Koperasi Perempuan
Keberadaan koperasi berbasis perempuan, yang selalu bersentuhan dengan masyarakat paling miskin, bisa memberi peluang menguatkan kemandirian ekonomi perempuan, terutama di masa pandemi ini.
BPS melansir, Produk Domestik Bruto sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial triwulan I-2021 tumbuh positif 3,64 persen.
Dalam konteks sektor kegiatan sosial, banyak fakta dan studi menjustifi -kasi, perilaku solidaritas sosial di masa pandemi, justru kian meningkat. Laporan World Giving Index yang dipublikasikan Charities Aid Foundation 14 Juni 2021 menegaskan komponen solidaritas sosial itu.
Indonesia tetap negara paling dermawan di dunia. Ini mengirim pesan, perilaku kedermawanan sebagai ekspresi rasa kekeluargaan atau jiwa gotong-royong di masyarakat, ternyata belum luruh. Bahkan, di tengah pandemi di mana 69,5 persen masyarakat mengalami tekanan pendapatan, mereka tetap semangat berderma dan saling membantu.
Spirit koperasi
Modal sosial utama koperasi adalah saling membantu, berempati, dan saling bergotong- royong. Koperasi adalah kumpulan orang, bukan kumpulan modal atau uang. Koperasi bukan semata-mata mau melipatgandakan uang atau kapitalisasi modal, tetapi kebersamaan. Karakter khas koperasi adalah kolegialisme dan kolektivisme.
Bung Hatta dalam Demokrasi Kita (1966) menyebut, demokrasi dalam bidang ekonomi tergambar “...semangat gotong rojong jang merupakan koperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknja membangun koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakjat. Kejakinan tertanam bahwa hanja dengan koperasi dapat dibangun kemakmuran rakjat”.
Baca juga : Tantangan Koperasi di Era Digital
Dengan dasar kekeluargaan, sejatinya peran perempuan sebagai “penjaga gawang” rumah tangga bisa lebih optimal. Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan International Cooperative Alliance (ICA) (2017), 75 persen responden merasakan partisipasi perempuan dalam berkoperasi bergerak naik dalam rentang 20 tahun terakhir. Koperasi oleh 80 persen responden, dianggap lebih baik dibandingkan organisasi bisnis perseorangan ataupun bisnis publik dalam meningkatkan kesetaraan gender.
Di Indonesia, Laporan Pembangunan Manusia yang disampaikan UNDP 2017, 22 Maret 2017, meneguhkan kesenjangan Indeks Pembangunan Manusia antara lelaki dan perempuan.
Indeks kaum perempuan 0,660, tertinggal dibandingkan laki-laki 0,712. Problem kesetaraan adalah kunci pembangunan berkelanjutan. Perempuan tertinggal dalam rerata lama sekolah, jumlah yang tamat pendidikan menengah, pendapatan nasional per kapita, dan partisipasi kerja. Kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja antara lelaki dan perempuan paling mencolok.
Kesenjangan adalah produk diskriminasi, di mana perlakuan ketidakadilan selalu dirawat dalam setiap kebijakan publik dan domestik. Terlepas faktor mentalitas kebudayaan masyarakat yang pernah disinggung Koentjaraningrat (1974) dan Soemardjan (1982), sejatinya kesenjangan sosial, termasuk kesenjangan pendapatan lelaki dan perempuan, lebih dilatari hambatan struktural, kurangnya ruang memanfaatkan etalase kesempatan. Bagi Bremean (1985), kaum miskin “jalan ke atas acap kali dirintangi”, sedangkan “jalan menuju ke bawah terlalu mudah dilalui”.
Banyak studi yang membedah persoalan kemiskinan, dan ternyata posisi tergawat berada di tangan kaum perempuan. Muhammad Yunus (pemenang Nobel 2009) menyampaikan, kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang lelaki. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tak tertulis mengatakan, ibulah yang pertama mengalaminya. Ibu rumah tangga juga akan menderita pengalaman traumatis karena tidak mampu menyusui bayinya selama masa kelaparan dan paceklik.
Studi Kabeer (2008) di Bangladesh dan Pakistan menunjukkan, pemberian pinjaman koperasi kepada lelaki, cenderung meneruskan bahkan memperparah ketidakadilan gender dalam rumah tangga. Kebijakan itu menguatkan posisi lelaki dengan memberi mereka sumber daya di mana mereka mampu mencegah keikutsertaan para istri terlibat aktivitas perolehan pendapatan.
Baca juga : Peran Koperasi untuk Perubahan Iklim Belum Terpetakan
Dalam faktanya, struktur sosial masyarakat di banyak negara berkembang (termasuk beberapa daerah di Indonesia) cenderung tak menguntungkan, bahkan merendahkan kaum perempuan, meski bagi kaum perempuan di kalangan berada. Dibanding lelaki, perempuan acapkali kurang menyadari dan menggali potensi kewirausahaan yang di miliki. Ketidakadilan gender telah jadi penghambat mengakses sumber daya keuangan yang diperlukan (Kabeer, 2008; Mahmud, 2003).
Koperasi perempuan
Riset yang penulis lakukan di Banten (2015-2017) mengaitkan antara keuangan mikro dan kaum perempuan perdesaan, mengonfirmasi bahwa keuangan mikro yang dimotori koperasi berbasis perempuan memiliki fleksibilitas dalam menjangkau nasabah perdesaan, dibanding lembaga keuangan lainnya. Salah satunya, memanfaatkan modal sosial berbasis pendekatan kelompok (tanggung renteng), mirip arisan, sebagai pengganti kolateral.
Studi penulis mengategorisasikan nasabah perempuan dan lelaki. Terdapat bukti, perempuan lebih baik dalam memanfaatkan pinjaman dan tanggung jawab, lebih taat dan disiplin dalam pengembalian pinjaman. Bahkan, tingkat kredit bermasalah perempuan mendekati nol persen.
Perempuan miskin belum sepenuhnya dapat melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi yang tersedia.
Demikian pula, pada studi yang lain, misalnya riset Rajivan (2015), tingkat pengembalian suatu program kredit mikro untuk perempuan di Indonesia mencapai 98 persen, sementara program lain yang bertarget lelaki persentasenya hanya 82 persen. Koperasi yang melayani jenis usaha kecil dan jenis usaha yang tidak menentu (informal), ternyata dapat menekan “biaya tinggi” dalam pelayanan.
Perempuan yang selalu bersahabat dengan kesulitan ekonomi, tetap bekerja keras tanpa mengeluh, kendati harus menguras hampir seluruh waktu dan energi mereka. Perempuan miskin belum sepenuhnya dapat melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi yang tersedia.
Keberadaan koperasi berbasis perempuan, yang selalu bersentuhan dengan masyarakat paling miskin, bisa memberi peluang menguatkan kemandirian ekonomi perempuan, terutama di masa pandemi ini.
Kemandirian memiliki makna, perempuan miskin tak menggantungkan ekonomi rumah tangga hanya ke suami. Perempuan ikut bekerja semata-mata membantu meringankan beban suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Keberadaan koperasi perempuan akan menguatkan partisipasi perempuan di ranah publik tanpa menanggalkan fungsi sebagai kaum perempuan. Selamat Hari Koperasi!
Mukhaer Pakkanna Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta