Elang Mahkota Teknologi Tbk (31,9 persen); API Investment Limited Hongkong (17,4); dan Archipelago Investment Pte Ltd, unit usaha dari Government of Singapore Investment Corporation (GIC), pengelola kekayaan Singapura (12,6 persen).
Investor lainnya, antara lain, Microsoft (1,21 persen) dan Mirae Asset Naver Asia Growth Investment (2,4 persen) yang terafiliasi dengan Mirae Asset Indonesia, penjamin emisi penjualan saham perdana ini, serta para pemegang saham pendiri. Dengan mengetahui siapa pemilik saham, investor ritel dapat memperkirakan bagaimana tata kelola perusahaan dan keseriusan manajemen dalam mengelola perusahaan tersebut. Setelah melepaskan saham ke publik, kepemilikan pemegang saham lama akan berkurang atau terdilusi.
Selain susunan pemegang saham, ikhtisar lain dalam prospektus yang perlu dicermati adalah kinerja perusahaan. Bukalapak menyajikan laporan keuangan tahun 2018-2020. Membedah laporan keuangan perusahaan teknologi menarik karena berbeda dengan laporan keuangan perusahaan konvensional.
Bukalapak masih membukukan kerugian operasional selama tiga tahun terakhir, masing-masing Rp 2,2 triliun pada 2018, Rp 2,8 triliun (2019), dan Rp 3,1 triliun (2020). Bagi investor yang belum pernah melihat laporan keuangan perusahaan teknologi pasti terheran-heran. Perusahaan merugi, kok, ditawarkan di bursa? Apalagi bursa dan Otoritas Jasa Keuangan sepakat untuk mengubah beberapa aturan untuk menyambut unicorn-unicorn di pasar saham. Valuasi perusahaan teknologi tidak sama dengan perusahaan konvensional.
Perusahaan konvensional dinilai berdasarkan arus kas yang didapatkan. Arus kas itu diekstrapolasi dalam beberapa tahun ke depan lalu dihitung dalam nilai saat ini dengan diskon. Metode ini dikenal dengan nama discounted cash flow.
Akan tetapi, tidak demikian dengan valuasi perusahaan teknologi. Setiap jenis perusahaan teknologi memiliki matrik sendiri dalam menentukan nilainya. Perusahaan lokapasar dinilai dengan matrik seperti gross merchandise value atau gross transaction value (GTV). Juga dengan monthly unique visitors dan besaran-besaran lain yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan dalam perusahaan konvensional.
Tentu saja perusahaan tidak sepantasnya terlalu lama merugi karena kebijakan ”membakar uang” tidak dapat dilakukan terlalu lama. Manajemen Bukalapak menyatakan akan mengejar keuntungan. Jika memang tidak juga kunjung membukukan keuntungan seperti yang dijanjikan, investor dapat melepaskan sahamnya. Di pasar modal, para investor dapat meninggalkan emiten dalam beberapa detik, hanya dengan menekan tombol jual saja.
Dilihat dari nilai transaksi Bukalapak, tahun 2020 tercatat sebesar Rp 85 triliun, dari Rp 57,39 triliun (2019), dan Rp 28,34 triliun (2018). Sementara pendapatan Rp 1,35 triliun pada 2020, dari Rp 1,07 triliun pada 2019, dan Rp 292 miliar (2018). Aset Bukalapak sebesar Rp 2,5 triliun (2020) naik dari Rp 2 triliun (2019). Investor juga dapat memperhatikan bahwa aset Bukalapak sebagian besar merupakan aset tak berwujud.
Sebelum membayangkan bahwa bursa saham akan selalu menjadi ”tangan Midas” yang mengubah saham receh menjadi berharga, investor terlebih dahulu harus memperhatikan risikonya. Tidak semua saham perusahaan teknologi berkembang seperti saham Amazon, yang menanjak dari harga 18 dollar AS pada 15 Mei 1997 menjadi 3.719 dollar AS akhir pekan lalu.
Kejatuhan saham dotcom pada era 2000-an merupakan salah satu contoh kegagalan saham-saham teknologi. Terbaru adalah penawaran saham Didi Chuxing di Nasdaq yang euforianya hanya bertahan sebentar karena tekanan dari Pemerintah China.
Investor sebaiknya memahami bisnis apa yang dilakukan oleh emiten yang sahamnya dia beli. Memahami perusahaan model baru, yang sarat dengan perubahan pada berbagai sisi, menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi investor. Walaupun sama-sama membeli saham bank, emiten bank konvensional lebih mudah dipahami investor ketimbang bank digital. Perubahan yang cepat terjadi, baik dari sisi model bisnis dan lainnya, membuat investor harus lebih banyak belajar lagi.
Terkait perubahan juga, investor harus mencermati bagaimana rencana emiten. Persaingan ketat pada bidang teknologi membuat emiten juga harus berlomba untuk memenuhi kebutuhan pasar dan meninggalkan para pesaingnya. Hal ini pernah terjadi pada industri telepon genggam. Perusahaan yang dulu berjaya, akhirnya tumbang karena kalah bersaing.
Sebagian dari perusahaan teknologi adalah perusahaan baru, jadi belum teruji dalam beberapa hal seperti bagaimana mengatasi masalah yang mungkin terjadi. Misalnya, bagaimana menghadapi risiko peretasan, keamanan data pelanggan, dan lainnya.
Jadi, membeli saham teknologi setidaknya harus mengetahui bisnis yang dijalankan sekaligus paham perusahaannya, kelebihan dibandingkan dengan perusahaan lain sejenis, juga apakah para pengelolanya merupakan orang yang dapat dipercaya.