Serangan Covid-19 yang tak henti dan kian gencar membombardir telah menggerus rasa optimisme. Ibarat benteng, harus diperkuat. Jangan dibiarkan roboh.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Optimisme biasanya muncul saat ada harapan dan keyakinan akan kesuksesan atau setidaknya masa depan yang lebih baik. Sebaliknya, sikap pesimistis muncul ketika hal-hal yang tidak menguntungkan bahkan kefatalan terus terjadi.
Namun, memerhatikan data tren pertumbuhan kasus baru maupun kasus kematian di dunia maupun Indonesia yang belum menunjukkan penurunan, alih-alih malah meningkat, rasa optimistis itu harus dibangun secara aktif.
Belum lagi, ketika kita mendengar suara ambulan yang mondar-mandir atau menerima kabar duka, baik berupa teks, foto, atau video, yang banyak diunggah, baik itu dari keluarga dekat, kerabat, sahabat, bahkan grup-grup di aplikasi pesan.
Berpikir positif dan fokus pada hal baik merupakan salah satu cara untuk membangun optimisme. Khalil Gibran (1883-1931) menuliskan, "Orang-orang optimistis melihat bunga mawar, bukan dari durinya. Orang-orang pesimistis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya."
Adanya rentang yang sangat besar antara pasien sembuh dan meninggal akibat Covid boleh jadi "bunga mawar" itu. Data dunia menunjukkan dari total kasus sebanyak 187,4 juta orang, pasien sembuh 97,69 persen sedangkan meninggal dunia 2,31 persen. Di Indonesia, dari 2,52 juta kasus terkonfirmasi positif, sebanyak 82,5 persen sembuh; 14,9 persen masih dalam pengobatan; dan 2,6 persen meninggal dunia.
Dalam kondisi serba sulit dan penuh kesedihan ini, semangat solidaritas sesama anak bangsa pun bermekaran. Mulai dari saling membantu tetangga yang terinfeksi, menawarkan menjadi teman melewati masa isolasi, membuat dapur umum untuk warga tak mampu yang tidak dapat bekerja atau diputus kerja, sampai membuatkan peti mati. (Kompas, Minggu 11/07/2021)
Tidak sedikit juga yang telah berjibaku mempertaruhkan jiwanya untuk memenangkan pertarungan dalam setahun terakhir ini. Para dokter dan tenaga kesehatan, berada di garis paling depan. Mereka yang bertugas di sektor publik dan di lapangan pun tak sedikit yang terpapar dan bertumbangan, baik itu penyelenggara negara, aparatur sipil negara, TNI/Polri, sektor swasta di industri esensial, termasuk pers.
Mereka semua orang-orang luar biasa. "Orang-orang yang optimistis tidak menunggu terjadinya perbaikan, mereka mewujudkan perbaikan itu," kata teolog asal Jerman, Paul Wilhelm von Keppler (1852-1926).
Dalam kondisi penuh tekanan, selain mengoptimalkan berbagai upaya mengatasi pandemi Covid-19, pembangunan mental tidak kalah pentingnya. Kisah 33 penambang Cile yang terjebak 69 hari di tambang tua sedalam 700 meter membuktikannya. Mengatasi mental yang jatuh, mereka bekerjasama saling menjaga. Selain mengatur makanan dan obat yang terbatas, ada juga yang berperan membangun harapan.